Masih
soal Hukum Reklamasi
Oleh: Moh
Mahfud MD
Berita
teranyar mengenai ribut-ribut reklamasi Teluk Jakarta, dua hari yang lalu DPR
dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bersepakat untuk menghentikan
reklamasi Teluk Jakarta.
Pada hari
yang sama DPRD Jakarta juga mengumumkan penghentian pembahasan atas raperda
yang akan dijadikan landasan atas izin reklamasi yang sudah dikeluarkan
Gubernur. Rabu pekan lalu, melalui acara kabar pagi di sebuah stasiun televisi
swasta saya juga menyarankan agar proyek tersebut dihentikan dan diambil alih
oleh KKP sesuai dengan kewenangan yang diberikan UU.
Alasan
perlunya penghentian proyek reklamasi tersebut karena banyak masalah hukum yang
harus dijernihkan lebih dulu. Melalui kolom berjudul ”Hukum Reklamasi” di KORAN
SINDO ini pada pekan lalu, saya sudah menulis salah satu problem hukum yang
serius dari proyek tersebut adalah dikeluarkannya izin sebelum ada peraturan
daerah (perda). Mengeluarkan izin (beschikking) yang mendahului peraturannya
(regeling) tidaklah dibenarkan menurut hukum.
Kalau
perda dibuat setelah adanya izin, tendensinya hanya akan membenarkan izin yang
telanjur dikeluarkan yang bisa membuka celah korupsi. Dan itu sudah tampak
terjadi dengan ditangkap tangannya anggota DPRD Jakarta Sanusi yang diduga kuat
menegosiasikan besarnya tambahan kontribusi pengembang yang akan dimasukkan di
dalam raperda. Problem hukum lain yang terkait dengan hal tersebut adalah
hubungan antara keputusan presiden (keppres) dan peraturan presiden (perpres).
Ada yang
mengatakan bahwa pemberian izin kepada pengembang adalah sah didasarkan pada
Keppres No 52 Tahun1995. Pendapat inikurang tepat karena setelah keluarnya
keppres tersebut ada beberapa peraturan perundang-undangan yang menyebabkan
keppres tersebut tidak lagi berlaku.
Harus
diingat bahwa sebelum tahun 2004, berdasarkan Tap MPRS No XX/MPRS/1966, keppres
merupakan peraturan perundang-undangan yang derajatnya langsung berada di bawah
peraturan pemerintah (PP). Tapi sejak 2004 keppres bukan lagi peraturan
perundang- undangan. Kalau dulu keppres bisa menjadi peraturan (regeling)
sekaligus bisa menjadi keputusan (beschikking), sekarang keppres bukan lagi
regeling.
Berdasarkan
UU No 10 Tahun 2004 yang kemudian diubah dengan UU No 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ditentukan bahwa peraturan perundang-
undangan yang levelnya langsung di bawah PP adalah peraturan presiden
(perpres). Oleh sebab itu kedudukan keppres yang sifatnya mengatur
yangdikeluarkansebelumtahun 2004 adalah sama dengan perpres yang dikeluarkan
setelah tahun 2004 karena sama-sama langsung berada di bawah PP.
Oleh
karena kedudukan keppres sebelum tahun 2004 sama dengan perpres setelah tahun
2004, maka Keppres No 52 Tahun 1995 menjadi tidak berlaku setelah
dikeluarkannya Perpres No 54 Tahun 2008, apalagi kemudian disusul dengan
Perpres No 122 Tahun 2012 yang mengatur reklamasi dan tata ruang. Asas yang
berlaku dalam hubungan ini adalah asas lex posterior derogat legi prior,
peraturan yang datang belakangan menghapus peraturan yang sejajar yang telah
ada lebih dulu.
Berdasarkan
hal tersebut, setelah tahun 2004 tidak boleh lagi menggunakan Keppres No 52
Tahun 1995 untuk proyek-proyek reklamasi yang baru. Memang produk izin dan
pekerjaan proyek yang telah ada berdasar Keppres No 52 Tahun 1995 itu tidak
bisa dibatalkan, tetapi mengembangkan izin proyek baru tidak bisa lagi
menggunakan keppres tersebut.
Lebih
dari soal hubungan antara keppres dan perpres, izin reklamasi yang sekarang
diributkan dinilai bertentangan pula dengan peraturan yang lebih tinggi yang
juga datang kemudian seperti UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU No 27 Tahun 2007 sebagaimana telah diubah
dengan UU No 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau
Kecil.
Kantor
Kementerian Kelautan dan Perikanan menyatakan bahwa izin reklamasi Teluk
Jakarta bertentangan dengan UU No 32 Tahun 2009 karena tidak disertai amdal
yang layak dan atau izin dari lembaga yang ditentukan oleh UU tersebut. Jadi
distorsi hukum dalam izin reklamasi Teluk Jakarta sudah terjadi karena ada izin
dikeluarkan mendahului perdanya, ada distorsi pemberlakuan antara keppres dan
perpres, bahkan ada benturan antara izin yang dikeluarkan dengan UU yang
jelas-jelas berada di atasnya.
Kesepakatan
DPR dan KKP untuk menghentikan proyekproyek serta keputusan DPRD Jakarta untuk
menghentikan pembahasan raperda terkait dengan reklamasi Teluk Jakarta
merupakan solusi yang tepat untuk saat ini. Keputusan ketiga lembaga tersebut
bisa dijadikan momentum oleh Gubernur DKI Jakarta Ahok untuk membuat keputusan
baru tanpa kehilangan muka.
Ahok bisa
mengatakan, ”Karena lembagalembaga yang berwenang telah memutuskan penghentian,
izin reklamasi dinyatakan dibekukan atau dicabut.” Dengan penghentian tersebut,
mungkin saja akan timbul gugatan dari pengembang yang sudah mendapat izin,
tetapi pilihan menghentikan proyek reklamasi tetap jauh lebih aman secara hukum
daripada melanjutkannya, baik dari sudut hukum pidana maupun dari sudut hukum
administrasi negara.
Kemungkinan
adanya gugatan hukum dari para pengembang bisa lebih mudah dihadapi, apalagi
kita sudah mempunyai UU No 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. []
KORAN
SINDO, 16 April 2016
Moh Mahfud MD ; Ketua Asosiasi Pengajar Hukum
Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN); Ketua MK-RI 2008-2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar