Rabu, 06 April 2016

Buya Syafii: Ketika Harga Karet Terjun Bebas



Ketika Harga Karet Terjun Bebas
Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Kehidupan di kawasan perdesaan yang sangat bergantung kepada belas kasihan alam memang sarat dengan berbagai risiko. Selama 18 tahun saya berada dalam lingkungan yang serba tergantung itu.

Di usia kepala delapan, kenangan kepada suasana perdesaan itu kadang-kadang terasa sangat mencekam. Apalagi sejak dua tahun terakhir harga karet di kampung saya Sumpur Kudus (Sumatra Barat) sedang terjun bebas.

Rakyat menjerit, mendapatkan rupiah alangkah sulitnya. Cobalah bayangkan harga karet dari sekitar Rp 12 ribu per kg terjun menjadi sekitar Rp 4.000 per kg. Bagi mereka yang sepenuhnya mengandalkan karet, hidupnya pasti terisak, ditambah lagi sawah untuk menanam padi belum tentu tersedia.

Sebagian mereka menyabung nyawa menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI), umumnya ke negara-negara tetangga dengan segala suka dukanya. Bagi mereka yang tidak punya dokumen resmi, risiko di perantauan itu sangatlah besar.

Awal 2016 ini, yang oleng bukan saja penyadap karet, juragan karet pun kena imbasnya. Ketika harga tinggi, persediaan karet demikian melimpah, di saat sekarang karet bukan lagi sumber penghidupan. Persis dengan nasib pengusaha batu bara yang juga terseok.

Sumpur Kudus sejak ratusan tahun yang lalu belum lagi berhasil keluar dari kategori desa tertinggal. Adik-adik yang seayah dengan saya yang berasal dari kecamatan lain, setelah ayah kami wafat pada 1955, semuanya telah meninggalkan Sumpur Kudus karena memang tidak punya pilihan lain untuk bertahan hidup, kecuali memisahkan diri dengan tanah kelahiran ayah mereka.

Saya sendiri bisa menempuh pendidikan tinggi bukan karena lingkungan yang mendukung, bukan pula karena punya cita-cita mewah untuk mengubah nasib, tetapi lebih banyak karena “terdampar ke tepi berkat belas kasihan ombak”.

Hidup itu tidak jarang penuh paradoks. Saat harga karet sedang jaya, kebiasaan kebanyakan orang kampung saya nyaris tidak pernah berpikir untuk menabung. Segalanya dibeli, termasuk barang-barang elektronik yang serbamenawan.

Ketika sedang berada di lepau, mereka senang bicara politik tinggi sambil main domino. Saya pun pernah pula larut dalam kebiasaan yang semacam ini. Sebagian besar penyadap karet punya sepeda motor dan telepon genggam yang cukup banyak menguras dana. Belum lagi untuk biaya rokok yang mengempiskan kantong.

Akibatnya, pendidikan anak jadi telantar dan kocar-kacir, rumah tangga bisa berantakan. Umumnya manakala terjadi perceraian, sang anak mengikuti ibunya, sementara si ayah cari bini lain.

Panorama semacam ini masih berlangsung sampai sekarang. Ada teman seangkatan saya, entah sudah berapa jumlah bininya dengan anak yang bertebaran di berbagai kampung. Apa yang dikenal dengan istilah broken home (rumah tangga pecah) merupakan sesuatu yang jamak di desa saya. Korban terbesar adalah kaum ibu dengan anak-anak yang tak terurus.

Sang ayah hanya sekadar hinggap untuk menabur benih, setelah anak lahir lalu ditinggalkan. Maka jadilah ibunya sebagai orang tua tunggal, sampai dapat suami lagi. Praktik kawin-cerai ini tampaknya sudah berlangsung selama ratusan tahun, termasuk adik yang seayah dengan ayah saya.

Semula saya berharap dengan masuknya listrik ke Sumpur Kudus pada 2005 akan sangat bermanfaat untuk perbaikan ekonomi desa. Tetapi karena rakyat tidak terlatih untuk membangun industri kecil rumah tangga, hanya amat sedikit yang telah menggunakan listrik untuk tujuan ekonomi.

Bukan hanya sampai di situ, hampir tidak ada orang kampung saya yang menggunakan tanah pekarangan untuk bertanam pelawija. Semua keperluan dapur sebisa mungkin dibeli ke pasar yang jauh sekalipun. Tidak terpikir oleh mereka bahwa tanah pekarangan cukup dermawan bila saja diolah untuk tanaman yang menghidupkan.

Sejak jatuhnya harga karet, saya pun belum sempat pulang kampung. Sebab, tidak banyak yang mungkin dilakukan untuk menolong kehidupan desa yang dulu hidup selama puluhan tahun bersama kuda beban sebelum sepenuhnya diambil alih oleh kendaraan bermesin.

Sumpur Kudus adalah sebuah desa dari ribuan desa lainnya di Indonesia yang perlu segera berbenah diri agar impitan kemiskinan bisa diatasi dengan mengubah cara pandang dan cara berpikir, sesuatu yang memang tidak mudah, tetapi pasti bisa. []

REPUBLIKA, 05 April 2016
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar