Ketika
Harga Karet Terjun Bebas
Oleh:
Ahmad Syafii Maarif
Kehidupan
di kawasan perdesaan yang sangat bergantung kepada belas kasihan alam memang
sarat dengan berbagai risiko. Selama 18 tahun saya berada dalam lingkungan yang
serba tergantung itu.
Di usia
kepala delapan, kenangan kepada suasana perdesaan itu kadang-kadang terasa
sangat mencekam. Apalagi sejak dua tahun terakhir harga karet di kampung saya
Sumpur Kudus (Sumatra Barat) sedang terjun bebas.
Rakyat
menjerit, mendapatkan rupiah alangkah sulitnya. Cobalah bayangkan harga karet
dari sekitar Rp 12 ribu per kg terjun menjadi sekitar Rp 4.000 per kg. Bagi
mereka yang sepenuhnya mengandalkan karet, hidupnya pasti terisak, ditambah
lagi sawah untuk menanam padi belum tentu tersedia.
Sebagian
mereka menyabung nyawa menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI), umumnya ke
negara-negara tetangga dengan segala suka dukanya. Bagi mereka yang tidak punya
dokumen resmi, risiko di perantauan itu sangatlah besar.
Awal 2016
ini, yang oleng bukan saja penyadap karet, juragan karet pun kena imbasnya.
Ketika harga tinggi, persediaan karet demikian melimpah, di saat sekarang karet
bukan lagi sumber penghidupan. Persis dengan nasib pengusaha batu bara yang
juga terseok.
Sumpur
Kudus sejak ratusan tahun yang lalu belum lagi berhasil keluar dari kategori
desa tertinggal. Adik-adik yang seayah dengan saya yang berasal dari kecamatan
lain, setelah ayah kami wafat pada 1955, semuanya telah meninggalkan Sumpur
Kudus karena memang tidak punya pilihan lain untuk bertahan hidup, kecuali
memisahkan diri dengan tanah kelahiran ayah mereka.
Saya
sendiri bisa menempuh pendidikan tinggi bukan karena lingkungan yang mendukung,
bukan pula karena punya cita-cita mewah untuk mengubah nasib, tetapi lebih
banyak karena “terdampar ke tepi berkat belas kasihan ombak”.
Hidup itu
tidak jarang penuh paradoks. Saat harga karet sedang jaya, kebiasaan kebanyakan
orang kampung saya nyaris tidak pernah berpikir untuk menabung. Segalanya
dibeli, termasuk barang-barang elektronik yang serbamenawan.
Ketika
sedang berada di lepau, mereka senang bicara politik tinggi sambil main domino.
Saya pun pernah pula larut dalam kebiasaan yang semacam ini. Sebagian besar
penyadap karet punya sepeda motor dan telepon genggam yang cukup banyak
menguras dana. Belum lagi untuk biaya rokok yang mengempiskan kantong.
Akibatnya,
pendidikan anak jadi telantar dan kocar-kacir, rumah tangga bisa berantakan.
Umumnya manakala terjadi perceraian, sang anak mengikuti ibunya, sementara si
ayah cari bini lain.
Panorama
semacam ini masih berlangsung sampai sekarang. Ada teman seangkatan saya, entah
sudah berapa jumlah bininya dengan anak yang bertebaran di berbagai kampung.
Apa yang dikenal dengan istilah broken home (rumah tangga pecah) merupakan
sesuatu yang jamak di desa saya. Korban terbesar adalah kaum ibu dengan
anak-anak yang tak terurus.
Sang ayah
hanya sekadar hinggap untuk menabur benih, setelah anak lahir lalu
ditinggalkan. Maka jadilah ibunya sebagai orang tua tunggal, sampai dapat suami
lagi. Praktik kawin-cerai ini tampaknya sudah berlangsung selama ratusan tahun,
termasuk adik yang seayah dengan ayah saya.
Semula
saya berharap dengan masuknya listrik ke Sumpur Kudus pada 2005 akan sangat
bermanfaat untuk perbaikan ekonomi desa. Tetapi karena rakyat tidak terlatih
untuk membangun industri kecil rumah tangga, hanya amat sedikit yang telah
menggunakan listrik untuk tujuan ekonomi.
Bukan
hanya sampai di situ, hampir tidak ada orang kampung saya yang menggunakan
tanah pekarangan untuk bertanam pelawija. Semua keperluan dapur sebisa mungkin
dibeli ke pasar yang jauh sekalipun. Tidak terpikir oleh mereka bahwa tanah
pekarangan cukup dermawan bila saja diolah untuk tanaman yang menghidupkan.
Sejak
jatuhnya harga karet, saya pun belum sempat pulang kampung. Sebab, tidak banyak
yang mungkin dilakukan untuk menolong kehidupan desa yang dulu hidup selama
puluhan tahun bersama kuda beban sebelum sepenuhnya diambil alih oleh kendaraan
bermesin.
Sumpur
Kudus adalah sebuah desa dari ribuan desa lainnya di Indonesia yang perlu
segera berbenah diri agar impitan kemiskinan bisa diatasi dengan mengubah cara
pandang dan cara berpikir, sesuatu yang memang tidak mudah, tetapi pasti
bisa. []
REPUBLIKA,
05 April 2016
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua
Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar