Nuklir Takut Radiasi, Panas Bumi Takut Spa
Oleh:
Dahlan Iskan
Hati-hati.
Banyak babi melintas di sini. Itulah papan peringatan baru di kawasan timur
Provinsi Fukushima. Utamanya di dekat Minamisoma. Kota kecil yang paling
menderita akibat tsunami besar lima tahun lalu.
Ditambah bencana susulan dua hari kemudian: bocornya radiasi
nuklir. Dari pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) di situ.
Saya berkunjung ke lokasi itu minggu lalu. Dalam perjalanan menuju
Amerika Serikat. Dari Tokyo saya naik kereta Shinkansen dulu, 1,5 jam. Ke kota
Fukushima. Lalu naik mobil. Dua jam. Ke arah pantai timurnya.
Babi kini memang berkembang liar di kawasan yang banyak hutannya
itu. Juga kera. Berlompatan di pinggir jalan. Manusia memang meninggalkan
kawasan ini. Puluhan ribu orang meninggal karena tsunami. Lebih banyak lagi
mengungsi takut radiasi. Terutama mereka yang berada di dalam radius 20 km dari
PLTN.
Sejak itu babi yang semula menjadi ternak mencari hidup
sendiri-sendiri. Masuk hutan. Jadi babi hutan. Tidak ada lagi yang memelihara.
Juga tidak ada lagi yang memotongnya.
Meski kawasan ini sudah tidak berpenghuni, saya melihat banyak
kendaraan berlalu-lalang di sini. Termasuk di jalan yang hanya sekitar 2 km
dari PLTN. Itulah kendaraan petugas pembersih radiasi nuklir. Jumlahnya 4.000
orang. Cukup terlihat ramai.
Mengelilingi kawasan ini, saya melihat banyak alat berat di
ladang-ladang yang tidak ada tanamannya lagi. Tanah permukaan ladang itu
dikupas. Dimasukkan karung. Ditumpuk. Diselimuti plastik. Satu tumpukan tingginya
sekitar 3 meter. Lebar 8 meter. Panjang 24 meter. Ada yang lebih kecil dari
itu. Atau lebih besar. Tergantung luas tanah yang dikupas.
Kawasan ini berbentuk bukit-bukit besar. Juga bukit-bukit kecil.
Dengan hutan yang terawat. Di sela-sela bukit itulah terhampar ngarai-ngarai.
Untuk perladangan. Dan perkampungan. Kawasan ini memang salah satu penghasil
hortikultura utama di Jepang. Lautnya juga menghasilkan ikan salmon. Ada sungai
besar di sini. Di musim tertentu salmon sedunia pulang. Ke muara sungai ini.
Apa nama sungai itu? Ny Zhizue Abe, penduduk asli di situ, tidak
segera menjawab. Lama sekali dia mengingat-ingat.
”Namanya…ya…sungai salmon,” katanya tertawa.
”Penduduk di sini menyebutnya begitu,” tambahnya. ”Sejak nenek
moyang kami.”
Ny Abe, ibu muda itu, adalah aktivis yang mengurus pengungsian
penduduk sekitarnya. Juga seorang pengusaha gigih. Menurut Abe, masih belum ada
yang berani menangkap salmon itu lagi. Takut tidak laku dijual. Tidak berani
memakannya.
Belum ada juga yang berani cocok tanam. Kecuali satu dua petani.
Petani tua. Yang nekat. Mereka merasa itulah pekerjaannya turun-temurun. Meski
sudah lima tahun tidak berpenghuni, kampung-kampung itu tidak terasa
berantakan. Rumah-rumah masih terlihat bagus. Mungkin karena kualitasnya bagus.
Khas rumah Jepang.
Saya minta berhenti di beberapa tempat. Ingin melihat kegiatan
pembersihan radiasi itu. Saya juga turun dari mobil. Di titik terdekat dari
PLTN. Agak lama saya menatap pembangkit itu. Sambil berkhayal: seandainya
genset cadangan dulu ditempatkan di atas bukit…
Sebenarnya sepanjang pantai timur Fukushima ini kondisinya juga
berbukit. Ada lembah di setiap sela bukit-bukit itu. Kampung-kampung yang
disapu tsunami adalah kampung-kampung yang berada di ngarai di sela-sela bukit.
Sapuan tsunami kian dahsyat karena gelombang yang terhalang gunung
menambah gelontoran ke ngarainya.
PLTN itu dibangun di bagian salah satu ngarainya. Bukan di
bukitnya. Satu ngarai untuk PLTN ini tidak ada kampungnya. Hanya khusus untuk
PLTN. Kampung terdekat adalah 2 km dari situ. Dipisahkan oleh bukit-bukitnya.
Tsunami sebenarnya terbukti tidak mampu merusak reaktor nuklirnya. Yang
dibangun dengan kekuatan khusus. Bahkan, PLTN yang dibangun belakangan tahan
terhadap bom. Seandainya pesawat sebesar Boeing 747 menabraknya sekalipun tidak
akan rusak.
Yang terjadi di Fukushima adalah ini: jaringan listrik ”PLN” yang
menuju ke situ terputus diterjang tsunami. Akibatnya: sistem pendingin
reaktornya tidak bekerja. Memanas. Terus memanas. Hari kedua tidak terkendali.
Reaktor meleleh. Radiasi pun bocor ke luar.
Apakah tidak ada genset cadangan? Ada. Genset cadangan inilah yang
terkena tsunami. Seandainya genset cadangan itu diletakkan di bagian bukitnya,
dan kabel menuju reaktor ditanam dalam, mungkin bisa lain ceritanya. Wallahu
a’lam.
Memang tidak ada angka yang menyebutkan korban meninggal karena
radiasi. Semua korban, 18.000 orang, meninggal karena tsunami. Bukan karena
nuklir. Ditambah akibat kepanikan dua hari setelah tsunami. Yakni ketika berita
ini tersiar: reaktor nuklir meleleh.
Mereka lari. Mengungsi. Dan diungsikan. Pengungsi tsunami
diungsikan lagi. Panik. Mencekam. Menakutkan. Sejak itu 54 PLTN di seluruh
Jepang dihentikan. Krisis listrik di mana-mana. Sekitar 15 persen kebutuhan
listrik Jepang berasal dari nuklir.
Trauma itu berangsur menurun. Dimakan waktu. Penduduk mulai
kembali ke kampungnya. Tapi, yang berada di jarak 20 km dari PLTN masih belum
diizinkan pulang. Kecuali yang nekat. Seperti petani tua tadi.
Di luar itu kehidupan mulai normal. Bahkan, ekonomi menggeliat
lebih ramai. Banyak proyek. Ny Abe membuka kembali bisnis pemakamannya. Bahkan
membuka usaha baru: kontraktor, restoran, hotel, fasilitas kesehatan, termasuk
bisnis oksigen. Semua daerah pantai yang landai ditanggul. Sibuk sekali. Proyek
tanggul sepanjang ratusan kilometer.
Kini satu per satu PLTN mengajukan izin operasi lagi. Sudah 25
yang mengajukan. Termasuk PLTN Genka. Yang dibangun mepet dengan kota. Bahkan,
di belakang tembok kompleks Genka pun sudah penuh dengan penduduk. Saya pernah
masuk ke PLTN ini tujuh tahun yang lalu. Dan melihat penduduk sekitarnya masih
damai saat itu. Mereka yang mengajukan izin itu adalah yang merasa sudah
melakukan pengecekan keamanan. Yang sangat rumit. Dan teliti. Tapi, sampai hari
ini baru dua yang diizinkan. Yang di Provinsi Kagoshima. Wilayah selatan. Masih
satu provinsi dengan Genka, tapi di sisi pantai yang berbeda.
Penentangan tenaga nuklir masih sangat kuat. Yang di Kagoshima itu
pun masih didemo. Di depan pintu gerbangnya. Tiap hari. Sesekali demo itu
diikuti artis. Atau mantan perdana menteri. Kelihatannya masa depan PLTN sangat
suram. Terutama yang menggunakan bahan bakar uranium. Yang kalau tidak dijaga
kedinginannya memanas tidak terkendali. Tapi, penggunaan nuklir sulit juga
dihindari.
Itulah sebabnya, kini bahan bakar torium bakal naik panggung.
Menggantikan uranium. Torium tidak seperti uranium. Tidak akan memanas bila
tidak ada pendinginnya. Kita punya sumber torium di dalam negeri. Jepang
sendiri saat itu belum melirik torium. Jepang zaman itu memang kepepet. Haus
listrik. Dahaga energi. Untuk ekonomi.
Itulah tahun-tahun di mana ekonomi Jepang sedang tumbuh
gila-gilaan. Di atas 10 persen setiap tahun. Selama hampir 15 tahun. Antara
1955-1973. Mirip dengan Tiongkok antara 1995-2012. Saat itulah Jepang memasuki
era nuklir. Dengan bahan bakar uranium. Kini, setelah ekonomi Jepang maju dan
rakyatnya modern, mereka menolak nuklir. Kebetulan ekonominya juga tidak
terlalu tumbuh lagi. Sudah digeser Tiongkok.
Jepang sebenarnya punya banyak sumber energi panas bumi. Tapi
sulit dapat izin. Dari penduduk setempat. Mereka menentang panas bumi jadi
listrik. Terutama mereka yang punya usaha vila dan spa. Atau usaha pemandian
air hangat di gunung. (*)
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar