Dari
‘Kepemimpinan Pedalaman’ ke ‘Kepemimpinan Pesisiran’: Era Pisang Sudah Berlalu,
Kini Tugas Pewaris Kitab….
Oleh: Emha Ainun Nadjib
Jika presiden Indonesia adalah
Megawati, PadhangmBulan mengucapkan selamat dan alhamdulillah. Jika presiden
Indonesia adalah Gus Dur, PadhangmBulan mengucapkan selamat dan alhamdulillah.
Bahkan jika presiden Indonesia adalah Habibie, Wiranto, atau siapapun saja,
mengucapkan selamat dan alhamdulillah. Kenapa?
Karena
PadhangmBulan sama sekali berada di luar ‘lapangan’. PadhangmBulan tidak bisa
berbuat apa-apa kepada segala sesuatu mengenai presiden Indonesia, dan sejauh
ini presiden-presiden Indonesia juga tidak berbuat apa-apa untuk PadhangmBulan.
De Facto, PadhangmBulan juga ‘tidak diperkenankan’ untuk membantu apa-apa,
sehingga PadhangmBulan menjadi tidak berkewajiban untuk membantu apa-apa. Kalau
toh kapan-kapan PadhangmBulan membantu, itu bukan kewajiban, melainkan karena
cinta.
Presiden
‘AR’
Bagi
jamaah PadhangmBulan di Jombang, Pengajian Tombo Ati Surabaya serta berbagai
forum lainnya yang sejenis, sejak tiga bulan sebelum Pemilu sudag didengar
bahwa presiden Indonesia sesudah Habibie adalah ‘AR’ serta berbagai rangkaian
informasi dan analisis di sekitarnya. Bukan Amien Rais, melainkan Abdul Rahman.
Mereka juga sependapat bahwa sebaiknya Amien Rais maupun Megawati hendaknya
juga kapan-kapan menjadi presiden RI. di kalangan jamaah PadhangmBulan, semua
orang diterima dan diupayakan untuk dipahami. Jangankan Gus Dur, bahkan Permadi
SH, Rhoma Irama yang masuk Golkar, Prabowo yang jatuh, juga coba dipahami
secara adil.
Nyuwun
sewu saya bercerita mengenai apa yang saya ketahui apa adanya. Dalam waktu yang
lama di media massa, Gus Dur bersikukuh mencalonkan Mbak Mega, tapi sebenarnya
dia lebih cenderung memilih Sri Sultan HB-X untuk menjadi presiden. Saya
mendengar itu secara pribadi dari Gus Dur sendiri ketika Mbak Mega me-launching
buku di Jakarta. Saya bilang saya tidak setuju, karena saya ingin presiden kita
adalah ‘Sultan yang lebih sepuh’, yaitu Gus Dur sendiri. Banyak orang tak
setuju dan pesimis Gus Dur bisa menjadi presiden, termasuk saya. Tapi ternyata
Gus Dur sendiri makin lama makin mantap.
Hal
‘Sultan Sepuh’ itu saya konsultasikan ke banyak teman dan sebagian mereka
sepakat, terutama kita butuh figur Begawan atau Resi yang bisa meminimalisir
konflik internal bangsa kita yang semakin runyam. tapi saya juga ‘dimarahi’
banyak teman lain gara-gara omong soal Begawan itu.
Alhamdulillah
saya juga sempat dolan ke kantor Golkar untuk meminta Pak Akbar Tanjung agar
tidak bersikeras mencalonkan Pak Habibie, dan berpikir bahwa Gus Dur adalah
figur yang paling kecil potensi konfliknya. Terserah apa penilaian orang
tentang Pak Habibie, tapi ‘kenyataan opini di lapangan’ sudah terlanjur ‘tidak
berkenan’ kepada beliau. Fadel Muhammad, Eky Syahrudin dan beberapa teman lain
mendengar sendiri Pak Akbar meng’ya’kan untuk tidak bersikeras mencalonkan
Habibie, dan menyetujui pikiran mengenai Gus Dur. Tentu saja dengan ‘syarat’
Mbak Mega atau siapapun jangan bersikeras — dan kemudian memang PDI-P
benar-benar bersikap harga mati tentang Mbak Mega, sehingga kita tak punya
alasan untuk tetap meminta Pak Habibie tidak maju.
‘Ngeterno
Nguwot’….
Tapi ya
pokoknya alhamdulillah Gus Dur yang jadi, meskipun kepresidenan Gus Dur juga
bukan jaminan untuk membereskan sebegini kompleksnya problem bangsa Indonesia.
sekurang-kurangnya, mestinya, akan ada perubahan dari ‘kepemimpinan pedalaman’
model Panembahan Senopati yang feodal, samar, dan tertutup, menuju
‘kepemimpinan pesisiran’ model Benowo yang terbuka, demokratis, dan egaliter.
Gus Dur
‘ngeterno nguwot’. Mengantarkan bangsa Indonesia menyeberangi sungai yang deras
yang kotor penuh bahaya. Pemerintahan Gus Dur ini permanen secara
konstitusional, tapi pada substansinya ia bersifat transisional. Gus Dur belum
mungkin menciptakan kabinet pemerintahan yang murni profesional, karena ada
masalah pengakomodasian politis untuk berbagai ragam kelompok. Kalau keliru, akan
muncul ’Ronggolawe-Ronggolawe’ yang merupakan sakit hati dan merupakan potensi
konflik baru. Belum lagi banyaknya problem-problem bangsa Indonesia, terutama
perekonomian nasional dan masalah-masalah psikologis antar golongan. Belum lagi
potensi-potensi KKN di sekitarnya — yang tak bisa saya paparkan di sini.
Intinya,
jangan minta gendong Gus Dur. Kalau bisa malah kita yang membantu menggendong
Gus Dur.
Partai
Islam Yes?
Hari
Senin tanggal 19 Oktober 1999 kemarin lusa saya sengaja terbang pagi dari
Yogyakarta untuk nongkrong di Hilton dan bersapaan dengan banyak teman-teman
anggota MPR, kemudian pukul 16.00 sore alhamdulillah ketemu Gus Dur di Hotel
Mulia sebelum balik ke Yogyakarta pukul 17.40. Jadi saya alhamdulillah sudah
tahu apa yang terjadi besoknya karena Gus Dur mengatakan kepada saya bahwa
nanti malam Habibie akan mundur dan besok dia jadi Presiden. Kami bahkan sempat
mengobrol soal rencana-rencana Gus Dur tentang Timor Timur, RMS, GAM, Ambon,
dll. Gus Dur juga tampak bersyukur dengan mengemukakan “diam-diam proses
Islamisasi di MPR berlangsung, semua yang pidato pakai shalawatan dulu….”
Lama dulu
saya jengkel kepada Gus Dur kenapa nggak bikin partai Islam saja, toh PKB,
PDI-P, PBB dan lain-lain itu de facto adalah juga politik aliran. Kenapa tidak
terang-terangan saja Gus Dur bikin Partai Islam (ingat “Islam Yes, Partai Islam
Yes”?) kemudian Gus Dur membuktikan kepada seluruh rakyat Indonesia dan dunia
bahwa Islam itu rahmatan lil’alamin. Kalau Islam berkuasa, ia mempersaudarai
teman-teman Kristen, Katolik, Budha, Hindu dan siapa saja.
Tapi,
meskipun muter-muter dulu lewat belasan parpol Islam, lewat Fraksi Islam dan
Poros Tengah, lewat saling curiga dan fitnah — alhamdulillah akhirnya Tuhan
menolong Ummat Islam Indonesia, dan itu maknanya adalah menolong seluruh bangsa
Indonesia. Pada kenyataan terpilihnya Gus Dur adalah atas dukungan ‘Partai
Islam’ yang hatinya satu meskipun nama parpolnya berbeda-beda.
Sekarang
ini suasananya semacam Idul Fitri: bersalaman kembali, berangkulan,
bermaaf-maafan, saling melupakan berbagai omongan dan perilaku yang kemarin
yang ndak karu-karuan karena sama-sama bingung. Kemudian bersama-sama menata
Indonesia kembali, toh Gus Dur sudah memproklamirkan kemerdekaan ke-2 sesudah
Agustus 1945.
Bayar Dua
Hutang
Dalam
wacana yang saya pakai, dan itu sudah saya kemukakan kepada Gus Dur sejak
sebelum Pemilu: Gus Dur menjadi presiden ini dalam rangka membayar dua macam
hutang.
Hutang
yang pertama, mohon maaf — Gus Dur membayar hutang sejarahnya Sunan Kalijaga
dan Sunan Kudus yang gagal me-manage konflik politik dan keagamaan antara Aryo
Penangsang (Jipang) dengan Sultan Hadiwijaya (Pajang) yang diwakili oleh
Sutawijaya. Konflik itu sebenarnya berlangsung antara Islam dengan
‘abangan’ atau ‘sekularisme’. Konflik mereka membawa akibat terbunuhnya
Aryo Penangsang, dan terus berkepanjangan sehingga putranya Sultan Hadiwijaya,
yaitu Pangeran Benowo, menyingkir (istilah NU-nya “kembali ke khittah”), tidak
berpolitik dan mendirikan pesantren. Maka kekuasaan kemudian bergeser dari
Pajang ke Mataram di mana putra angkatnya Hadiwijaya yaitu Sutawijaya alias
Panembahan Senopati menjadi raja pertama.
Silahkan
Anda mempelajari khazanah mengenai budaya politik Mataram, policy-nya kepada
Ummat Islam — kecuali periode Sultan Agung, yang kemudian dirusak lagi oleh
cucunya — jenis feodalismenya, dan lain-lain, sangat mirip Orde Baru. Maka saya
katakan kepada Gus Dur jangan Sultan HB-X yang jadi presiden, karena beliau itu
terusannya Mataram-Panembahan Senopati. Sedangkan Gus Dur adalah keturunan
ke-12 Pangeran Benowo yang dulu ‘lari’ dari gelanggang politik — mirip seperti
khittah — padahal Nusantara sedang amburadul. Kalau dulu yang terbunuh
hanya Aryo Penangsang, selama Orde Baru dan Orde Habibie yang terbunuh sangat
banyak, dari Tanjungpriok dulu sampai Ambon. Bahkan konsep ‘persaudaraan
nasional’ model Mataram yang diterapkan Orba melalui pemahaman ‘SARA’ juga
memproduk terbunuhnya banyak golongan yang lain.
Memang
sudah saatnya ‘Pangeran Benowo abad 20/21’ tampil ke gelanggang, agar ‘hutang’
Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus dalam membangun persaudaraan nasional bisa dibayar.
Orang Jombang mengatakan, “yang bikin bingung Indonesia adalah orang Jombang,
tapi yang mengatasi masalah juga orang Jombang.” Pangeran Benowo dulu ‘lari’ ke
daerah Banyumas, dan komunitasnya kemudian menyebar kembali ke daerah asal
usulnya, yakni Mojopahit alias Jombang. Perguruan silat yang ada di Jombang
asal usulnya adalah Banjarnegara-Banyumas.
Tapi
kalau itu Anda tanyakan kepada Gus Dur, ia akan nyengenges: “Ah, itu
karangannya Cak Nun saja…” seperti dulu waktu Gus Dur hendak menjemput Pak Harto
ke Masjid Istiqlal untuk berikrar husnul khotimah pada tanggal 7 Maret 1999,
Gus Dur menjawab dengan kalimat seperti itu. Guyon– nya Gus Dur memang
mengasyikkan. Kalau Anda mau, kapan-kapan saya ungkapkan humor Gus Dur yang
luar biasa: soal cawat, kencing di wastafel, bantal hotel mewah, dll.
Bayar
hutang yang kedua adalah bahwa dalam waktu yang lama Gus Dur dikenal sebagai
tokoh Islam yang amat sering membikin bingung Ummat Islam. Bahkan kiai-kiai NU
sendiri selalu bingung memahami Gus Dur. Terkadang bahkan ia dituduh terlallu
mbelain ummat lain daripada ummatnya sendiri. Itu soal psiko-kultur dan
psiko-politik. Sekarang Tuhan memberi peluang kepada Gus Dur untuk ‘menghibur’
Ummat Islam, utamanya kaum Nahdliyyin, karena toh suara voting kepresidenan Gus
Dur berasal dari banyak orang yang dulu merasa dikecewakan olehnya.
Wacana
Baru Ilmu Reformasi
Rekayasa
Tuhan selalu sangat indah. Caranya Tuhan membikin urutan adegan ketika
pembacaan hasil voting kemarin sore saja sangat dramatis. Mega dibikin melesat
jauh dulu sampai beda 40 suara, kemudian bersaing di tengahnya, baru kemudian
Gus Dur melesat. Siapa yang menyusun tumpukan kertas itu?
Indonesia
sedang sakit keras dan Tuhan menentukan pemimpinnya adalah juga lelaki yang
hampir tua yang sakit, susah melihat, dengan Ibu Negara yang juga duduk di
kursi roda. Seluruh Indonesia menjadi mengerti dan terdorong untuk belajar
rendah hati, belajar mengkonsentrasikan diri pada kekurangan-kekurangan diri
dan bukan menomersatukan kekurangan orang lain.
Siapapun
sekarang tidak gampang menyikapi pemerintah. Gus Dur tidak bisa dikotak dalam
suatu kategori, baik aliran politiknya, pemikiran budayanya, serta berbagai
kecenderungannya. Kita gampang ngasih ‘cap’ kepada Suharto atau Habibie, tapi
apa ‘cap’nya Gus Dur? Anda akan uring-uringan melihat bagaimana ia nanti
menangani kasus KKN-nya Pak Harto, tapi Anda juga akan kaget menyaksikan
bagaimana sepak terjangnya soal Gerakan Aceh Merdeka atau Republik Maluku
Selatan. Anda menyebut dia modernis, sehingga Anda bingung melihat Gus Dur
rajin ziarah ke banyak makam Ulama, bahkan terus kontak dengan Kiai Abdullah
Faqih, Kiai Abdullah Salam, Kiai Dimyati, dan dua Kiai Semar. Anda akan dibikin
kagum, tapi juga jengkel. Anda akan terlanjur meremehkan dan memarahinya pada
suatu hari, tapi kemudian Anda geleng-geleng kepala. Orang NU bilang Gus Dur
itu ‘Waliyullah’. Wali itu apa? Ialah orang yang keliru menentukan arah
tendangan bola, tapi nanti tahu-tahu Tuhan memindahkan letak gawangnya,
sehingga tendangan itu menghasilkan gol.
Apa itu
maknanya? Gerakan reformasi dituntut untuk memperbaharui ilmunya, waacananya,
sumber aspirasi dan inspirasinya. Tak hanya horisontal, tapi juga ‘terpaksa’
vertikal. Misalnya, bagaimana mungkin Anda omong ‘Masyarakat Madani’ sambil
mengacuhkan Muhammad saw dan terutama konsep hijrahnya?
Kepemimpinan
Gus Dur akan tidak hanya menjadi fenomena nasional, tapi juga internasional.
Tidak saja kenyataan bahwa ia menjadi presiden, tapi juga pola-pola tingkah
laku politiknya, model-model pemikirannya, langkah-langkahnya yang sering anti
teori.
Dulu Gus
Dur meramal: sebelum tahun 2000 Palestina akan merdeka, Iran akan menjadi
moderat, tapi Indonesia akan menjadi negara Islam ekstrim. Sekarang Gus Dur
telah berhasil satu langkah ‘membatalkan’ poin ramalan yang ketiga. Kalau Mega
naik sekarang, ramalan itu akan terwujud. Tapi Allah memperkenankan manusia
untuk “menawar takdir”, karena manusia adalah khalifah-Nya, adalah
mandataris-Nya.
Gus Dur
juga merupakan presiden paling lucu dan penuh humor sedunia. Humornya bisa
humor murni, bisa humor kesenian, bisa humor sebagai pola perilaku politik. Gus
Dur juga merupakan presiden paling ‘cuek’ sedunia, paling ngantuk sedunia,
paling santai — dan itu akan sangat menghibur, meskipun bisa juga sangat
menjengkelkan.
Kita akan
lihat bagaimana Gus Dur meladeni diplomasi internasional, rentenir IMF,
keculasan Amerika Serikat, kepengecutan PBB. Mungkin Gus Dur akan sangat
radikal, mungkin sangat arif.
Yang
paling gampang dibayangkan adalah dia ditelpon Kofi Annan tapi tiba-tiba ia
mengantuk dan telponnya jatuh. Bisa karena benar-benar ngantuk, bisa
dingantukkan oleh malaikat, bisa juga merupakan strategi diplomatik. Bisa Anda
bayangkan juga kalau Gus Dur harus naik Jeep memeriksa barisan TNI. Saya
menyarankan Gus Dur bilang saja sama Pangab: “Wis apik! Apik! Gagah-gagah
semua! Ganteng-ganteng semua!…”
Pisang,
Kitab, dan Cincin
Kita
doakan InsyaAllah Gus Dur akan melakukan segala sesuatu yang bisa mencairkan
berbagai polarisasi politik, etnik, keagamaan dalam masyarakat. Gus Dur
mestinya akan serius melebur dikhotomi-dikhotomi, pihak-pihak,
perbedaan-perbedaan, dan mengajari bangsanya untuk lebih lembut hatinya dan
luas jiwanya, syukur adil pikirannya.
Kita
berdoa semoga Gus Dur mampu mempersaudarakan kembali bangsa Indonesia
sebagaimana dulu Rasulullah Muhammad saw mempersaudarakan ummat Islam, ummat
Nasrani dan Yahudi di Madinah. Sejalan dengan proklamasi kemerdekaan ke-2 yang
dicanangkan begitu terpilih menjadi presiden, Gus Dur semoga akan memotori
pembaruan falsafah dan konsep persaudaraan kultural, politik, dan keagamaan
seluruh bangsa Indonesia. Juga memberi perimbangan wacana internasional tentang
demokrasi, human right, dll yang banyak bersifat manipulatif dan mendustai
rakyat negara-negara berkembang.
Gus Dur
mestinya akan merintis pembangunan yang landasannya bukan kebencian, tapi cinta
dan inter-apresiasi.
Dalam
jalur gelombang kepemimpinan sejarah di Nusantara, ada tiga warisan. Pertama
pisang, kedua kitab, ketiga cincin.
Periode
pisang, periode foya-foya dan hutang sudah usai, dengan ongkos sejarah yang
terlalu mahal. Sekarang saatnya pewaris Kitab ambil peranan. Tugas utama
pewaris ‘Kitab’ adalah membenahi ilmu, cara berpikir, sikap mental, konsep
hidup, nasionalisme, pola persaudaraan, manajemen penanganan masyarakat dan
negara. Kalau pewaris Kitab tidak mengacu pada hakekat Kitab, ia akan kena
bumerang. Nanti terpaksa pewaris cincin mengatasinya…. []
Pernah dimuat di Majalah Padang Bulan Merdeka, Nomor 1/1999
Tidak ada komentar:
Posting Komentar