KPK Perlu
Strategi Baru
Oleh:
Bambang Soesatyo
MODEL
kasus M Sanusi bisa terbentuk karena siapa saja yang bersinggungan dengan dana
pembangunan negara atau daerah tidak takut untuk menyalahgunakan wewenang dan
melakukan tindak pidana korupsi (Tipikor), termasuk menerima suap.
Setelah
hampir 14 tahun negara menyatakan perang terhadap korupsi dengan membentuk
Komisi Pemberantasan korupsi (KPK), efek jera korupsi belum tumbuh.
Kalau
efek jera melakukan korupsi sudah membudaya, M Sanusi hari-hari ini tidak akan
mendekam di ruang tahanan KPK. Sayang, Sanusi tidak belajar dari pengalaman
banyak orang itu.
Kamis
(31/3) malam, dia terjerat dalam operasi tangkap tangan (OTT) KPK dengan
sangkaan menerima suap sebesar Rp 2 miliar yang diberikan dalam dua tahap dari
PT. Agung Podomoro Land (APL).
Uang suap
yang diterima Sanusi bertujuan memengaruhi pembahasan dan muatan pada rancangan
peraturan daerah (Raperda) terkait proyek reklamasi Teluk Jakarta, khususnya
mengenai Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi Jakarta
2015-2035 dan Raperda tentang Rencana Kawasan Tata Ruang Kawasan Strategis
Pantai Jakarta Utara.
Modus
kasus ini tidak baru-baru amat. Sekelompok pengusaha menitipkan kepentingan
mereka dalam pasal-pasal tertentu pada sebuah undang-undang (UU) atau perda.
Pemprov
DKI memasukan tiga variabel dalam raperda itu, meliputi variabel kewajiban,
kontribusi 5 persen dari luas reklamasi kotor sesuai rekomendasi Bappenas 1997,
dan variabel tambahan kontribusi 15 persen dari nilai NJOP total lahan yang
dapat dijual pengembang.
Variabel
terakhir itulah yang menjadi polemik antara Pemda DKI versus DPRD DKI Jakarta.
Pada 8 Maret 2016, DPRD DKI mengajukan usul menghapus kontribusi tambahan 15
persen itu.
Sebab,
menurut DPRD DKI, kontribusi tambahan dimaksud sudah menjadi bagian dari 5
persen yang diambil di awal dan dituangkan dalam perjanjian kerja sama antara
gubernur dan pengembang. Mudah ditebak bahwa argumentasi DPRD itu adalah
aspirasi para pengembang.
Pada
tahap inilah M Sanusi dkk membangun kerja sama kepentingan dengan oknum
pengembang. Karena modusnya yang demikian, KPK menyebut kasus suap yang
melibatkan anggota DPRD DKI dan PT APL itu sebagai grand corruption, karena
suap oleh korporasi itu bertujuan memengaruhi arah kebijakan publik Pemda DKI.
Terlalu
Ringan
Sudah
bertahun-tahun berbagai elemen masyarakat menuntut sanksi hukum terhadap
koruptor harus bisa menumbuhkan efek jera. Untuk itu, pilihannya adalah vonis
pengadilan tipikor haruslah ekstrakeras.
Di
Tiongkok, penegak hukum negeri itu berani menjatuhkan sanksi hukuman mati
terhadap terpidana koruptor. Jelas bahwa Indonesia tidak perlu meng-copy paste
sanksi hukum ala Tiongkok itu.
Akan
tetapi, tidak berarti bahwa pengadilan Tipikor tidak berwenang menjatuhkan
sanksi ekstrakeras itu. Selain hukuman badan yang lebih lama, terpidana
koruptor pun seharusnya diwajibkan mengembalikan semua hasil korupsi atau
kerugian negara.
Sayangnya,
hingga kini, institusi penegak hukum dan Pengadilan Tipikor belum menghayati
serta belum merespons aspirasi rakyat tentang urgensi efek jera dalam perang
melawan korupsi.
Akibatnya,
meski perang ini sudah berlangsung belasan tahun, hasilnya terbilang sangat
minim. Sebab, perang melawan korupsi terus menghadapi hambatan serius, bahkan
dimentahkan oleh sanksi hukum terhadap terpidana korupsi yang terlalu ringan
seperti sekarang.
Tidak
mungkin perilaku korup bisa diberantas jika tidak ada efek jera dalam tuntutan
dan vonis pengadilan. Pasal 18 UU No.31/1999 tentang pemberantasan tindak
pidana korupsi sudah mengatur masalah pengembalian kerugian asetaset negara
hasil tindak pidana.
Kalau
fungsi pasal ini bisa dimaksimalkan, penerapannya diyakini bisa menumbuhkan
efek jera. Jaksa dan para hakim tipikor pun seharusnya punya keberanian untuk
menilai gaya hidup mewah para koruptor sebagai hasil dari tindak pidana
korupsi.
Karena
itu, vonis pengadilan Tipikor pun seharusnya mengandung perintah untuk merampas
aset koruptor yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Tidak adanya perintah
pengadilan untuk memiskinkan koruptor menjadi salah satu titik lemah
pemberantasan korupsi di Indonesia.
Hasil
audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan (BPKP) menyebutkan bahwa dalam periode 2008-2011, jaksa yang
menangani perkara korupsi rata-rata hanya menuntut 44% kerugian negara akibat
tindak pidana korupsi.
Lalu,
angka itu menyusut hingga hanya 7% ketika perkara diputus di persidangan dan
berkekuatan hukum tetap atau inkrah. Artinya, jangkauan UU Tindak Pidana
Korupsi dan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) belum sampai menyentuh harta
terpidana kasus korupsi.
Itulah
titik lemah lainnya dalam perang melawan korupsi. Maka, tak usah heran jika
perang belasan tahun memberantas korupsi belum juga membuahkan hasil
signifikan. Setelah kasus M Sanusi, bisa dipastikan bahwa KPK dan Polri masih
akan terus mengungkap kasus-kasus korupsi berikutnya. Mungkin, diperlukan
pembaruan strategi perang melawan korupsi. []
SUARA
MERDEKA, 16 April 2016
Bambang Soesatyo | Ketua Komisi III DPR RI, Fraksi Partai Golkar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar