Rabu, 20 April 2016

Buya Syafii: Kompetensi Seorang Menteri



Kompetensi Seorang Menteri
Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Di antara gejala sesat pikir dalam kultur politik Indonesia kontemporer dalam kaitannya dengan peran kepartaian adalah bahwa jabatan menteri itu semata-mata berdasarkan kalkulkasi politik tanpa mempertimbangkan kompetensi pejabat yang bersangkutan.

Tanpa perlu menyebut nama, dalam kabinet Jkw-JK, publik sangat paham siapa di antara menterinya yang memble, tidak mengerti seni memimpin kementeriannya. Sang menteri akan sangat bergantung kepada “titah” para dirjen dan eselon di bawahnya yang lebih lihai.

Ya, jika para dirjen itu lebih mementingkan bangsa dan negara di atas segala-galanya, seorang menteri yang memble sekalipun tidak terlalu berbahaya. Akan tetapi, apa yang diteriakkan sebagai reformasi birokrasi sejak 18 tahun yang lalu, prosesnya seperti jalannya siput, termasuk juga berlaku di lingkungan kepolisian, sebagaimana Kapolri Jenderal Badrodin Haiti awal April 2016 menyatakan kepada saya saat bertemu di rumah dinasnya.

Kompetensi menteri yang di bawah standar pasti akan mengacaukan jalannya pemerintahan. Akibatnya, bangsa dan negara menjadi semakin tak terurus.

Tentu, kita tidak keberatan seorang menteri berasal dari partai, tetapi alangkah sulitnya menemukan sosok yang kompeten itu. Mungkin ada stok yang tersedia, tetapi pimpinan partai belum tentu akan memilihnya. Dipilih yang sesuai dengan kepentingan pragmatisme partai, bukan berdasarkan pertimbangan objektif dan rasional. Gejala semacam itu juga dapat ditemukan di daerah dalam penentuan calon gubernur, bupati, dan wali kota.

Politik kepartaian yang serbasentralistis ini akan menghambat penampilan pejabat daerah yang kompeten prorakyat. Inilah salah satu pemicu mengapa calon independen mulai menggejala. Adalah juga bagian dari pola sesat pikir, sekiranya gejala ini dinilai sebagai penggembosan sistem kepartaian. Sama sekali tidak demikian.

Fakta ini hendaklah dibaca sebagai sindiran tajam terhadap kegagalan partai untuk menampilkan pemimpin yang dikehendaki rakyat. Adapun terdapat beberapa contoh pemimpin yang diusung partai dan terpilih jadi orang nomor satu di daerahnya, itu bukan karena arahan partainya, melainkan lebih banyak karena yang bersangkutan memang pemimpin sejati dan autentik. Masalah kesejatian dan autentisitas inilah yang masih menjadi barang langka dalam politik Indonesia sampai sekarang.

Aneh bin ajaib, semangat gerakan reformasi adalah pemberdayaan daerah, tetapi semangat ini jatuh terkulai di tangan pimpinan partai dengan mewarisi filosofi Orde Baru yang dikutuk itu. Politik Indonesia memang sarat yang serba paradoks.

Dalam kultur yang semacam ini, ketegasan seorang presiden sebagai kepala pemerintahan mutlak perlu. Tanpa ketegasan, para pemain birokrasi dengan mental lama tidak akan terbendung. Ujungnya, demokrasi akan tetap berjalan di tempat, tidak ke mana-mana, bahkan sangat membosankan karena hanya akan memperpanjang penderitaan rakyat di tengah lingkungan para taipan yang kaya raya.

Negara tentu memerlukan kelas orang kaya sebab dari kantong merekalah pemasukan pajak dapat diandalkan. Pembayar pajak yang lain tidak bisa menandingi mereka. Namun, jika kekayaan segelintir orang itu menjadi liar tak terkendali, pasti akan mempertajam kesenjangan sosial ekonomi di kalangan anak bangsa, sebagaimana telah sering diteriakkan selama ini.

Kecenderungan kapitalistis ini semakin bersifat masif dari waktu ke waktu pada sebuah negara Pancasila dengan filosofi keadilan sosial yang demikian dahsyat. Dahsyat dalam formula, tetapi sepi dan kacau dalam implementasi. Maka, di tangan para menteri yang tidak punya kepekaan tentang keadilan, negara ini akan tetap saja jadi mainan elite politik kepartaian yang tidak paham Indonesia.

Akhirnya, jika reshuffle kabinet gelombang kedua memang diperlukan, lakukan secepatnya untuk mengganti posisi menteri yang memang belum maqamnya untuk memimpin sebuah kementerian. Di kantong presiden, tentu sudah dicatat para menteri yang memble itu. Niat baik saja tidak ada gunanya, tanpa nyali dan keberanian! []

REPUBLIKA, 19 April 2016
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar