Kompetensi
Seorang Menteri
Oleh:
Ahmad Syafii Maarif
Di antara
gejala sesat pikir dalam kultur politik Indonesia kontemporer dalam kaitannya
dengan peran kepartaian adalah bahwa jabatan menteri itu semata-mata
berdasarkan kalkulkasi politik tanpa mempertimbangkan kompetensi pejabat yang
bersangkutan.
Tanpa
perlu menyebut nama, dalam kabinet Jkw-JK, publik sangat paham siapa di antara
menterinya yang memble, tidak mengerti seni memimpin kementeriannya. Sang
menteri akan sangat bergantung kepada “titah” para dirjen dan eselon di
bawahnya yang lebih lihai.
Ya, jika
para dirjen itu lebih mementingkan bangsa dan negara di atas segala-galanya,
seorang menteri yang memble sekalipun tidak terlalu berbahaya. Akan
tetapi, apa yang diteriakkan sebagai reformasi birokrasi sejak 18 tahun yang
lalu, prosesnya seperti jalannya siput, termasuk juga berlaku di lingkungan
kepolisian, sebagaimana Kapolri Jenderal Badrodin Haiti awal April 2016
menyatakan kepada saya saat bertemu di rumah dinasnya.
Kompetensi
menteri yang di bawah standar pasti akan mengacaukan jalannya pemerintahan.
Akibatnya, bangsa dan negara menjadi semakin tak terurus.
Tentu,
kita tidak keberatan seorang menteri berasal dari partai, tetapi alangkah
sulitnya menemukan sosok yang kompeten itu. Mungkin ada stok yang tersedia,
tetapi pimpinan partai belum tentu akan memilihnya. Dipilih yang sesuai dengan
kepentingan pragmatisme partai, bukan berdasarkan pertimbangan objektif dan
rasional. Gejala semacam itu juga dapat ditemukan di daerah dalam penentuan
calon gubernur, bupati, dan wali kota.
Politik
kepartaian yang serbasentralistis ini akan menghambat penampilan pejabat daerah
yang kompeten prorakyat. Inilah salah satu pemicu mengapa calon independen
mulai menggejala. Adalah juga bagian dari pola sesat pikir, sekiranya gejala
ini dinilai sebagai penggembosan sistem kepartaian. Sama sekali tidak demikian.
Fakta ini
hendaklah dibaca sebagai sindiran tajam terhadap kegagalan partai untuk
menampilkan pemimpin yang dikehendaki rakyat. Adapun terdapat beberapa contoh
pemimpin yang diusung partai dan terpilih jadi orang nomor satu di daerahnya,
itu bukan karena arahan partainya, melainkan lebih banyak karena yang
bersangkutan memang pemimpin sejati dan autentik. Masalah kesejatian dan
autentisitas inilah yang masih menjadi barang langka dalam politik Indonesia
sampai sekarang.
Aneh bin
ajaib, semangat gerakan reformasi adalah pemberdayaan daerah, tetapi semangat
ini jatuh terkulai di tangan pimpinan partai dengan mewarisi filosofi Orde Baru
yang dikutuk itu. Politik Indonesia memang sarat yang serba paradoks.
Dalam
kultur yang semacam ini, ketegasan seorang presiden sebagai kepala pemerintahan
mutlak perlu. Tanpa ketegasan, para pemain birokrasi dengan mental lama tidak
akan terbendung. Ujungnya, demokrasi akan tetap berjalan di tempat, tidak ke
mana-mana, bahkan sangat membosankan karena hanya akan memperpanjang
penderitaan rakyat di tengah lingkungan para taipan yang kaya raya.
Negara
tentu memerlukan kelas orang kaya sebab dari kantong merekalah pemasukan pajak
dapat diandalkan. Pembayar pajak yang lain tidak bisa menandingi mereka. Namun,
jika kekayaan segelintir orang itu menjadi liar tak terkendali, pasti akan
mempertajam kesenjangan sosial ekonomi di kalangan anak bangsa, sebagaimana
telah sering diteriakkan selama ini.
Kecenderungan
kapitalistis ini semakin bersifat masif dari waktu ke waktu pada sebuah negara
Pancasila dengan filosofi keadilan sosial yang demikian dahsyat. Dahsyat dalam
formula, tetapi sepi dan kacau dalam implementasi. Maka, di tangan para menteri
yang tidak punya kepekaan tentang keadilan, negara ini akan tetap saja jadi
mainan elite politik kepartaian yang tidak paham Indonesia.
Akhirnya,
jika reshuffle kabinet gelombang kedua memang diperlukan, lakukan
secepatnya untuk mengganti posisi menteri yang memang belum maqamnya untuk
memimpin sebuah kementerian. Di kantong presiden, tentu sudah dicatat para
menteri yang memble itu. Niat baik saja tidak ada gunanya, tanpa nyali dan
keberanian! []
REPUBLIKA,
19 April 2016
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua Umum
Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar