Hukum
Reklamasi
Oleh: Moh
Mahfud MD
Salah
satu sebab mengapa rencana reklamasi Teluk Jakarta ribut adalah problem hukum,
yakni distorsi pengaturan dan penegakan hukumnya. Distorsi hukum tersebut
dikatakan sebagai salah satu sebab karena banyak sebab lain yang mendahului
atau mengikuti problem hukum tersebut. Masalah ekologi, sosial, dan politik
merupakan problem-problem yang secara simultan mencuat juga sebagai sumber
kegaduhan dalam isu reklamasi.
Di bidang
hukum banyak terjadi tumpang tindih antar peraturan perundang-undangan baik
secara vertikal maupun secara horizontal. Misalnya ada berbagai undang undang
(UU), peraturan presiden, keputusan presiden, peraturan daerah, dan keputusan
gubernur yang distortif. Pengaturan dan implementasi berbagai peraturan
perundang- undangan tampak tidak sinkron antara yang satu dengan yang lain.
Masalah
Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Zonasi untuk reklamasi Teluk
Jakarta bisa disebut sebagai contoh distorsi antara pengaturan dan implementasi
hukum. Raperda tersebut ternyata dibuat setelah ada keputusan gubernur untuk
reklamasi. Dilihat dari kacamata hukum, pembuatan keputusan yang mendahului
peraturan merupakan kesalahan yang fundamental.
Di dalam
tata hukum ada hubungan yang khas antara peraturan (regeling) dan keputusan
(beschikking). Regeling adalah peraturan yang bersifat abstrak- umum, belum
terkait dengan subjek tertentu, yang menentukan berbagai ketentuan yang harus
dipenuhi dalam pelaksanaan suatu kegiatan atau proyek. Adapun beschikking
adalah keputusan yang konkret- individual, sudah terkait dengan subjek dan
objek tertentu, yang dibuat oleh Pejabat atau Badan Tata Usaha Negara untuk
melaksanakan regeling.
Pembahasan
Raperda yang terkait dengan Teluk Jakarta sebagai regeling bisa dinilai salah
secara hukum karena ia baru akan dibuat setelah ada keputusan atau beschikking.
Gubernur telah memutuskan memberi izin reklamasi untuk beberapa perusahaan
properti, termasuk Agung Podomoro Land (APL). Seharusnya keputusan dibuat
setelah ada peraturannya.
Dalam
kasus reklamasi Teluk Jakarta yang sekarang diributkan, karena keputusannya
mendahului peraturannya, tak dapat dihindarkan timbulnya kesan bahwa raperda
sebagai regeling dibuat untuk membenarkan beschikking atau keputusan yang
telanjur ada. Inilah yang kemudian menimbulkan celah terjadinya kolusi dan
korupsi. Pembentuk raperda bisa berkolusi dan berkorupsiria dengan pengembang
yang telah mendapat keputusan untuk melakukan reklamasi.
Korupsi
dan kolusi itulah yang kemudian tampaknya benar-benar terjadi dalam kasus
reklamasi Teluk Jakarta. M Sanusi sebagai salah seorang anggota pembentuk perda
ditangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena sangkaan (bukan
lagi dugaan) penyuapan terhadapnya oleh APL.
Dalam
kasus ini, seperti yang muncul dalam pendapat publik, diduga kuat APL menyuap
Sanusi untuk menurunkan kontribusi APL sebagai pengembang dari 15% yang
ditentukan oleh gubernur menjadi 5% di dalam raperda.
Indikasi
penyuapan tersebut semakin kuat ketika Kepala Dinas Perencanaan Pembangunan
Daerah (BPPD) Jakarta Tutty K mengumumkan melalui jumpa pers resmi bahwa usul
penurunan kontribusi dari 15% menjadi 5% tersebut dilakukan M Taufik, Wakil
Ketua DPRD yang juga memimpin pembahasan raperda.
Usul
tersebut ditolak Gubernur. Pembahasan raperda pun ditunda sampai beberapa kali
karena tidak ada titik temu dan tidak kuorum. Taufik boleh saja membantah dan
mengatakan bahwa tidak mungkin ada penyuapan dalam pembahasan raperda, sebab
rapat-rapat di DPRD dilakukan secara terbuka dan bisa diawasi masyarakat.
Tapi
pernyataan Taufik ini bisa dibantah balik dengan pernyataan lain, yakni
rapat-rapat terbuka di DPR maupun di DPRD biasanya sudah didahului dengan
pembicaraan- pembicaraan tertutup di balik panggung yang melibatkan banyak
pihak. Semua anggota DPR yang sudah dipenjarakan karena korupsi dalam proses
pembuatan UU mulanya selalu mengatakan, tidak ada korupsi karena rapat-rapat
DPR dilakukan terbuka.
Tapi
tetap saja KPK memenjarakan mereka karena terbukti korupsi. Dalam kaitan dengan
pembahasan raperda reklamasi, tetap saja sulit dibantah adanya korupsi karena
setelah Sanusi ditangkap, presdir APL pun menyerahkan diri. Logikanya, kalau
tidak ada korupsinya, untuk apa seorang presdir menyerahkan diri?
Berdasar
pengalaman, kalau sudah di-OTT oleh KPK tidak seorang pun bisa lolos, sebab
sebelum melakukan OTT KPK pasti mempunyai informasi lengkap tentang isi,
tanggal, jam, transaksi, serta tempat pembicaraan dan pertemuan semua
pihak-pihak yang terlibat. Tak mungkin KPK ceroboh melakukan OTT tanpa alat
bukti yang cukup menurut hukum.
Dan
itulah gunanya pembolehan penyadapan oleh KPK. Tampaknya sudah tepat yang
dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Jakarta ketika menghentikan semua proses
pembangunan dan melakukan pembongkaran-pembongkaran atas bangunan-bangunan,
yang dilakukan oleh pengembang di beberapa bagian lokasi reklamasi. Alasannya,
pengembang baru mempunyai izin prinsip dan belum mempunyai izin operasional.
Langkah
Pemerintah Jakarta itu sudah tepat, tetapi akan jauh lebih tepat jika
masalahnya dikembalikan dulu ke prinsip hukum tentang hubungan antara peraturan
(regeling) dan keputusan (regeling). Prinsipnya, beschikking tidak boleh
mendahului regeling. Oleh sebab itu semua izin yang sudah ada harus dianggap
tidak atau belum ada dan perlu dicabut sampai selesai dan diundangkannya perda.
Setelah
perda selesai barulah dikeluarkan izin-izin lagi sesuai dengan
ketentuan-ketentuan yang dimuat di Meski kurang sejalan dengan
kemanfaatan ekonomi, pencabutan izin-izin yang terlanjur ada itu akan lebih
sejalan dengan asas kemanfaatan hukum. []
KORAN
SINDO, 09 April 2016
Moh Mahfud MD ; Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata
Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN); Ketua MK-RI 2008-2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar