Rabu, 18 Oktober 2017

(Buku of the Day) Gajah Mada: Madakaripura Hamukti Moksa



Menengok Toleransi Beragama di Masa Majapahit


Judul Buku        : Gajah Mada: Madakaripura Hamukti Moksa
Penulis             : Langit Kresna Hariadi
Tebal               : 574 halaman
Cetakan            : Keenam, Desember 2008
Penerbit            : Tiga Serangkai Solo
ISBN                 : 979 33 0712 9
Peresensi          : M. Ilhamul Qolbi

Saling menghargai dan menghormati sesama warga merupakan ajaran yang sudah diberikan oleh nenek moyang kita sejak Indonesia belum bernama ‘Indonesia’. Hal itu bisa kita ketahui dari kerajaan besar yang pernah berdiri dan berkembang pesat di wilayah Nusantara seperti Majapahit pada sekitar abad ke-13 M. 

Apakah kerajaan Majapahit mengajarkan persatuan dan kesatuan? Hal itu bisa kita lihat dari novel yang ditulis Langit Kresna Hariadi dengan Judul Gajah Mada. Buku Gajah Muda merupakan cerita Kerajaan Majapahit dengan menyoroti kebesaran Mahapatihnya, Gajah Mada. Buku ini terdiri dari lima seri dengan judul besar yang sama, yaitu Gajah Mada. 

Dari kelima seri buku tersebut, buku Gajah Mada: Madakaripura Hamukti Moksa merupakan buku kelima yang mengisahkan tentang Gajah Mada yang mengundurkan diri dari jabatan Mahapatih. Pengunduran tersebut dikarenakan tragedi Perang Bubat yang menjadi tragedi berdarah antara kerajaan Majapahit dengan Kerajaan Sunda Galuh. Tragedi tersebut menyeret Gajah Mada yang pada saat itu bertindak sebagai Mahapatih menjadi orang yang paling bertanggung jawab atas kejadian tersebut. Sampai pada akhirnya, Gajah Mada meninggalkan jabatannya dan yang pada awalnya mengambil sumpah Hamukti Palapa untuk menyatukan Nusantara, kini memilih Hamukti Moksa di tempat yang selanjutnya dinamakan Madakaripura. 

Madakaripura merupakan tanah perdikan milik mahapatih Gajah Mada dari kerajaan Majapahit. Tanah perdikan tersebut saat ini lebih terkenal dengan air terjunnya yang terletak di Dusun Branggah, Desa Negororejo, Kecamatan Lumbang,Kabupaten Probolinggo, Provinsi Jawa Timur. 

Dalam novel tersebut, terdapat cuplikan perisitiwa yang menunjukkan bagaimana kuatnya saling menghormati dan menghargai pada masa Majapahit. Pengarang menceritakan mahapatih Gajah Mada dalam perjalanannya saat menuju tanah perdikan mengalami berbagai peristiwa. Salah satunya yaitu  peristiwa yang terjadi di  Perkampungan Pamadan. Kampung Pamadan merupakan sebuah desa yang harus dilalui ketika akan menuju tempat Madakaripura tersebut. 

Saat itu, Gajah Mada mendapati perkampungan dalam keadaan sepi. Padahal ketika beberapa kali didatanginya merupakan tempat yang amat hidup dan penuh geliat. Gajah Mada bertanya-tanya dalam hati. Ke mana perginya mereka. Untuk memastikan penasarannya, ia memutuskan berbelok ke sebuah rumah. Namun, setelah mencoba masuk ke dalam rumah, ia tidak mendapati seorang pun di sana. Akhirnya, Gajah Mada memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. 

Setelah berpacu dengan kudanya beberapa saat, ia melihat ada hal yang berbeda. Sebuah rumah, merupakan satu-satunya rumah yang mengalami nasib berbeda, hangus terbakar dan dengan kasat mata terlihat adanya jejak-jejak perusakan. Berbekal pengalaman yang dimiliki sebagai mantan pasukan khusus Bhayangkara, ia mencoba menelusuri jejak hangusnya tersebut. 

Pada akhirnya, Gajah Mada terbelalak melihat pemandangan yang mendebarkan dari ketinggian tempatnya berada. Ia melihat sekelompok orang dalam sebuah barisan berhadapan dengan kelompok lain yang bersikap sama. Dua kelompok itu terlihat seperti sedang bersiap untuk berperang habis-habisan. Selanjutnya, mereka diketahui berasal dari orang-orang yang berasal dari desa Saleces dan desa Pamadan. 

Konflik itu tersulut oleh peristiwa yang bermula dari anak gadis Ki Buyut Saleces yang dibawa lari oleh Ki Pintasmerti. Hal itu sertamerta dilakukan akibat dari penolakan secara mentah-mentah dari Ki Buyut Saleces, pemimpin dari desa Saleces, yang anak gadisnya dipinang oleh Ki Pintasmerti, pemimpin dari desa Pamadan. Penolakan itu mempunyai dua alasan. Pertama, anak gadisnya telah dijodohkan dengan kerabat bangsawan Lumajang. Alasan kedua yaitu dari pihak Ki Buyut Saleces beragama Syiwa, sedangkan Ki Pintasmerti menganut Budha. Akhirnya, imbas dari perseteruan tersebut adalah bentrok dari kedua warga tersebut.

Sebelum terjadi perpecahan yang menimbulkan korban, akhirnya Gajah Mada menampakkan diri di tengah-tengah dua kelompok itu. Ia meminta keterangan lebih lanjut dari dua pihak yang berseteru. Sampai pada akhirnya, ia mengetahui bahwa sebenarnya kedua anak mereka saling mencintai. Namun, karena alasan yang sudah disebutkan di atas, mereka akhirnya melakukan tindakan tersebut. Selain itu, Gajah Mada juga terkejut dengan fenomena yang ada di warga Saleces, bahwa mereka semua menganut Syiwa. Setelah Gajah Mada bertanya kepada warga, ternyata Ki Buyut Saleces sebagai pemimpin melarang warganya menganut ajaran selain Syiwa. Jika ada yang menganut Budha, Ki Buyut mengancam mereka. 

Dari pengakuan tersebut, pada akhirnya Gajah Mada dengan suara lantang menjelaskan bahwa Majapahit memberikan pengakuan kepada agama Syiwa dan agama Budha serta meminta kepada semua penganutnya untuk hidup rukun dan berdampingan. Hal itu semuanya diatur dalam Tripaksa. Karena mereka udah melakukan kesalahan, mereka disuruh menghadap ke kotaraja Majapahit untuk menghadap Prabu dan meminta hukuman yang setimpal.

Pada akhirnya, dengan karisma yang dimiliki oleh Gajah Mada, mereka menghadap kepada Prabu serta meminta hukuman yang setimpal atas perbuatannya dalam melanggar aturan toleransi yang terkandung dalam Tripaksa tersebut.

Gambaran yang dilakukan oleh penulis buku ini membawa pembaca untuk menyelami kurun waktu abad ke-13 M. Pembaca dapat memahami Majapahit secara historis, geneologis, dan ideologis. Tokoh-tokoh yang terdapat dalam kerajaan Majapahit juga dapat pembaca temukan di dalam buku yang banyak menghadirkan rujukan buku sejarah dan kitab kuno yang ditulis oleh Empu Prapanca secara otoritatif ini.

Kajian buku yang mengupas habis sejarah kebesaran Majapahit pada masa mahapatih Gajah Mada ini, menggambarkan betapa besar dan luasnya pengaruh yang disebarkan oleh nenek moyang kita terdahulu. Bahkan, sebelum Pancasila lahir sebagai dasar negara, fenomena kehidupan yang ditampilkan dalam buku ini sudah menerapkan itu semua. Bahkan, sila ketiga menyebutkan bahwa negara kita menjadikan asas persatuan sebagai landasan bangsa, hal itu sudah diajarkan jauh sebelum Indonesia menjadi seperti sekarang. Persatuan itu tidak hanya kelompok-kelompok tertentu saja, entah kelompok suku maupun agama, tetapi persatuan yang dibingkai melalui keragaman budaya serta agama yang menjunjung tinggi toleransi. 

Review buku secara singkat ini tentu belum menghadirkan semua informasi dan gagasan penulis buku secara utuh sehingga pembaca dapat memahami lebih jauh lagi dengan membaca bukunya secara langsung. Selamat membaca! []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar