Kritik
Keberagaman
Oleh:
Komaruddin Hidayat
Agama
secara normatif-ideal itu serba bagus dan indah diceritakan. Tetapi, agama
sebagai realitas sosial yang ditampilkan oleh pemeluknya tak sepi dari
kekurangan dan penyimpangan. Maka, wajar kalau agama yang awalnya sebagai
kekuatan kritik sosial dalam perjalanannya sering kali jadi sasaran kritik.
Kritik
yang cukup tajam yang dialamatkan pada praktik keberagamaan antara lain datang
dari Karl Marx. Dalam pandangannya, banyak orang lari pada kehidupan beragama
sebagai pelarian karena kalah bersaing dalam perebutan kekuasaan politik dan
ekonomi. Mereka letih dalam perang ekonomi, lalu mencari ketenangan dalam dunia
metafisik.
Dalam
ruang agama, seseorang akan memperoleh penawar dan hiburan, tak usah khawatir
dan bersedih kehilangan kenikmatan dunia, karena Tuhan akan memberikan ganti
kenikmatan akhirat yang jauh lebih indah dan membahagiakan. Kritik serupa juga
datang dari Nietzche. Karena kalah dalam persaingan dan perebutan kekuasaan,
orang beragama akan lari pada Tuhan yang diyakini maha besar dan kuasa agar
membantunya dalam mengalahkan lawan-lawan yang menindasnya.
Jadi,
dalam pandangan Marx, Tuhan akan menyediakan surga bagi orang beragama sebagai
kompensasi kekalahan di dunia, sedangkan Nietzche, agama akan
menghadirkan Tuhan yang mahakuat untuk membebaskan ketertindasannya. Sementara
Freud punya kritik senada, menganggap orang beragama itu karena mengalami
krisis kasih sayang lalu mengharapkan kehadiran Tuhan yang mahakasih untuk menenteramkan
dan menghibur jiwanya yang gundah gulana.
Apakah
berarti Marx, Nietzche dan Freud anti-Tuhan dan antiagama? Jawabannya bisa ya,
bisa tidak. Yang jelas, yang mereka kritik adalah perilaku orang beragama
berdasarkan pengamatan dan pergaulan mereka semasa hidupnya di lingkungan
sosial yang tengah gandrung terhadap rasionalisme, saintisme, dan modernisme.
Kehidupan beragama mereka anggap sebagai pelarian dan hiburan bagi orang yang
kalah dalam persaingan hidup dan tidak mau kerja keras. Mereka mengkritik
dunia, kecewa terhadap dunia, lalu lari ke alam metafisik. Akibatnya,
perkembangan dunia dikuasai dan dikendalikan oleh saintis dengan kecanggihan
teknologinya, sementara orang beragama lebih sibuk dan menghibur diri dengan
dunia metafisik, menawarkan keselamatan dan kemenangan setelah kematian.
Historisitas
agama
Meskipun
obyek kajian dan perhatian utama agama adalah alam metafisik, sesungguhnya
semua pemikiran dan perilaku keberagamaan berangkat dari dan berakar pada
kehidupan nyata yang bersifat historis-sosiologis. Sepanjang yang beragama
manusia, maka pemikiran dan perilakunya terbentuk oleh tradisi dan lingkungan
sosialnya di mana seseorang lahir dan tumbuh. Keberagamaan adalah bagian dan
kebutuhan eksistensial manusia. Meskipun agama tidak selalu ilmiah dan
rasional, agama secara fungsional memberikan ketenteraman jiwa dan makna
kehidupan.
Secara
ontologis agama yang diyakini datang dari Tuhan, ketika dipahami dan
dikembangkan oleh pemeluknya dalam pelataran sejarah, maka mesti membaur antara
yang diyakini suci dan yang profan. Membaur antara teks kitab suci dan
penafsiran serta pemahaman pemeluknya sehingga pemahaman agama yang murni
sesuai kehendak Tuhan itu tak pernah ada. Misalnya saja Al Quran,
pemahaman masyarakat Arab hari ini dan masyarakat Arab abad keenam sudah pasti
berbeda perspektifnya. Lebih berbeda lagi ketika Al Quran dipahami oleh
masyarakat Indonesia dengan lingkungan alam serta bahasa yang sangat berbeda.
Sementara karakter dan kekayaan khazanah bahasa Indonesia sangat berbeda dan
tak sekaya bahasa Arab dalam hal idiom dan kosakatanya.
Makanya,
logis jika pendekatan dan terjemahan tekstual terhadap Al Quran mengalami
distorsi dan deviasi makna. Meminjam istilah Gadamer, perjumpaan pembaca dan
sebuah teks itu akan melahirkan the fusion of horizons. Teks akan memengaruhi
pembacanya, dan subyektivitas serta wawasan pembaca juga akan memengaruhi pesan
teks yang muncul. Tentu saja umat Islam yakin bahwa Al Quran itu hanya satu dan
pasti benar adanya karena merupakan himpunan kalam Tuhan. Namun, nalar manusia
yang memahaminya terbatas dan pemikirannya pun merupakan produk sejarah, tak
akan bisa terbebas dari kekurangan dan keterbatasan ketika menafsirkan teks Al
Quran.
Pengetahuan
manusia tetap relatif, tak absolut, meski tak berarti meaningless dan jatuh
pada nihilisme. Jadi, kalau hari ini dunia Islam mengenal mazhab Suni, Syiah,
dan mazhab lainnya lagi, sudah pasti di masa Rasulullah tak dikenal
mazhab-mazhab itu. Semuanya itu produk penafsiran atas teks, baik teks Al Quran
maupun teks Hadis dan buku-buku sejarah, yang senantiasa berkembang terus.
Pemikiran dan pemahaman atas teks akan melahirkan tindakan yang ketiganya tanpa
disadari cerminan dari kondisi sosial dan semangat zamannya. Misalnya, ada masa
di mana umat Islam Indonesia sangat peduli dan gigih memperjuangkan kemerdekaan
sehingga perbedaan mazhab itu tak mengemuka.
Makanya
terdapat sederet pejuang wanita Islam yang tak berjilbab, tetapi tak pernah
dipersoalkan. Begitu pula para istri kiai cukup menutup rambut sekadarnya
saja. Lalu teman-teman Ahmadiyah dan penganut Syiah hidup tenang-tenang saja,
tak pernah merasa terancam. Namun, sekarang topik itu selalu jadi bahan
perdebatan. Jadi, pemahaman dan tindakan keberagamaan itu tidak pernah tunggal
dan selalu berkembang dinamis, dipengaruhi zamannya.
Dulu kata
”kaum sarungan” itu selalu dikaitkan dengan kaum santri yang taat menjalankan
agama. Sekarang muncul fenomena baru, simbol jemaah yang militan dalam beragama
itu sering dikaitkan dengan mereka yang ”bergamis” dan mereka yang mengenakan
”celana cingkrang” serta memelihara ”jenggot”. Ini semua merupakan teks sosial,
pesan apakah yang hendak disampaikan oleh simbol-simbol itu, adakah
simbol-simbol itu mencerminkan realitas yang sejati dan obyektif, kita tidak
tahu karena yang kita tangkap sebatas penanda atau teks yang bersifat simbolik.
Mengutip
pendapat Jean Baudrillad, di era visual, signifier tidak selalu mencerminkan
realitas signified. Antara penanda dan petanda tak selalu berkorelasi
positif karena citra lebih diutamakan ketimbang substansi. Makanya bermunculan
sampah visual yang menipu yang selalu menyergap kita. Ekspresi keberagamaan
umat Islam di Barat dan di Timur Tengah, misalnya, berbeda lagi. Di kawasan
Arab, sekalipun mereka tinggal di daratan yang sama, agama, dan bahasa juga
sama, umat Islam tersebar di 20 negara yang sampai hari ini bertengkar terus.
Lebih
dari itu, identitas keislaman telah direduksi menjadi penganut Suni dan
Siah. Ditelusuri lagi terbagi antara teman dekat Saudi dan Iran. Kondisi dan
semangat zaman Timur Tengah hari ini sangat berbeda dari Indonesia sekalipun
pengaruh dan imbasnya sampai ke sini. Negara-negara Arab yang menganut sistem
demokrasi tengah mengalami krisis dan gejolak, sementara yang berada di bawah
kesultanan rakyatnya lebih tenang dan terkendali. Ada lagi varian yang ingin
memperjuangkan sistem khalifah. Dari semuanya itu, mana yang lebih Islami?
Masing-masing punya logika dan kondisi sosial yang berbeda. Yang bisa kita
lakukan adalah memahami lebih dahulu sesungguhnya apa yang terjadi, bukannya langsung
menghakimi.
Kekuatan
peradaban
Jika
dirunut ke sejarah awal mula agama muncul, setiap agama selalu memiliki agenda
membangun peradaban. Ingin membebaskan rakyat dari kemiskinan dan kebodohan,
serta menawarkan kedamaian. Semangat ini sangat sejalan dengan cita-cita dan
agenda kemerdekaan Republik Indonesia. Oleh karenanya, umat Islam Indonesia
merasa terpanggil, bersama kekuatan sosial lain, untuk memperjuangkan
kemerdekaan agar warga Nusantara yang tersebar di ribuan pulau ini memiliki
rumah bangsa dan negara yang berdaulat agar rakyatnya cerdas dan sejahtera.
Sadar akan kebinekaan etnis, bahasa, agama, dan kondisi geografis yang
merupakan negara kepulauan, sejak awal para pendiri bangsa secara genius dan
visioner mewariskan moto: Bhinneka Tunggal Ika.
Kebinekaan
ini merupakan kenyataan dan modal sosial. Bukan lagi Indonesia kalau keragaman
ini hilang sehingga kita semua mesti merawatnya. Nilai luhur yang jadi landasan
dan juga tujuan bernegara itu dirumuskan dalam Pancasila. Seiring berjalannya
waktu, hubungan agama dan negara secara politis kadang memunculkan masalah
serius. Definisi negara dan agama berkembang mengingat agama sebagai realitas
sosial juga telah berbaur dengan tafsiran dan kepentingan pemeluknya. Begitu
pun negara yang dibayangkan oleh generasi pejuang kemerdekaan dan politisi hari
ini terdapat perbedaan persepsi dan perspektif.
Konsep
kedaulatan dan kemandirian yang dibayangkan pendiri bangsa tak lagi populer di
era globalisasi ini, diganti dengan konsep kemitraan dan kontrak kerja sama
meskipun dalam praktiknya terselubung penguasaan dan kolonialisasi oleh
negara yang lebih kuat sebagaimana masa pra-kemerdekaan. Artikulasi dan
partisipasi sosial umat Islam tidak lagi solid dan fokus seperti masa
pra-kemerdekaan, kecuali Muhammadiyah yang konsisten mengurus pendidikan dan
rumah sakit serta jajaran kiai Nahdlatul Ulama (NU) yang istiqomah mengurus
pesantren dan masyarakat. Umat Islam memiliki tradisi dan andil membangun
demokrasi karena dari dulu sudah terbiasa berserikat di luar wilayah negara.
Namun,
ketika kultur dan mekanisme demokrasi telah menjadi bagian dari gerakan global
yang dimotori oleh negara, umat Islam terlambat memahami dan mengantisipasi
sehingga mereka tidak mampu mengapitalisasi mayoritas suaranya sebagai pilar
utama memajukan Indonesia. Umat Islam merasa memiliki modal suara, tetapi
terpecah-pecah ke dalam parpol tanpa kepemimpinan politik yang solid, mumpuni,
dan visioner yang diterima semua pihak. Anggapan bahwa mayoritas penduduk
Indonesia adalah Muslim dipertanyakan oleh kelompok radikal yang kadang
mengafirkan sesama umat Islam. Jangan-jangan di mata mereka, jumlah umat Islam
tak sampai 25 persen penduduk. Jika ditanyakan pada politisi, jangan-jangan
porsi politik umat Islam minoritas. Belum lagi jika dilihat dari aspek ekonomi.
Semua
jawaban yang muncul bersifat subyektif karena perspektif dan penafsiran atas
negara dan agama juga subyektif, dipengaruhi oleh kepentingan masing-masing.
Secara administratif-demografis, pemerintahan sekarang ini mayoritas adalah
Muslim. Tetapi, oleh sebagian kelompok dianggap thaghut atau berhala kafir.
Padahal, keislaman orang Indonesia dalam hal menjalankan ritualnya jauh lebih
baik dibandingkan umat Islam di negara lain. Demokrasi saat ini lebih dimaknai
sebagai perebutan kekuasaan dengan mengandalkan mayoritas suara.
Dalam
konteks ini, sentimen dan simbol keislaman menjadi instrumen politik yang
efektif untuk membangun solidaritas emosional guna memenangkan sebuah
pertarungan demokrasi. Namun, jika mayoritas itu hanya sekadar kerumunan yang
bermental crowd mentality, pasti akan kalah dalam persaingan politik dan
ekonomi karena miskin kompetensi teknokratik dan jaringan ekonomi global
sekalipun mereka memiliki jatah dalam lembaga legislatif. Artinya, keunggulan
jumlah angka tidak menjamin umat Islam jadi pilar dan penggerak peradaban. []
KOMPAS,
12 Oktober 2017
Komaruddin
Hidayat | Guru Besar Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar