Khalifah Al-Walid bin Yazid: Fir’aunnya Umat Islam
Oleh: Nadirsyah Hosen
Wafatnya Khalifah Hisyam bin Abdul Malik setelah berkuasa sekitar
19 tahun menandai berakhirnya masa kejayaan Dinasti Umayyah. Setelah itu,
Dinasti Umayyah memasuki masa-masa awal kehancurannya. Hisyam wafat pada 6
Februari tahun 743 Masehi, bertepatan dengan tahun 125 Hijriah, atau tujuh
tahun sebelum Dimasti Umayyah tumbang di tahun 750 Masehi.
Hisyam digantikan oleh keponakannya, al-Walid bin Yazid bin Abdul
Malik (709-744), yang dikenal dengan julukan al-Walid II, untuk membedakannya
dengan Khalifah al-Walid bin Abdul Malik (668-715). Al-Walid II, pengganti
Hisyam, inilah yang dijuluki Fir’aunnya umat Islam. Bagaimana kisahnya? Mari
kita lanjutkan ngaji sejarah politik Islam.
Saat Yazid bin Abdul Malik berkuasa, dia memutuskan bahwa yang
akan menggantikannya adalah Hisyam bin Abdul Malik, dan kemudian anaknya
sendiri yaitu al-Walid bin Yazid. Sebenarnya Yazid ingin saat itu langsung
anaknya yang menggantikannya. Akan tetapi al-Walid masih berusia 11 tahun saat
wasiat suksesi diberikan, dan ketika Yazid meninggal, al-Walid berusia 15
tahun.
Hisyam berkuasa sekitar 19 tahun, sehingga al-Walid harus menunggu
waktu yang cukup lama sebelum akhirnya dia menjadi khalifah dengan sebutan
Amirul Mukminin (pemimpin orang-orang Mukmin).
Al-Walid II, sang Amirul Mukminin, sayangnya merupakan sosok
dengan pribadi yang tercela. Kita sudah membaca dalam kajian sebelumnya tingkah
laku mayoritas khalifah Dinasti Umayyah yang keluar dari nilai-nilai Islam.
Akan tetapi, apa yang dilakukan oleh al-Walid II melampaui itu semua.
Hisyam sebenarnya hendak menggeser al-Walid II dari jalur suksesi
dan digantikan oleh anak kandungnya sendiri, yaitu Maslamah bin Hisyam. Namun,
al-Walid II menolaknya dan semua pihak sudah telanjur memba’iat Hisyam dan
al-Walid II sebagai satu paket atas dasar wasiat Khalifah Yazid.
Di sinilah persoalan suksesi Dinasti Umayyah. Untuk mencegah
pertarungan internal antarkeluarga, Khalifah sebelumnya memberi wasiat satu
paket dengan dua nama sekaligus yang berurutan akan menjadi khalifah. Namun,
kelemahan cara ini adalah nama yang kedua belum ketahuan bagaimana perangainya
apakah cakap atau tidak; apakah akan berubah menjadi buruk atau tidak. Kalaupun
sudah menjadi buruk, tidak ada mekanisme untuk membatalkan ba’iat satu paket.
Membatalkannya sama dengan membatalkan nama yang pertama. Ribet!
Walhasil, setelah Hisyam wafat, sosok tercela seperti al-Walid II
lah yang melanjutkan tampuk kepemimpinan. Bagaimana perilaku al-Walid II? Imam
Suyuthi mengatakan al-Walid II adalah seorang fasik, peminum khamr, dan banyak
melanggar aturan syari’at.
Bahkan, masih menurut penuturan Imam Suyuthi, al-Walid II naik
haji ke Mekkah dengan tujuan hendak minum khamr (yang memabukkan) di depan
Ka’bah. Dia juga menikahi istri-istri ayahnya–sesuatu yang diharamkan dalam
Islam. Imam Suyuthi meriwayatkan dari Dzahabi bahwa al-Walid II juga melakukan
liwath. Karenanya, ada yang sampai hati
mengatakan dia seorang zindiq.
Apa yang disampaikan Imam Suyuthi dalam kitabnya, Tarikh
al-Khulafa, senada dan seirama dengan penuturan Imam Thabari dalam kitab
Tarikh-nya sebagai berikut: al-Walid II membawa anjing dalam kardus saat naik
haji, dan juga membawa khamr, bahkan dia membawa kanopi seukuran Ka’bah dan
bermaksud menutupi Ka’bah dengan kanopi lalu dia duduk di atas kanopi itu.
Syukurlah, kawannya mencegah sehingga kanopi itu hanya ditaruh di
depan Ka’bah. Imam Thabari mengatakan masih banyak peristiwa tercela lainnya,
namun dia tidak mau mengotori isi kitabnya dengan menuliskan semua perilaku
buruk al-Walid II.
Dengan kata lain, al-Walid II bukan hanya melanggar syari’at Islam
tapi juga berani menantang dan mengolok-olok agama Allah. Dia tidak takut dosa.
Al-Walid II memaksa orang-orang untuk memba’iat kedua anaknya yang belum cukup
umur (al-Hakam dan Utsman) sebagai satu paket menggantikannya kelak.
Siapa saja yang menolak berbai’at akan menemui nasib yang
mengerikan. Begitu tercelanya dia sampai orang-orang menjuluki dia sebagai
Fir’aun. Tapi, apa dasarnya julukan tersebut?
Julukan tersebut berasal dari sebuah riwayat yang diklaim berasal
dari Hadis Nabi:
حَدَّثَنَا
أَبُو الْمُغِيرَةِ حَدَّثَنَا ابْنُ عَيَّاشٍ قَالَ حَدَّثَنِي الْأَوْزَاعِيُّ
وَغَيْرُهُ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ عُمَرَ بْنِ
الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ وُلِدَ لِأَخِي أُمِّ سَلَمَةَ زَوْجِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غُلَامٌ فَسَمَّوْهُ الْوَلِيدَ
فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمَّيْتُمُوهُ بِأَسْمَاءِ
فَرَاعِنَتِكُمْ لَيَكُونَنَّ فِي هَذِهِ الْأُمَّةِ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ الْوَلِيدُ
لَهُوَ شَرٌّ عَلَى هَذِهِ الْأُمَّةِ مِنْ فِرْعَوْنَ لِقَوْمِهِ
“Telah menceritakan kepada kami Abul
Mughirah, telah pula menceritakan kepada kami Ibnu ‘Ayyasy, dia berkata: Telah
menceritakan kepadaku Al-Auza’i dan yang lainnya, dari Az-Zuhri dari Sa’id bin
Al-Musayyib dari Umar bin Khattab dia berkata; “Telah lahir seorang anak dari
saudara laki-laki Ummu Salamah, istri Nabi SAW, kemudian diberi nama al-Walid,
maka Nabi bersabda: “Kalian memberi nama dia dengan nama-nama Fir’aun kalian.
Sungguh akan ada pada umat ini seorang lelaki yang diberi nama al-Walid.
Sungguh dia lebih buruk bagi umat ini ketimbang Fir’aun kepada kaumnya.”
Hadis di atas terdapat dalam Musnad Ahmad, hadis nomor 104. Para
ulama mengomentari apakah al-Walid yang dimaksud ini al-Walid I atau al-Walid
II. Namun, mayoritas beranggapan ini merujuk kepada al-Walid II. Buat sebagian
pihak, ternyata Nabi memang luar biasa sudah menubuwatkan kekejaman al-Walid II
yang bahkan dianggap lebih buruk dari Fir’aun.
Namun, bagi pihak lain, riwayat semacam ini patut dicurigai muncul
karena pertentangan politik dan harus dibaca dengan kritis. Pertama, dari
sembilan kitab utama dalam hadis, riwayat ini hanya tercantum dalam Musnad
Ahmad.
Sebagian ulama seperti Imam Baihaqi mengatakan ini hadis mursal.
Namun, Imam al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak mengatakan riwayat ini sahih
sesuai syarat Bukhari-Muslim, meski keduanya tidak meriwayatkannya dalam kitab
sahih mereka. Ibn Hibban mengatakan riwayat ini batil. Jelas ada
ketidaksepakatan akan status riwayat ini.
Kedua, sejumlah ulama mengambil dalil dari hadis ini sebagai
larangan menamakan anak dengan nama al-Walid. Padahal kalimat Rasul di atas
dalam bentuk khabar (berita) bukan dalam bentuk larangan.
Ketiga, kapan hadis ini mulai diedarkan? Kalau memang ada larangan
memberi nama anak al-Walid, kenapa masih ada yang sampai sekarang memberi nama
anaknya al-Walid. Misalnya, pangeran kaya raya dari Saudi Arabia bernama
al-Walid bin Talal.
Saya khawatir riwayat semacam ini merupakan bagian dari politisasi
ayat dan hadis yang terjadi dalam sejarah politik Islam. Imam Suyuthi juga
mengutip riwayat ini ketika membahas kekejaman al-Walid II. Beliau mengatakan
kebencian umat terhadap al-Walid II sudah sampai ke ubun-ubun. Kelihatannya
riwayat ini diedarkan untuk meruntuhkan legitimasi bai’at kepada al-Walid II.
Dengan mengatakan dia lebih buruk dari Fir’aun, maka pemberontakan terhadapnya
akan dianggap sah.
Memberontak terhadap pemerintah yang sah bisa masuk kategori
bughat (subversif). Namun memberontak terhadap Fir’aun tentu dibenarkan. Boleh
jadi inilah cara melegitimasi pemberontakan terhadap Khalifah al-Walid II. Kali
ini mereka “pakai” hadis untuk kepentingan politiknya. Betapapun tercelanya
al-Walid II, tentu kita tidak dibenarkan berdusta atas nama Rasulullah
SAW.
Al-Walid II menaikkan gaji tentara untuk membeli loyalitas mereka.
Namun, pemberontakan tetap terjadi juga. Pemberontakan dipimpin oleh sepupunya
dari jalur al-Walid I, yaitu Yazid bin al-Walid bin Abdul Malik. Imam
Thabari menceritakan panjang lebar peperangan yang terjadi hingga berujung pada
terbunuhnya al-Walid II yang berkuasa hanya sekitar 14 atau 15 bulan saja.
Sejarawan ada yang berkata dia wafat pada usia 42 tahun, ada lagi yang mengatakan
38 tahun.
Kepala al-Walid II dipenggal oleh pasukan Yazid, yang kemudian
mengambil alih posisi khalifah. Setelah dipenggal, atas perintah Yazid, kepala
al-Walid II ditusuk diujung tombak dan diedarkan ke jalan raya dan pasar di
Damaskus, bahkan sengaja dibawa ke bekas rumah ayahnya. Tindakan ini memicu
kegeraman keluarga al-Walid II. Dinasti Umayyah terpecah belah akibat
pertikaian internal mereka sendiri yang dipicu oleh kelakuan buruk al-Walid
II.
Mampukah Yazid bin al-Walid bin Abdul Malik mengembalikan
stabilitas politik? Kita lanjutkan ngaji sejarah politik Islam pada Jum’at
berikutnya, bi idznillah. []
GEOTIMES, 25 Agustus 2017
Nadirsyah Hosen | Rais Syuriah NU Australia – Selandia Baru dan
dosen senior di Faculty of Law, Monash University
Tidak ada komentar:
Posting Komentar