Kamis, 19 Oktober 2017

Kang Sobary: Pancasila di Dalam Diri Kita



Pancasila di Dalam Diri Kita
Oleh: Mohamad Sobary

KALAU kita berbicara mengenai Pancasila sebagai ideologi negara, kita merasa Pancasila itu begitu abstrak, jauh, dan samar-samar seperti antara ada dan tidak ada. Meski begitu secara normatif-idiil kita wajib menyebutnya ada dan kita tahu adanya tertelak di dalam kesadaran dan citarasa atau gambaran mengenai hidup yang kita dambakan. Apa yang kita damba bukan realitas atau belum menjadi realitas sosiologis. Mungkin dia itu wujud dari realitas ideologis. Ini gambaran dari realitas yang sedang dengan susah payah kita perjuangkan.

Dalam konteks nasional, di mata negara, Pancasila itu tampak nyata pada daftar lima urutan struktural yang kita kenal mulai dari ketuhanan hingga keadilan sosial. Kelimanya  merupakan wujud kesadaran tentang makna kata per kata dari lima sila tadi. Sila yang telah mengamalkannya di dalam konteks kenegaraan hingga terwujud suatu tatanan negara yang begitu agung? Jawabannya mungkin belum ada dan kita mungkin tidak tahu mengapa.

Kalau pada dewasa ini kita mengamati tingkah laku politik para pejabat negara, kita kecewa karena banyaknya proyek besar yang dilaksanakan pemerintah begitu banyak yang menyimpang. Kita menjadi lebih kecewa begitu mengetahui apa yang menyimpang itu di dalamnya ada campur tangan memalukan dari kalangan DPR yang -secara idiil- seharusnya memanggul kewajiban mengawasi agar penyimpangan tak terjadi.

Di tingkat negara, di kalangan para pejabat yang diharapkan menjadi contoh kesungguhan mewujudkan terciptanya lima sila tadi ke dalam tata kehidupan sehari-hari, kelihatannya kita tak menemukan apa-apa. Contoh teladan laku dari orang-orang berpangkat tinggi malah tidak ada. Sedikit pejabat tinggi yang baik, dengan niat dan tingkah laku baik, untuk memberi contoh orang-orang di sekitarnya, hampir mutlak tak berlaku. Ibarat tanaman, buahnya tidak ada dan pengaruh sosial-politiknya tak terasa.

Mungkin kita tak bisa menyebutkan bahwa sumbernya Orde Baru dan segenap keburukan wajah petinggi negara kita muncul dari sana. Tidak bisa. Tapi Orde Baru memanggul tanggung jawab besar terhadap kerusakan negeri ini karena dulu mereka  gila-gilaan mencuri kekayaan rakyat buat diri mereka sendiri. Tanggungjawab ke dua, mereka begitu munafik menyalah gunakan Pancasila untuk kemuliaan diri mereka sendiri dan tak peduli kehancuran menyeluruh dan sangat mendalam terjadi pada kita sekarang.

Para perusak di zaman Orde Baru dulu juga sekarang berteriak reformasi, penegakan hukum, demokrasi, dan Pancasila. Mungkin kita gerah melihat mereka tampil seperti para malaikat surga yang tak tersentuh dosa. Ketika Presiden Jokowi dan orang-orang pilihannya hendak menata kehidupan negara secara tulus dan penuh semangat keadilan, kita bersemangat sekali untuk mendukung. Tapi bagaimana ketulusan politik itu bisa dijaga kemurniannya kalau di dalamnya begitu banyak orang culas yang pura-pura membantu, tapi sebenarnya menjegal dan berusaha sekuat tenaga menggagalkannya?

Dengan kata lain, apa cadangan strategi kita menghadapi langkah mereka yang niatnya menggagalkan? Ini bukan urusan Presiden Jokowi sendiri, tapi juga urusan kita -orang-orang yang jauh dari Istana, jauh dari kekuasaan, dan jauh dari Jakarta- yang memiliki ketulusan membantu tertatanya negara dengan membikin Pancasila hidup kembali  menjadi model kehidupan yang otentik untuk mengabdi.

Kita menebus dosa-dosa Orde Baru sekaligus dosa-dosa para koruptor besar di zaman yang belum lama berlalu dari masa kekuasaan Pak Jokowi. Bahkan Pak Jokowi juga harus menebus -apa boleh buat- dosa para durjana yang turut menjabat di kabinet ini tapi diam-diam mengencingi keluhuran nilai-nilai yang dikembangkan Pak Jokowi.

Jadi, kalau kita katakan bahwa hingga sekarang pun belum cukup teladan dari kalangan pejabat tinggi negara mengenai cara-cara kita mewujudkan tatanan idiil yang berkiblat pada Pancasila, kita tidak berlebihan dan tak bermaksud sama sekali menegasikan para pejabat baik yang banyak jumlahnya. Pak Jokowi sering berdinas dengan menggunakan pesawat komersial dan duduk di kelas ekonomi. Siapa yang menjadikan sikap ini teladan hidup? Pejabat lain yang sok elite menolak contoh itu.

Di kalangan bawah, keadaan mungkin lain. Dalam tata kehidupan masyarakat perdesaan dan dalam jenis-jenis masyarakat komunal di seluruh Nusantara, kehidupan digelar di atas landasan yang seolah persis sedang mengamalkan lima sila itu seutuhnya. Tata kehidupan seperti itu merupakan realitas yang bisa menjadi model untuk ditiru. Ini juga bisa menjadi modal kita melangkah lebih jauh.

Dalam tata kehidupan masyarakat komunal kita temukan keluhuran yang dulu juga ditemukan Bung Karno ketika menggali Pancasila. Anasir kehidupan kita disaring dan dipetik intisarinya untuk menjadi Pancasila ini. Kita sudah berubah. Sebagian dari kita -pribadi maupun sosial- sudah berubah. Sebagian sudah rusak sama sekali. Tapi sisanya, dalam gambaran nyata di masyarakat komunal tadi, masih kita temukan kepingan wajah kita sendiri: otentik, tulus, siap berbagi, dan siap membikin model kehidupan yang tetap berorientasi pada kelima sila tersebut.

Banyak tatanan rusak, banyak pribadi serakah dan hancur, dan biarkanlah semuanya hilang dari perbendaharaan rohani politik kita. Hari ini kita masih memiliki tokoh-tokoh, pribadi-pribadi, dan tatanan kelembagaan dalam masyarakat, terutama dalam masyarakat komunal, yang bisa kita jadikan kekuatan menampilkan secara lebih nyata Pancasila dalam hidup kita. Kita kecewa melihat kerusakan itu, tetapi kita tak kehilangan semangat juang. Kita tak pernah putus harapan. Kita bisa membuat seribu harapan setiap hari dan semua harapan itu bebas pajak.

Boleh jadi selain Pancasila ada ideologi yang hebat, mungkin dipuja-puja lebih hebat dari ideologi yang mana pun, itu boleh saja. Tapi saya kira bukan di sini tempatnya. Mungkin di gunung, mungkin di laut, mungkin di taman surga yang jauh dari Indonesia. Orang-orang yang berjualan ideologi dengan paksaan dan menjejal-jejalkannya kepada kita jelas tak bisa kita terima. Sebaiknya mereka berjualan di tempat lain yang jauh dari kita. Pada hari ini kita sedang sibuk menata kembali strategi untuk menjadikan Pancasila lebih fungsional, hidup alami dalam lingkungan kehidupan kita dan memperkaya spiritualitas kita.

Ketika Pak Jokowi dalam peringatan Hari Lahir Pancasila berkata "Saya Pancasila, Saya Indonesia", muncul kritik dari tokoh besar kita yang implisit menganggap pernyataan Pak Jokowi salah. Dia menghardik -mungkin agak geram- dan membetulkan: "Saya Pancasilais, Saya Orang Indonesia". Begitu seharusnya yang dinyatakan Pak Jokowi menurut orang tersebut. Tapi apa hanya ada satu -hanya satu- cara kita berkata? Apa pernyataan harus sesuai citarasa orang tersebut?

Dia mungkin benar dalam frame logika dia sendiri. Ketika Pak Jokowi berkata "Saya Pancasila", kita memahaminya dalam logika bahwa saya -Pak Jokowi- memiliki di dalam diri unsur-unsur kelima sila itu untuk, kalau kita mau, kita jadikan contoh. Pak Jokowi siap memberi contoh perilaku yang berkiblat pada kelima sila itu. Saya Indonesia, maksudnya bukan mau mengatakan saya orang Indonesia, tetapi ingin menunjukkan bahwa dirinya bisa memberi teladan perilaku yang mampu menerima keragaman budaya kita dan tak akan menolaknya karena bagaimana menolak realitas yang sudah begitu adanya?

Saya di situ bukan hanya Pak Jokowi pribadi. Orang lain, seluruh bangsa, memang harus berkata "saya Pancasila". Kalau mau berkata "saya Pancasilais" juga boleh. Tiap orang diharapkan Pak Jokowi untuk berkata "saya Indonesia". Kalau mau bilang "saya orang Indonesia" silakan saja.

Dengan caranya sendiri Pak Jokowi bergulat mewujudkan Pancasila dalam kehidupan nasional kita. Dan Pancasila dalam tatanan masyarakat komunal tadi biarlah ditata oleh orang-orang lain. Dengan begitu kita bisa bicara -dengan optimisme yang besar- mengenai Pancasila di dalam diri kita. Kalau orang ingin bicara Pancasila di dalam tatanan masyarakat kita juga boleh. Tapi saat ini saya sedang memikirkan hidupnya Pancasila di dalam diri kita. []

KORAN SINDO, 17 Oktober 2017
Mohamad Sobary | Budayawan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar