Kamis, 19 Oktober 2017

(Hikmah of the Day) Kisah Santri Putri yang Akhirnya Jadi Kiai



Kisah Santri Putri yang Akhirnya Jadi Kiai

Di kantor PWNU Jawa Timur, sewaktu masih di Jalan Darmo 96 Surabaya, Kiai Imron Hamzah ketamuan wartawan yang menanyakan masalah mahram bagi kaum "khuntsa" ketika mereka menunaikan ibadah haji.

Kiai Imron menjelaskan bahwa untuk menetapkannya, lihatlah kecenderungan sehari harinya. "Kalau dalam kesehariannya itu lebih dominan perilaku laki-lakinya, maka dia dihitung laki-laki."

"Kalau dalam kesehariannya lebih dominan perilaku perempuan, maka dihitung perempuan."

Persoalan terjadi ketika ada orang yang "angin-anginan" yang disebut "khuntsa musykil".  Pagi kelihatan perilaku laki-laki, lha kok sorenya berperilaku perempuan. Namanya saja "musykil" jelas sulit menentukannya.

Terkait "khuntsa musykil" ternyata Kiai Imron punya cerita.

Pada masa Kiai Imron nyantri di Peterongan, Jombang Kiai Imron mendapat kebebasan dari Kiai Romli Tamim untuk bisa keluar masuk ndalem. Hal itu karena hubungan baik Kiai Hamzah (Abahnya Kiai Imron) dengan Kiai Romli.

Di pesantren putri, Kiai Imron mendapati seorang santri yang badannya gempal dan suaranya menunjukkan maskulinitas. Tapi dia dimasukkan santri putri karena perilakunya yang menunjukkan feminin.

Setelah beberapa tahun berlalu, di Bandara Juanda Kiai Imron ditemui seseorang yang dipanggil kiai oleh para santrinya. Sang kiai tersebut menerangkan bahwa ia adalah santri putri di Pesantren Peterongan. Sontak Kiai Imron kaget, dan beliau bertasbih.

Kenyataan itu memberikan penegasan bagi Kiai Imron bahwa kecenderungan "khuntsa" itu memang bisa berubah-ubah. Sehingga seorang santri putri pada akhirnya bisa menjelma jadi kiai. []

(Muhammad Nuh)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar