Kamis, 12 Oktober 2017

Zuhairi: Rekonsiliasi Fatah dan Hamas



Rekonsiliasi Fatah dan Hamas
Oleh: Zuhairi Misrawi

Inisiatif Fatah dan Hamas untuk menempuh jalur rekonsiliasi merupakan kabar penting bagi masa depan Palestina. Momentum luar biasa telah ditorehkan oleh kedua faksi terbesar di Palestina. Pasalnya, upaya apa pun tidak akan bermakna apa-apa bagi kemerdekaan Palestina jika Fatah dan Hamas tidak mau duduk bersama dalam satu meja untuk sebuah rekonsiliasi.

Perdana Menteri Rami Hamdallah akan melaksanakan tugasnya di Jalur Gaza sebagai bukti konkret jalan menuju rekonsiliasi antara Fatah dan Hamas. Selama ini, Hamdallah melaksanakan tugasnya di Tepi Barat akibat konflik dan perseteruan yang berkepanjangan antara Fatah dan Hamas sejak 2007.

Rekonsiliasi Hamas-Fatah

Situasi global saat ini sangat menguntungkan Palestina. Faktanya, Palestina telah dapat dukungan luas dari banyak negara, termasuk negara-negara Eropa. Dalam sidang tahunan PBB terakhir, Palestina telah resmi menjadi anggota interpol. Dalam sidang sebelumnya, Palestina disahkan sebagai anggota UNESCO dan menjadi anggota pemantau non-anggota PBB yang kedudukannya sama dengan Vatikan. Bendera Palestina pun berkibar di kantor PBB.

Namun, semua itu sia-sia belaka jika tidak didukung oleh Palestina yang bersatu dan berdaulat. Problem yang paling akut dihadapi Palestina adalah friksi dan fragmentasi politik di kalangan internal mereka yang tidak kunjung mencapai kata mufakat untuk mengedepankan kepentingan Palestina. Problem ini sebenarnya jadi batu sandungan serius bagi kemerdekaan Palestina. Ada dua matahari kembar di Palestina: Fatah yang berkuasa penuh di Tepi Barat dan Hamas di Jalur Gaza. Keduanya selama ini ibarat air dan minyak yang sulit dipersatukan.

Karena itu, langkah besar yang diambil Fatah dan Hamas untuk rekonsiliasi dan mewujudkan persatuan mendapatkan apresiasi luas. Mesir memainkan peran yang sangat signifikan bagi terwujudnya rekonsiliasi. Pertanyaannya, kenapa rekonsiliasi ini bisa terwujud dengan mulus?

Pertama, pada tahun 2014, Fatah dan Hamas sudah mencapai kata sepakat untuk membentuk pemerintahan bersama. Namun, kesepakatan tersebut terkendala perihal tidak tercapainya titik temu di antara kedua belah pihak untuk membahas hal-hal krusial. Butuh waktu tiga tahun untuk menerjemahkan kesepakatan dalam sebuah kenyataan.

Kembalinya PM Hamdallah berkantor di Jalur Gaza merupakan sebuah kemajuan bagi upaya persatuan antara Fatah dan Hamas. Pemandangan tersebut membuktikan bahwa tidak ada lagi matahari kembar di Palestina. Fatah dan Hamas sudah memulihkan kembali hubungan yang retak di masa lalu.

Kedua, momentum persatuan warga Palestina dalam melawan kesewenang-wenangan Israel, khususnya dalam peristiwa Masjid Al-Aqsha. Perlawanan yang dilakukan warga Palestina terhadap Israel tanpa membawa bendera kelompok merupakan tamparan serius bagi para elite Palestina yang saling berseteru. Tanpa elite, sebenarnya warga Palestina mampu mengalahkan Israel. Warga Palestina berhasil mempertahankan hak mereka untuk beribadah di kawasan suci Masjid Al-Aqsha.

Secara simbolis, warga Palestina ingin mengatakan kepada Israel bahwa jika Palestina merdeka pada suatu hari nanti, kawasan suci Masjid Al-Aqsha akan menjadi ibu kota mereka. Israel yang sudah lama ingin menguasai penuh kawasan Masjid Al-Aqsha harus menelan kekalahan karena adanya perlawanan keras dari warga Palestina.

Momentum tersebut membuka mata hati para elite Palestina bahwa pada tataran akar rumput warga Palestina jauh lebih maju dan dewasa dalam bersikap. Mereka memikirkan kepentingan bersama Palestina. Mereka melakukan perlawanan terhadap Israel tanpa membawa bendera kelompok dan golongan. Yang mereka perjuangkan Palestina.

Oleh karena itu, Fatah dan Hamas sangat menggarisbawahi aspirasi warga Palestina bahwa tak ada jalan lain mewujudkan kemerdekaan Palestina kecuali melalui rekonsiliasi. Warga Palestina telah memberikan pelajaran berharga bahwa yang ditakutkan oleh Israel adalah warga Palestina bersatu padu.

Peta geopolitik Timteng

Ketiga, peta geopolitik Timur Tengah mengalami perubahan signifikan, khususnya sejak musim semi Arab. Negara-negara Arab menghadapi masalah cukup akut akibat gagalnya konsolidasi demokrasi. Akibatnya, isu Palestina kerap terbengkalai, bahkan hampir tak diperbincangkan lagi.

Terakhir, konflik antara Arab Saudi dan Qatar semakin membuka kesadaran elite Palestina perihal perlunya untuk menentukan masa depan mereka sendiri. Hamas yang selama ini mendapatkan sokongan penuh dari Qatar merasakan dampak serius dari realitas politik tersebut. Hamas akhirnya tunduk pada Mesir yang bertanggung jawab penuh atas perbatasan Rafah.

Mau tak mau, Hamas harus berpikir jauh ke depan untuk mempercepat rekonsiliasi dengan Fatah. Apalagi kabarnya Hamas sedang menghadapi krisis keuangan serius karena tekanan Fatah dan krisis politik yang melanda negara-negara Teluk. Posisi Mesir yang saat ini bersama Arab Saudi menekan Qatar berhasil meyakinkan Hamas dan memediasi rekonsiliasi dengan Fatah.  

Apa pun, kabar rekonsiliasi Fatah dan Hamas merupakan peristiwa yang sangat luar biasa. Gedung Putih, melalui Jason Greenblatt menulis dalam laman Facebook, menyambut baik inisiatif tersebut karena Gaza akan di bawah kendali Otoritas Palestina. Yang terpenting, menurut Gedung Putih, Pemerintah Palestina tidak menggunakan kekerasan, mengakui negara Israel, dan mematuhi kesepakatan bersama melalui negosiasi damai.

Memang tidak ada jalan lain bagi Fatah dan Hamas selain duduk bersama di meja perundingan untuk menyamakan dan menentukan langkah-langkah strategis untuk masa depan Palestina. Haluan baru politik Hamas yang mengakui wilayah Palestina sesuai kesepakatan 1967 merupakan modal politik yang dapat menjadi pijakan bersama untuk memulai perbincangan perihal agenda lain yang tentu saja tidak mudah.

Dari perspektif Hamas, persoalan perbatasan, tersedianya listrik yang cukup, dan gaji pegawai yang tertunda merupakan persoalan-persoalan yang harus mendapatkan penyelesaian secara serius. Isu-isu ini melibatkan pihak Israel yang selama ini menyediakan listrik, Mesir yang mempunyai otoritas penuh atas perbatasan Rafah, dan pihak otoritas Palestina yang bertanggung jawab penuh atas gaji pegawai.

Perbincangan agenda-agenda tersebut sangat terkait dengan isu sentral yang tak mudah dipecahkan, yaitu adanya pengakuan resmi Palestina terhadap Israel. Hamas dan Jihad Islami merupakan dua faksi yang sangat keras terhadap Israel. Hingga sekarang keduanya punya ideologi politik yang secara eksplisit tidak mengakui eksistensi Israel.

Karena itu, rekonsiliasi antara Fatah dan Hamas akan memasuki pembahasan yang rumit di masa mendatang. Perlu kedewasaan dan kemampuan para elite Palestina untuk memahami realitas politik, dan sekali lagi mengedepankan kepentingan Palestina di atas segala-galanya. []

KOMPAS, 10 Oktober 2017
Zuhairi Misrawi | Analis Pemikiran dan Politik Timur Tengah di The Middle East Institute, Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar