Senin, 09 Oktober 2017

(Ngaji of the Day) Hukum Menshalatkan Jenazah Karena Bunuh Diri



Hukum Menshalatkan Jenazah Karena Bunuh Diri

Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Di beberapa media, baik cetak maupun elektronik kita beberapa kali menemukan berita tentang orang-orang yang melakukan bunuh diri. Mereka melakukan bunuh diri karena biasanya ada masalah yang dirasa berat. Tindakan bunuh jelas merupakan perbuatan yang keliru dan termasuk dosa besar.

Yang ingin kami tanyakan pertama adalah apakah pelaku bunuh diri kekal di neraka? Pertanyaan yang kedua, apakah orang yang mati karena bunuh diri tidak dishalati? Demikian pertanyaan yang kami ajukan, atas jawabannya kami ucapkan terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb.

Ardan – Jakarta

Jawaban:

Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah SWT. Dalam kesempatan kali ini kami berusaha untuk menjawab pertanyaan kedua tentang menshalati orang yang meninggal karena bunuh diri. Apakah ia tetap harus dishalati? Tentunya untuk menjawab pertanyaan ini kami akan merujuk pada penjelasan yang telah disodorkan para ulama.

Dalam kasus orang yang mati karena bunuh diri ternyata para ulama berselisih pendapat. Tetapi, menurut pendapat mayoritas ulama, jenazah tetap dishalati. Berbeda dengan mayoritas ulama adalah Umar bin Abdul Aziz yang memandang bahwa orang yang mati karena bunuh diri tidak dishalati. Pandangan Umar bin Abdul Aziz ini juga dipegangi oleh Al-Awzai.

Sedangkan menurut Imam Ahmad bin Hanbal, seorang imam tidak perlu menshalatinya tetapi yang menshalati adalah selainnya. Pandangan Imam Ahmad bin Hanbal ini mungkin bisa dipahami bahwa tokoh masyarakat atau kiainya tidak perlu ikut menshalati, tetapi cukup jamaah atau masyarakat yang lain yang menshalatinya.

Salah satu argumen teologi yang bisa digunakan untuk mendukung pendapat mereka adalah riwayat Jabir bin Samurah yang menyatakan ada seorang laki-laki yang melakukan tindakan bunuh diri kemudian meninggal dan Nabi Muhammad SAW tidak menshalatinya. Menurut Ishaq bin Al-Hanzhali, sikap Nabi Muhammad SAW yang tidak ikut menshalati jenazah itu adalah bentuk peringatan bagi yang lain agar tidak melakukan tindakan yang sama.

وَاخْتَلَفُوا فِي الصَّلَاةِ عَلَى مَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ ، فَذَهَبَ أَكْثَرُهُمْ إِلَى أَنَّهُ يُصَلَّى عَلَيْهِ ، وَكَانَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الَعَزِيزِ لَا يَرَى الصَّلَاةَ عَلَيْهِ ، وَبِهِ قَالَ الْأَوْزَاعِيُّ ، وَقَالَ أَحْمَدُ : لَا يُصَلَّي عَلَيْهِ الْإِمَامُ ، وَيُصَلَّي عَلَيْهِ غَيْرُهُ ، وَاحْتَجُّوا بِمَا رَوَي عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ أَنَّ رَجُلًا قَتَلَ نَفْسَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْهِ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم قَالَ إِسْحَاقُ اَلْحَنْظَلِيُّ : إِنَّمَا لَمْ يُضَلِّ عَلَيْهِ تَحْذِيرًا لِلنَّاسِ عَنْ مِثْلِ مَا فَعَلَ

Artinya, “Para ulama berbeda pendapat mengenai penshalatan orang yang meninggal dunia karena bunuh diri. Menurut pendapat mayoritas ulama, ia tetap dishalati. Sedang Umar bin Abdul Aziz tidak berpendapat untuk menshalatinya. Pandangan Umar bin Abdul Aziz ini juga dipegangi oleh Al-Awzai. Imam Ahmad bin Hanbal berpandapat, imam tidak perlu ikut menshalatinya, sedang yang menshalatinya adalah selain imam. Mereka berhujjah dengan riwayat dari Jabir bin Samurah yang menyatakan bahwa ada seorang laki-laki yang mati karena bunuh diri kemudian Nabi Muhammad SAW tidak menshalatinya. Menurut Al-Hanzhali, sikap Nabi Muhammad SAW yang tidak ikut menshalati jenazah itu pada dasarnya merupakan peringatan bagi yang lain agar tidak melakukan tindakan yang sama.”

Berpijak atas penjelasan ini, setidaknya dapat ditarik sebuah simpulan bahwa jenazah orang yang mati karena bunuh diri sepanjang dia adalah seorang Muslim, tetap dishalati. Sebab, dosa besar perbuatan bunuh diri tidak dengan sertamerta menyebabkan ia keluar dari Islam, sepanjang ia tidak menganggap bahwa tidakan bunuh diri adalah halal.

Adapun sikap dan pandangan Umar bin Abdul Azin dan Al-Awzai adalah cenderung tidak menshalati orang yang mati karena bunuh diri. Kecenderungan ini mesti dibaca sebagai sikap pemakruhan bagi dirinya. Inilah yang kami pahami dari keterangan yang kemukakan Ibnu Bathal dalam kitab Syarhu Shahihil Bukhari-nya.

أَجْمَعَ الْفُقَهَاءُ وَأَهْلُ السُّنَّةِ أَنَّ مَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ أَنَّهُ لَا يَخْرُجُ بِذَلِكَ عَنِ الْإِسْلَامِ ، وَأَنَّهُ يُصَلَّى عَلَيْهِ ، وَإِثْمُهُ عَلَيْهِ كَمَا قَالَ مَالِكٌ ، وَيُدْفَنُ فِى مَقَابِرِ الْمُسْلِمِينَ ، وَلَمْ يُكْرِهِ الصَّلَاةَ عَلَيْهِ إِلَّا عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ ، وَالْأَوْزَاعِىيُّ فِى خَاصَةِ أَنْفُسِهِمَا

Artinya, “Para fuqaha` dan ulama dari kalangan Ahlusunnah sepakat bahwa orang yang mati karena bunuh diri tidak keluar dari Islam, ia tetap dishalati, dan wajib menanggung dosa akibat perbuatannya sebagaimana dikemukakan Imam Malik, dimakamkan di pemakaman orang-orang Muslim. Hanya Umar bin Abdul Aziz dan Al-Awzai yang menganggap makruh penshalatan jenazah orang yang meninggal karena bunuh diri di mana keduanya memakruhkan khusus untuk dirinya sendiri,” (Lihat Ibnu Baththal, Syarhu Shahihil Bukhari, Riyadl, Maktab Ar-Rusyd, cet ke-2, 1423 H/2003 M, juz III, halaman 349).

Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu ‘alaikum wr. wb.

Mahbub Ma’afi Ramdlan
Tim Bahtsul Masail NU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar