Islam Dan Perjuangan Negara Islam
Oleh: KH. Abdurrahman Wahid
Penulis menerima sebuah permintaan dari teman-teman dalam MILF
(Moro Islamic Liberation front), untuk menghentikan penyerbuan tentara
Philipina atas kamp-kamp mereka di Philipina selatan. Padahal, mereka sudah
menandatangani perjanjian Tripoli (Lybia) baru-baru ini yang berisikan
ketentuan memperjuangkan otonomi daerah itu bagi kaum muslimin, melalui
negosiasi dan perundingan. Ini berarti mereka telah meninggalkan perjuangan
bersenjata, guna memungkinkan perundingan damai.
Namun, MNLF (Moro National Liberation Front), yang dipimpin oleh
Nur Misuari, menurut tentara Philipina kembali pada perjuangan bersenjata
dengan cara bergerilya, untuk memperjuangkan sebuah Negara Islam (NI).
Ternyata, kemudian Nur Misuari dikejar-kejar, dan dengan menggunakan perahu
memasuki kawasan Malaysia di Sarawak. Di tempat itu ia di tangkap oleh pihak
keamanan Malaysia, lalu diterbangkan ke Kuala Lumpur, dan selanjutnya
diekstradisikan ke Manila. Kini ia meringkuk di tahanan, dan menjalani proses
pengadilan Philipina. Sekarang, pihak MILF meminta pertolongan penulis agar
tentara Philipina tidak menyerbu kamp-kamp mereka, atas dasar alasan MILF juga
akan memberontak seperti halnya MNLF, dalam anggapan mereka. Penulis menjawab,
tidak dapat melakukan hal itu, karena tidak akan didengar oleh tentara
Philipina; sedangkan
Presiden Gloria Macapagal Arroyo saja tidak didengar oleh tentara Philipina. Apapula orang luar yang melakukan hal itu.
Presiden Gloria Macapagal Arroyo saja tidak didengar oleh tentara Philipina. Apapula orang luar yang melakukan hal itu.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tentara Philipina, atau oknum-oknum dalam kepemimpinan formalnya, cenderung untuk melanggar kebijakan pemerintah untuk berunding. Hal ini patut disayangkan, tetapi demikianlah kenyataan yang ada dan sikap seperti itu juga dijalankan oleh oknum-oknum militeristik dalam lingkungan tentara Thailand dan Indonesia. Di Thailand, mereka cenderung mencurigai orang-orang Islam di selatan, timur dan utara negeri itu. Diabaikan kenyataan, bahwa komunitas kaum muslimin kini sudah mencapai antara 20-25% dari total penduduk negeri itu. Di Indonesia, sikap menolak berunding dengan pihak GAM dan pihak Hasan Di Tiro untuk merumuskan batasan-batasan otonomi khusus di Aceh, dengan menembak mati orang-orang GAM yang dianggap sebagai pengacau keamanan yang harus ditumpas dengan kekerasan
bersenjata oleh aparat keamanan.
*****
Dengan demikian, unsur-unsur yang tadinya menolak sparatisme, mau
tak mau akhirnya menjadi kaum sparatis. Sedangkan pihak moderat (kaum yang
tidak keras) akhirnya dikalahkan oleh kelompokkelompok garis keras (kaum
ekstrimis atau fundamentalis, apalagi di kalangan kaum mudanya). Kaum muslim
moderat itu digambarkan oleh saingan-saingan mereka sebagai yang berhati lemah
dan tunduk pada pemerintah. Dengan demikian, keadaan akan dikuasi oleh mereka
yang berhaluan keras, hingga menimbulkan kesan seolah-olah seluruh kaum
muslimin di kawasan yang bersangkutan itu benar-benar telah menjadi kaum
sparatis secara keseluruhan.
Dengan demikian, terjadi eskalasi antara perlawanan mereka dan pembalasan bersenjata atas mereka oleh aparat pemerintah, yang pada akhirnya belum tentu dapat menyelesaikan masalah.
Dengan demikian, terjadi eskalasi antara perlawanan mereka dan pembalasan bersenjata atas mereka oleh aparat pemerintah, yang pada akhirnya belum tentu dapat menyelesaikan masalah.
Di Aceh, misalnya, proyek DOM (Daerah Operasi Militer) berjalan
bertahun-tahun tanpa ada penyelesaian, dan akhirnya dunia internasional
menyalahkan negara kita sebagai pelanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Kalau
Belanda saja tidak dapat menyelesaikan penyelenggaraan pemerintahan pendudukan
/ kolonial selama lebih dari 35 tahun, apakah kita juga akan bermusuhan dengan
rakyat sendiri di kawasan tersebut untuk masa yang sama?
Karenanya, jalan terbaik untuk menyelesaikan masalah pertentangan
pemerintah dan kaum beragama di Philipina, Thailand dan Aceh, sebaiknya
dilakukan secara berunding, agar tidak menjadi semakin berlarut-larut.
Kenyataan yang demikian sederhana, memang tampak seperti mengalah kepada mereka
yang berhaluan keras (kaum ekstrimis atau fundamentalis). Namun, yang
dipersoalkan bukanlah mereka, tapi rakyat banyak yang menginginkan otonomi
khusus melalui perundingan damai. Perundingan seperti itu mengharuskan
adanya kesediaan oknum-oknum militer untuk mendengarkan dan menghormati
pendapat pemerintah, dan bukan sebaliknya.
*****
Dengan demikian, penyelesaian yang diharapkan bukanlah
penyelesaian militer, melainkan penyelesaian politis. Sepintas lalu, sikap
seperti ini tampak bagaikan mengalah, dan pihak pemerintah dikalahkan oleh
aspirasi-aspirasi setempat. Dalam kenyataannya, tidak sedemikian benar yang
terjadi, karena toh pada akhirnya kaum ekstrimis itu akan diserap oleh
masyarakat yang memang berjiwa moderat. Hal inilah yang mendorong Bung Karno
menyelesaikan masalah Daud Beureueh di Aceh, yang dikenal sebagai pemberontakan
Darul Islam di tahun-tahun 50-an dengan penyelesaian secara politis. Demikian
pula, diselesaikannya pemberontakan PRRI Permesta secara politis setelah
penyerbuan oleh TNI kekawasan Sumatera Barat dan Tomohon di Sulawesi
Utara. Kalau penyelesaian politis ini tidak dilakukan, maka rakyat kebanyakan
akan dimanipulir oleh kaum muda yang bergaris keras. Mereka tinggal menunjuk
kepada kenyataan adanya represi dan penembakan oleh tentara atas penduduk yang
tidak bersalah, yang nantinya akan membuat perlawanan
rakyat menjadi semakin nyata. Kalau ini terjadi, oknum-oknum militer itu akan menyerahkan persoalan kepada pemerintah yang dengan susah payah harus mengulang kembali dari semula perundingan dengan mereka yang menginginkan otonomi khusus bagi kawasan yang bersangkutan, dalam jumlah orang yang lebih sedikit dari semula.
Karena itu, jelas bagi pihak militer yang ingin menggunakan kekerasan di Philipina selatan, Thailand selatan maupun di Aceh, hendaknya segera menghentikan langkah-langkah mereka itu. Biarkan pemerintah mencari penyelesaian damai melalui perundingan dengan kaum moderat yang masih berjumlah besar. Kalau terlambat, perundingan itu akan menjadi lebih sulit, dan hasilnya tidak dapat dipastikan. Demikian pula, dalam proses yang terjadi wibawa pemerintah masih tetap besar kalau penyelesaian dicapai melalui perundingan sekarang. Dan sebaliknya, wibawa itu tentu semakin berkurang, kalau eskalasi pertentangan bersenjata tetap berjalan. Benarkah para Jenderal itu berpikir hanya untuk kepentingan bangsa dan bukannya kepentingan sendiri?
Jakarta, 13/6/2002
[]
DUTA MASYARAKAT BARU
Abdurrahman Wahid | Ketua Dewan Syura DPP PKB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar