PKI dan Orang Tak
Berpartai, Perdebatan Kiai Idham Chalid dengan Kawanan Aidit
Menjelang pemilihan
umum tahun 1955, Partai Komunis Indonesia (PKI) buat ontran-ontran. Partai
berlambang palu arit ini meletakkan kalimat “PKI dan Orang Tak Berpartai” di
bawah logo resminya.
Kalimat propaganda
tersebut dinilai sebagai upaya mengelabuhi mata rakyat. Partai Nahdlatul Ulama
sebagai salah satu peserta pemilu mengajukan protes keras hingga akhirnya
Menteri Dalam Negeri, Mr Sunaryo menggelar pertemuan segi empat.
Pada pertemuan itu,
Mendagri Sunaryo memanggil S Hadikusumo sebagai Ketua Pemilihan Umum, dan Idham
Chalid mewakili Partai NU. Sedangkan dari kubu PKI diwakili DN Aidit, Sudisman
dan Sakirman.
Mendagri Sunaryo
membuka perundingan dengan mengatakan bahwa setiap tanda gambar partai dalam
pemilihan umum harus disepakati pemerintah juga seluruh partai peserta pemilu.
Berhubung Partai Nahdlatul Ulama termasuk peserta pemilu dan sangat keberatan
atas tanda gambar PKI, maka pemerintah perlu mengadakan perundingan di antara
pihak-pihak yang bersangkutan.
Kesempatan pertama
diberikan kepada penggugat, yakni Kiai Idham Chalid yang mewakili Partai
NU.
“Menurut pengetahuan
Nahdlatul Ulama bahwa tanda gambar atau simbol PKI selama ini cuma palu-arit.
Dengan menambahkan kalimat ‘PKI dan Orang Tak Berpartai’ dipandang bahwa PKI
hendak menjadikan begitu saja semua orang yang tak berpartai ke dalam
golongannya tanpa diminta persetujuan mereka. Ini merupakan usaha mengelabuhi
mata rakyat!” katanya dengan nada tinggi.
Mendengar istilah
“mengelabuhi mata rakyat”, DN Aidit tidak terima dan mengajukan protes yang tak
kalah kerasnya. Tetapi protes itu tetap ditolak, dan Kiai Idham kekeuh
menamakan mereka sebagai kelompok penipu rakyat.
Sudisman yang
sebelumnya diam berusaha menenangkan dengan mengajukan pertanyaan, “Dari mana
Anda bisa mengambil kesimpulan mengelabuhi rakyat?”
“Coba ambil saja satu
misal. Di negeri kita masih banyak orang-orang yang tak berpartai, mereka
anti-komunis. Lalu mereka dengan begitu saja dimasukkan ke dalam golongan PKI,”
jawab Kiai Idham.
“Apakah ini bukan
mengelabuhi mata rakyat?” tanya balik. Kiai kelahiran Satui, Tanah Bumbu,
Kalimantan Selatan, 27 Agustus 1921 ini kemudian melanjutkan. “Bukan saja
mengelabuhi, bahkan memperkosa hak seseorang dengan sangat merugikan. Misal
lagi, ada juga beberapa ulama tidak berpartai. Mereka tidak menjadi anggota
Nahdlatul Ulama, juga tidak Masyumi, PSII maupun Perti. Lalu oleh PKI hendak
dimasukkan ke dalam golongannya. Padahal mereka haram memilih PKI, mereka anti-komunis
dan anti-PKI.”
Aidit tidak tinggal
diam. Lelaki bernama lengkap Dipa Nusantara Aidit ini menjelaskan bahwa PKI
tidak bermaksud mengelabuhi mata rakyat. Tentang kepada partai mana seseorang
akan memilih, itu tetap menjadi hak mereka.
“Ya dengan membubuhi
kata-kata dalam gambar palu arit dengan kalimat 'dan orang tak berpartai' itu
saja sudah merupakan suatu propaganda untuk mengelabuhi mata rakyat,” terang
Kiai Idham.
Entah karena merasa
terpojok, DN Aidit tiba-tiba membujuk Kiai Idham dengan menyatakan jika dirinya
tidak keberatan kalau saja Nahdlatul Ulama juga menambahkan kalimat dalam
gambarnya yang berbunyi “Nahdlatul Ulama dan semua orang Islam”.
Tawaran diplomatis
itu ditolak dengan tackle halus. “Bagaimana saya harus melakukan sesuatu yang
sangat berkeberatan orang lain melakukannya?”
Perundingan yang
memakan waktu dua kali pertemuan itu akhirnya selesai. Pemerintah melalui
Menteri Dalam Negeri memerintahkan Partai Komunis Indonesia untuk menghapus
kalimat “PKI dan Orang Tak Berpatai” dari gambarnya dalam pemilihan umum tahun
1955. ***
Kisah ini bersumber
dari KH Saifuddin Zuhri melalui bukunya Guruku Orang-Orang Dari Pesantren
(LKiS, 2001).
[]
(Zunus Muhammad)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar