Senin, 09 Oktober 2017

Mahfud MD: Terjadinya Peradilan Sesat



Terjadinya Peradilan Sesat
Oleh: Moh Mahfud MD

“Tok, tok, tok. Penetapan Setya Novanto menjadi tersangka tidak sah”. Masyarakat menjadi heboh ketika hakim tunggal Cepi Iskandar mengabulkan permohonan praperadilan yang diajukan oleh Setya Novanto atas penetapannya sebagai tersangka korupsi Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pada Jumat (29/9) pekan lalu, Cepi Iskandar memutus dan mengetokkan palu bahwa penetapan Setya Novanto sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi e-KTP tidak sah  dan memerintahkan KPK agar menghentikan penyidikan atas Setya Novanto dalam kasus tersebut.

Masyarakat heboh. Media sosial diramaikan dengan berbagai meme dan hujatan baik yang sarkastis maupun yang dibuat secara lucu-lucuan. Ada yang mencurigai hakim telah memutus secara tidak adil, dipengaruhi oleh kekuatan di luar logika dan nurani hukum sehingga membuat putusan secara koruptif. Ada yang membuat sindiran Novanto adalah orang paling kuat di dunia ini. “Kalau Novanto terlambat bangun, maka matahari menunda jam terbitnya,” demikian salah satu sindiran.

Meskipun tidak menyebut nama seseorang politisi dari PDI Perjuangan Budiman Sudjatmiko menulis sindiran yang kira-kira bunyinya begini: “Kalau Anda sakit keras, tidak usah ke dokter, sekarang ini hakim bisa langsung menyembuhkan Anda”. Jika Anda sakit parah dan keluarga Anda sudah menyiapkan segala sesuatu untuk menerima segala kemungkinan maka Anda bisa sembuh dan langsung pulang dari rumah sakit hanya dengan ketokan palu hakim.

“Hakim sekarang lebih hebat daripada dokter dalam menyembuhkan orang sakit,” demikian makna sindiran itu. Banyak meme yang jauh lebih keras dari itu sebagai kritik yang tak bisa dibendung. Tetapi masyarakat yang marah atas putusan itu tidak ada yang bisa membuktikan bahwa putusan itu lahir dari produk main sabun, kolusi, atau karena kemenyan gelap.

Harus diingat, di dunia hukum dan jagat raya peradilan putusan hakim yang sudah inkracht itu mengikat, terlepas dari soal benar atau salah. Kalau pun putusan itu sengaja dibuat secara salah dan ada yang bisa membuktikan maka putusan itu tetap mengikat dan harus diikuti sedangkan kesalahan hakimnya, kalau memang ada, bisa diselesaikan secara hukum dalam perkara tersendiri.

Itu pun kalau ada buktinya. Lah, nyatanya, tidak ada seorang pun yang bisa membuktikan “secara hukum” bahwa vonis yang dibuat oleh Cepi itu sengaja dibuat secara salah atau lahir karena kolusi. Maka itu putusan itu mengikat dan harus diterima sebagai produk hukum yang mengakhiri kontroversi. Ada dalil yang berlaku universal, “hukmul haakim yarfa’ul khilaaf”, putusan hakim itu mengakhiri pertentangan. Ia harus diikuti atau ditaati. Itu demi kepastian hukum.

Tetapi, seperti diteorikan oleh Gustav Radburg, tujuan hukum itu bukan hanya untuk menegakkan kepastian hukum melainkan juga untuk menegakkan  keadilan dan memberi kemanfaatan bagi masyarakat. Oleh banyak orang vonis Cepi atas perkara Setya Novanto dianggap melukai rasa keadilan. Pelukaan terhadap rasa keadilan oleh vonis tersebut tentulah bukan bukti hukum sehingga ia hanya bisa diekspresikan melalui kritik sosial, satire maupun sarkastis.

Kepastian hukum yang dianggap melukai rasa keadilan itu niscaya menimbulkan berbagai dugaan yang sulit dibuktikan, misalnya, hakimnya sudah diatur, disuap, ditekan, dan sebagainya. Di dalam studi ilmu hukum memang ada kajian tentang vonis-vonis lancung yang lahir karena penegak hukum yang bobrok. Seorang penulis hukum asal Jerman, Gerhart Herman Mostar, pernah melakukan penelitian yang kemudian ditulis di dalam buku “Peradilan Sesat”. Yakni  peradilan yang vonisnya tidak adil karena menghukum atau membebaskan orang secara salah.

Ada beberapa sebab munculnya vonis dari hakim yang sesat sehingga melukai rasa keadilan. Pertama, karena jaksa penuntut memang tidak mampu menghadirkan bukti meskipun diyakini seseorang telah benar-benar melakukan kejahatan. Kedua, karena penyuapan yakni sang hakim disuap dengan uang agar membuat putusan seperti yang dikehendaki si penyuap. Ketiga, karena keperluan untuk memuluskan karier sang hakim, misalnya, agar tidak dibuang ke daerah terpencil atau karena dijanjikan naik jabatan.

Keempat, karena ancaman, teror, penyanderaan, pemerasan (blackmail). Bisa saja seorang hakim, misalnya, tidak disuap dan tidak punya agenda menggunakan perkara yang ditanganinya untuk menunjang kariernya tetapi ia diancam akan dibuka perilaku lancungnya ketika menangani perkara lain di masa lalu. Sang hakim bisa diancam, “Jika Anda tidak memutus begini dalam perkara ini maka Anda akan masuk penjara karena Anda pernah menerima suap. Kami tahu kapan Anda menerima suap dan siapa yang menyuap”.  Hakim yang memang pernah menerima suap tentu lebih memilih membuat vonis sesuai dengan order daripada dirinya digiring ke penjara.

Meski banyak yang merasa terjadi kejanggalan dan ketidakadilan tapi, rasanya, tak seorang pun yang mempunyai bukti untuk  menuduh bahwa Hakim Cepi telah membuat vonis sesat karena salah satu dari empat sebab tersebut. Persepsi tetaplah persepsi, jika tidak ada bukti hukumnya.

Oleh sebab itu masyarakat hanya bisa menerima vonis hakim tersebut meskipun tidak ada yang bisa menghalangi untuk terus menggerutu. Tetapi masyarakat tak perlu hilang harapan sebab meski vonis Praperadilan sudah inkracht namun KPK masih bisa menetapkan tervonis untuk ditersangkakan lagi. Praperadilan tidak menghilangkan materi dugaan melainkan hanya meluruskan prosedur dan segala persyaratannya. Silakan tersangkakan lagi tapi harus cermat dan berhati-hati agar selain tidak gagal lagi juga tidak terjebak ke dalam kesewenang-wenangan dan melanggar hak asasi orang. []

KORAN SINDO, 7 Oktober 2017
Moh Mahfud MD | Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN); Ketua MK (2008-2013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar