Kiai Wahab Chasbullah
dalam Penilaian Adam Malik
Tatkala Orde Lama, KH
Abdul Wahab Chasbullah (1888-1971) diejek sebagai “Kiai Nasakom”. Sebab selain
dikenal sebagai pengagum Soekarno, Kiai Wahab, sapaan akrabnya juga melibatkan
NU dalam konsep Nasakomnya Soekarno. Prinsip Kiai Wahab tegas, lebih baik
melakukan perbaikan dari dalam, dengan melibatkan NU dalam konsep trisula
itu.
Begitu pula tatkala
terjadi perbedaan pandangan mengenai sikap NU terhadap DPR-GR. Bahkan ia
berbeda pendapat dengan iparnya, KH Bisri Syansuri. “Masuk dulu, kalau tidak
cocok baru keluar. Sulit masuknya, mudah keluarnya.” Demikian alasan pengasuh
Pesantren Tambakberas ini.
Sikap demikian
menyebabkan Kiai Wahab dikecam habis-habisan. Salah seorang tokoh Islam
modernis bahkan dengan nada nyinyir berkomentar soal Kiai Wahab, “Kalau
tempurung kepala Kiai Wahab dibelah, niscaya bakal kita lihat ada palu-arit di
dalamnya!”
Menyikapi caci maki
ini, Kiai Wahab hanya tertawa enteng, “Kalau saja cuma sekedar anggota biasa
NU, tentu saya tak akan dijadikan sasaran kritik dan cacian. Tetapi, saya
adalah termasuk pimpinan tertinggi dalam NU. Biasanya, pohon tertinggi menjadi
sasaran tiupan angin, bahkan angin badai. Kalau saja sekedar menjadi rumput,
tak akan menjadi sasaran badai!”
Sikap teguh Kiai
Wahab ini jauh-jauh hari tercermin dari kata-katanya saat banyak pihak
meragukan kemampuan NU berpisah dengan Masyumi dan menjadi parpol tahun 1952.
Tatkala Isa Anshary, salah satu tokoh Islam modernis, bertanya secara skeptis
mengenai kesiapan NU menjadi parpol dan kondisi SDM NU yang belum banyak mahir
dalam berpolitik, Kiai Wahab dengan cerdas menjawab, “Kalau saya akan membeli
mobil baru, dealer mobil itu tidak akan bertanya: ‘Apa tuan bisa memegang
kemudi?’ pertanyaan itu tidak perlu. Sebab, andaikan saya tidak bisa
mengemudikan mobil, saya bisa memasang iklan ‘Mencari Sopir’. Pasti nanti akan
datang pelamar-pelamar sopir yang antre di muka pintu rumah saya.”. Jawaban
yang cerdas.
Keteguhan Kiai Wahab
ini mengingatkan pada pidato pertamanya sebagai Rais Aam pada tahun 1950,
menyusul wafatnya KH M Hasyim Asy’ari pada tahun 1947. Saat itu, kalimat
masyhur yang terlontar dari bibir Kiai Wahab adalah, “Jika diibaratkan,
kekuatan NU itu ibarat meriam, betul-betul meriam!”
Apabila mendapati
beberapa kader NU yang masih ragu dengan potensi NU dalam berpolitik, dengan
gayanya yang tenang dan khas, Kiai Wahab tampil dengan sikapnya yang kukuh.
“Siapa yang masih ragu, silahkan tetap dalam Masyumi. Saya akan pimpin sendiri
partai ini. Saya hanya memerlukan seorang sekretaris dan tuan-tuan boleh lihat
apa yang akan saya lakukan.”
Optimisme Kiai Wahab
terjawab. Dalam Pemilu 1955, NU menjadi salah satu kekuatan politik terkemuka,
di samping PNI, Masyumi, dan PKI. Di bawah komandonya pula, NU berhasil
melewati fase-fase genting dalam berpolitik di era 1950-an hingga dasawarsa
berikutnya. Kiai Wahab menjadikan NU sebagai jangkar penyeimbang tarik menarik
politik di sekitar Bung Karno yang melibatkan unsur PKI dan TNI, khususnya AD,
setelah Bung Karno mengerdilkan Masyumi dan PSI.
Di tangan Kiai Wahab,
NU menjadi salah satu poros kekuatan Islam paling disegani. Meski sering
dinilai sebagai muslim tradisionalis, namun dalam soal kaderisasi, Kiai Wahab
diakui memang jempolan. Adam Malik, yang pernah menjadi Wakil Presiden RI
(1978-1983) misalnya, dalam memoarnya, “Mengabdi Pada Republik (Jilid II)”
membandingkan kiprah Sutan Syahrir (PSI) dengan Kiai Wahab.
“Dalam hubungan
dengan salah satu prasyarat yang penting bagi seorang politisi, yaitu harus
dapat berkomunikasi terus menerus dengan rakyat dengan memakai media bahasa
rakyat, budaya rakyat, selera rakyat dan emosi rakyat, ingin saya kemukakan dua
orang tokoh sebagai contoh, yaitu almarhum Sutan Syahrir dan almarhum KH Abdul
Wahab (Chasbullah), bekas rais Am partai politik Nahdlatul Ulama.
Mereka ini adalah dua
orang tokoh politik kita yang dalam banyak hal sangat berbeda satu sama lain.
Syahrir seorang intelektualis tinggi dan modern, Wahab seorang kolot dan
“dusun”; Syahrir suka bermain di tingkat atas membatasi diri pada lingkungan
kecil elit intelektualis, Wahab berkecimpung di desa dan di susun di kalangan
rakyat yang menderita; Syahrir menghibur diri di atas lantai dansa yang bersih
dan mengkilat, Wahab menemukan tempat rekreasi penenang keresahan di pojok
langgar desa yang sudah reot dengan seuntai tasbih di tangan; Syahrir bekerja
dengan perencanaan dengan perhitungan secara matematis, Wahab berjalan menurut
arah intuitif tradisionalnya.
Singkatnya, Syahrir
adalah seorang politisi muda intelek dengan otak yang brilian, akan tetapi
antara dia dan rakyat terbentang satu jurang pemisah yang dalam. Sebaliknya,
Wahab adalah seorang politisi tua yang “dusun” dan sama sekali tak ada bau-bau
intelek pada dirinya, tetapi dia bukan saja memiliki komunikasi yang terus
menerus dengan rakyat tetapi dia sendiri memang satu dengan rakyat.
Dan, siapakah di
antara kedua tokoh yang sangat berbeda ini yang sukses disebut sebagai
politisi? Pilihan saya jatuh pada Abdul Wahab, di mana barisannya tetap utuh
melalui ombak gelombang menuju pantai harapan, sedangkan barisan Syahrir pecah
berkeping-keping di tengah jalan.”
Penilaian Adam Malik
di atas tak meleset. Dengan caranya yang khas, Kiai Wahab mampu menjadikan NU
sebagai salah satu penggerak nasionalisme-religius di Indonesia. Wallahu a'lam
bisshawab. []
Rijal Mumazziq Z,
Ketua Lembaga Ta'lif wan Nasyr (LTN) PCNU Kota Surabaya, Jawa Timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar