Rabu, 04 Oktober 2017

Kiai Wahab Chasbullah dalam Penilaian Adam Malik



Kiai Wahab Chasbullah dalam Penilaian Adam Malik

Tatkala Orde Lama, KH Abdul Wahab Chasbullah (1888-1971) diejek sebagai “Kiai Nasakom”. Sebab selain dikenal sebagai pengagum Soekarno, Kiai Wahab, sapaan akrabnya juga melibatkan NU dalam konsep Nasakomnya Soekarno. Prinsip Kiai Wahab tegas, lebih baik melakukan perbaikan dari dalam, dengan melibatkan NU dalam konsep trisula itu. 

Begitu pula tatkala terjadi perbedaan pandangan mengenai sikap NU terhadap DPR-GR. Bahkan ia berbeda pendapat dengan iparnya, KH Bisri Syansuri. “Masuk dulu, kalau tidak cocok baru keluar. Sulit masuknya, mudah keluarnya.” Demikian alasan pengasuh Pesantren Tambakberas ini.

Sikap demikian menyebabkan Kiai Wahab dikecam habis-habisan. Salah seorang tokoh Islam modernis bahkan dengan nada nyinyir berkomentar soal Kiai Wahab, “Kalau tempurung kepala Kiai Wahab dibelah, niscaya bakal kita lihat ada palu-arit di dalamnya!”

Menyikapi caci maki ini, Kiai Wahab hanya tertawa enteng, “Kalau saja cuma sekedar anggota biasa NU, tentu saya tak akan dijadikan sasaran kritik dan cacian. Tetapi, saya adalah termasuk pimpinan tertinggi dalam NU. Biasanya, pohon tertinggi menjadi sasaran tiupan angin, bahkan angin badai. Kalau saja sekedar menjadi rumput, tak akan menjadi sasaran badai!”

Sikap teguh Kiai Wahab ini jauh-jauh hari tercermin dari kata-katanya saat banyak pihak meragukan kemampuan NU berpisah dengan Masyumi dan menjadi parpol tahun 1952. Tatkala Isa Anshary, salah satu tokoh Islam modernis, bertanya secara skeptis mengenai kesiapan NU menjadi parpol dan kondisi SDM NU yang belum banyak mahir dalam berpolitik, Kiai Wahab dengan cerdas menjawab, “Kalau saya akan membeli mobil baru, dealer mobil itu tidak akan bertanya: ‘Apa tuan bisa memegang kemudi?’ pertanyaan itu tidak perlu. Sebab, andaikan saya tidak bisa mengemudikan mobil, saya bisa memasang iklan ‘Mencari Sopir’. Pasti nanti akan datang pelamar-pelamar sopir yang antre di muka pintu rumah saya.”. Jawaban yang cerdas.

Keteguhan Kiai Wahab ini mengingatkan pada pidato pertamanya sebagai Rais Aam pada tahun 1950, menyusul wafatnya KH M Hasyim Asy’ari pada tahun 1947. Saat itu, kalimat masyhur yang terlontar dari bibir Kiai Wahab adalah, “Jika diibaratkan, kekuatan NU itu ibarat meriam, betul-betul meriam!”

Apabila mendapati beberapa kader NU yang masih ragu dengan potensi NU dalam berpolitik, dengan gayanya yang tenang dan khas, Kiai Wahab tampil dengan sikapnya yang kukuh. “Siapa yang masih ragu, silahkan tetap dalam Masyumi. Saya akan pimpin sendiri partai ini. Saya hanya memerlukan seorang sekretaris dan tuan-tuan boleh lihat apa yang akan saya lakukan.”

Optimisme Kiai Wahab terjawab. Dalam Pemilu 1955, NU menjadi salah satu kekuatan politik terkemuka, di samping PNI, Masyumi, dan PKI. Di bawah komandonya pula, NU berhasil melewati fase-fase genting dalam berpolitik di era 1950-an hingga dasawarsa berikutnya. Kiai Wahab menjadikan NU sebagai jangkar penyeimbang tarik menarik politik di sekitar Bung Karno yang melibatkan unsur PKI dan TNI, khususnya AD, setelah Bung Karno mengerdilkan Masyumi dan PSI.

Di tangan Kiai Wahab, NU menjadi salah satu poros kekuatan Islam paling disegani. Meski sering dinilai sebagai muslim tradisionalis, namun dalam soal kaderisasi, Kiai Wahab diakui memang jempolan. Adam Malik, yang pernah menjadi Wakil Presiden RI (1978-1983) misalnya, dalam memoarnya, “Mengabdi Pada Republik (Jilid II)” membandingkan kiprah Sutan Syahrir (PSI) dengan Kiai Wahab.

“Dalam hubungan dengan salah satu prasyarat yang penting bagi seorang politisi, yaitu harus dapat berkomunikasi terus menerus dengan rakyat dengan memakai media bahasa rakyat, budaya rakyat, selera rakyat dan emosi rakyat, ingin saya kemukakan dua orang tokoh sebagai contoh, yaitu almarhum Sutan Syahrir dan almarhum KH Abdul Wahab (Chasbullah), bekas rais Am partai politik Nahdlatul Ulama.

Mereka ini adalah dua orang tokoh politik kita yang dalam banyak hal sangat berbeda satu sama lain. Syahrir seorang intelektualis tinggi dan modern, Wahab seorang kolot dan “dusun”; Syahrir suka bermain di tingkat atas membatasi diri pada lingkungan kecil elit intelektualis, Wahab berkecimpung di desa dan di susun di kalangan rakyat yang menderita; Syahrir menghibur diri di atas lantai dansa yang bersih dan mengkilat, Wahab menemukan tempat rekreasi penenang keresahan di pojok langgar desa yang sudah reot dengan seuntai tasbih di tangan; Syahrir bekerja dengan perencanaan dengan perhitungan secara matematis, Wahab berjalan menurut arah intuitif tradisionalnya.

Singkatnya, Syahrir adalah seorang politisi muda intelek dengan otak yang brilian, akan tetapi antara dia dan rakyat terbentang satu jurang pemisah yang dalam. Sebaliknya, Wahab adalah seorang politisi tua yang “dusun” dan sama sekali tak ada bau-bau intelek pada dirinya, tetapi dia bukan saja memiliki komunikasi yang terus menerus dengan rakyat tetapi dia sendiri memang satu dengan rakyat.

Dan, siapakah di antara kedua tokoh yang sangat berbeda ini yang sukses disebut sebagai politisi? Pilihan saya jatuh pada Abdul Wahab, di mana barisannya tetap utuh melalui ombak gelombang menuju pantai harapan, sedangkan barisan Syahrir pecah berkeping-keping di tengah jalan.”

Penilaian Adam Malik di atas tak meleset. Dengan caranya yang khas, Kiai Wahab mampu menjadikan NU sebagai salah satu penggerak nasionalisme-religius di Indonesia. Wallahu a'lam bisshawab. []

Rijal Mumazziq Z, Ketua Lembaga Ta'lif wan Nasyr (LTN) PCNU Kota Surabaya, Jawa Timur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar