Senin, 09 Oktober 2017

Kang Komar: Dunia Simulacra



Dunia Simulacra
Oleh: Komaruddin Hidayat

SEWAKTU masih nyantri di Pondok Pabelan, Magelang, ada nasihat kiai yang masih melekat di hati. Bahwa seseorang akan naik derajatnya karena ilmu pengetahuan, akhlak (integritas), dan membuang jauh-jauh sikap malas. Bahwa pendidikan itu sangat vital dalam kehidupan ini karena pendidikan mampu mengubah nasib seseorang, keluarga, dan bangsa.

Banyak nasib keluarga desa miskin berubah nasibnya ketika salah satu anaknya memperoleh pendidikan bagus yang mengantarkan pada karier ekonomi bagus dan pada urutannya bisa membantu pendidikan saudara-saudaranya. Bahkan, banyak pembantu rumah tangga (PRT) yang mengirimkan gaji bulanannya untuk biaya anaknya di kampung. Jawabnya sama.

Artinya, masyarakat sangat menyadari bahwa untuk mengubah nasib seseorang, maka pendidikan adalah jalan terbaik yang mesti ditempuh. Orang tua yang berhasil mengantarkan pendidikan anak-anaknya yang berkualitas, jauh lebih berharga dan berbahagia hidupnya dibandingkan dengan mewariskan harta tanpa disertai pendidikan.

Sekarang ini dunia pendidikan terseret masuk pada persaingan pasar. Lembaga pendidikan yang tidak bisa menghasilkan alumni berkualitas dan kompetitif dalam lapangan kerja akan menyusut peminatnya. Prestasi sebuah sekolah dan universitas tidak bisa lagi diukur dengan banyaknya lulusan, wisudawan-wisudawati, jika yang bersangkutan tidak memiliki ilmu, keahlian khusus, integritas, dan kemampuan komunikasi sosial.

Indonesia beruntung punya tetangga Australia, Singapura, dan Malaysia, sehingga kita dihadapkan langsung dalam persaingan di dunia pendidikan. Kita pantas malu dengan mereka yang jauh lebih progresif dan inovatif dalam pendidikan.

Dalam hal pendidikan karakter, sekarang ini beban guru dan orang tua sangatlah berat. Mereka dihadapkan problem dan variabel baru yang berkembang di luar kontrol.

Dulu pertumbuhan seorang anak diasuh bersama lingkungan keluarga, masyarakat, dan budaya yang solid dan homogen sehingga pertumbuhan karakternya mudah diarahkan dan diprediksi. Tetapi sekarang, meminjam istilah Jean Baudrillard, filsuf Prancis, kita hidup dalam era simulacra.

Masyarakat diserbu oleh simbol-simbol, penanda, dan iklan yang tidak selalu mewakili realitas sejati. Di sisi lain, simbol-simbol itu dipercaya telah menjadi sebuah realitas sesungguhnya.

Masyarakat menjadi objek yang dirayu dan diserbu oleh iklan pencitraan dan produk konsumsi sehingga masuk perangkap sebagai consumer society yang tidak menjadi kebutuhan primernya.

Begitu menghidupkan TV atau handphone langsung diserbu iklan, termasuk iklan politik. Begitu keluar rumah, mata langsung disergap oleh iklan-iklan. Situasi ini lalu melahirkan visual garbage atau sampah visual.

Dampaknya bagi pendidikan karakter, menurut Baudrillard, harga diri seseorang lalu dinilai oleh apa yang dikonsumsi, oleh gaya hidup, oleh kemasan dan atribut yang dipakai, bisa jadi seragam ormas atau partai, yang tidak mewakili pribadinya yang autentik.

Ketika seseorang masuk mal, misalnya, yang akan dinilai adalah berapa banyak dia berbelanja, merek apa yang dikonsumsi, tidak peduli jabatan dan profesi, atau karakternya. Orang membangun identitasnya bukan bergerak ke dalam diri dengan membangun karakter dan perenungan untuk membentuk pribadi autentik yang setia pada nurani dan akal sehat, tetapi bergerak keluar mengikuti logika dan selera pasar serta pencitraan diri.

Pasar di sini tidak selalu berkonotasi ekonomi, tetapi juga pasar politik. Di era simulacra, orang pun sangat sulit berpisah barang sehari dari telepon selulernya karena akan merasa ketinggalan atau terpisah dari dunia luar, dunia hiperealitas yang telah dinikmatinya meskipun semu.

Pendidikan karakter haruslah membawa kembali bangsa ini sebagai subjek, dimulai dari jajaran elitenya, orang tua, dan guru agar menjadi subjek serta pribadi yang autentik. Sayangnya, para elite sendiri telah terjerat ke dalam panggung simulacra, sebuah tontonan simbolik yang penuh jargon dan wacana yang dikapitalisasi oleh industri media sosial. Keduanya jadi agen produsen wacana, tapi terputus dari realitas keseharian rakyat serta cita-cita kemerdekaan.

Dunia medsos telah merobohkan batas-batas privat dan publik, bahkan tembok rumah dan kamar pun ditembus oleh agresivitas dunia maya yang tidak lagi maya karena pengaruhnya sangat kuat pada kehidupan nyata. Hal-hal yang semua sangat pribadi diekspos ke ruang publik, sedangkan ruang publik digeser oleh agenda dan pikiran pribadi serta komunal, salah satunya komunalisme keagamaan.

Pilar pendidikan karakter ini jika tidak dipikirkan dan direformulasikan ulang, saya khawatir situasinya ibarat kompetisi antara produsen obat nyamuk dan peternak nyamuk. Antara pendidik dan pengedar narkoba. Antara juru dakwah dan produsen limbah visual yang memenuhi ruang publik. []

KORAN SINDO, 6 Oktober 2017
Komaruddin Hidayat | Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar