Kontemplasi Ramadhan (8)
Mencontoh Sifat-sifat Tuhan
Oleh: Nasaruddin Umar
Puasa bukan sekedar menahan lapar, dahaga dan hubungan seks. Yang teramat penting puasa sebagai latihan spiritual untuk mencontoh sifat-sifat Tuhan, sebagaimana dalam hadis takhallaqu bi akhlaqillah" (berakhlaklah sebagaimana akhlak Allah Swt). Al-Qur'an menyebutkan "huwa yuth'im wa la yuth'am" (Tuhan memberi makan dan tidak diberi makan) (Q.S.6:14) dan "lam takun lahu shahibah" (Tuhan tidak memiliki pasangan) (Q.S.6:101). Internalisasi sifat-sifat Tuhan ke dalam diri merupakan perjalanan spiritual anak manusia untuk mendekati Tuhannya. Semakin dekat jarak seorang hamba dengan Tuhannya semakin mulia hamba itu.
Di dalam berpuasa kita tidak boleh makan, minum, dan berhubungan seks, sebaliknya kita diwajibkan berzakat fitrah, yaitu memberi makan kepada orang yang butuh. Harapan terakhir kita dengan menjalankan ibadah puasa agar kita mencapai kualitas muttaqin (orang-orang taqwa), suatu kualitas spiritual yang paling mulia dan didambakan setiap orang, sebagaimana dijelaskan dalam ayat: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (Q.S. al-Baqarah/2:183).
Kata muttaqun (orang-orang bertaqwa) dalam ayat di atas sesungguhnya tidak lain adalah mengombinasikan sikap cinta, takut, dan segan kepada Allah Swt. Muttaqin tidak tepat diartikan takut kepada Allah Swt, karena Allah Swt sebagaimana diperkenalkan kepada kita melalui al-asma' al-husnya-Nya, bukan sosok Maha Mengerikan untuk ditakuti, tetapi lebih menonjol sebagai Tuhan Maha Pencinta dan Maha Penyayang. Apalagi terhadap manusia yang Allah ciptakan dengan cinta. Manusia satu-satunya yang ditegaskan diciptakan dengan kedua tangan-Nya: Allah berfirman: "Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?". (Q.S. Shad/38:75). Seluruh makhluk lain termasuk malaikat tidak ada penegasan seperti ini. Seolah-olah manusia adalah ciptaan langsung (hand made) Allah Swt.
Makna "kedua tangan Tuhan" di bahas Panjang lebar dalam kitab-kitab tafsir dan kitab-kitab tasawuf, yang intinya Tuhan memiliki "dua tangan" dalam arti kekuatan maskulin (jalaliyyah) dan kekuatan feminine (jamaliyyah). Kedua "Tangan Tuhan" digambarkan di dalam nama-nama indah-Nya yang dikenal dengan al-Asma' al-Husna. Internalisasi nama-nama dan sifat-sifat Tuhan ke dalam diri kita seperti dicontohkan oleh pribadi Rasulullah Saw sangat penting. Dalam perspektif tasawuf, al-asma' al-husna tidak hanya menunjukkan sifat-sifat Allah Swt, tetapi juga menjadi titik masuk (entry point) untuk mengenal dan mendekatkan diri kepada-Nya. Setiap orang dapat mengakses dan mengidentifikasikan diri dengan nama-nama tersebut. Seseorang yang pernah berlumuran dosa lalu sadar, dapat menghibur diri dan membangun rasa percaya diri dengan mengidentifikasi diri dengan nama al-Gafur (Maha Pengampun) dan al-Tawwab (Maha Penerima Taubat), sehingga orang tetap mempunyai harapan dan tidak perlu kehilangan semangat hidup. Bukankah di antara 99 nama itu sifat-sifat kasih Tuhan lebih dominan? Bukankah pada setiap surah dalam Al-Qur'an selalu diawali dengan Bismillah al-rahman al-rahim, yang intinya menonjolkan kemahapengasihan (rahmaniyyah) dan kemahapenyayangan (rahimiyyah) Tuhan?
Salah satu bentuk kemahapengasihan Tuhan ialah menganugrahkan bulan Ramadlan (secara harfiyah: penghancur, penghangus). Setelah 11 bulan hambanya terasing di dalam kehidupan yang kering dan penuh dengan suasana pertarungan (power struggle), maka dalam bulan Ramadlan ini kita diajak untuk kembali ke kampung halaman rohani, yang basah dan menyejukkan, serta penuh dengan suasana lembut (nurturing). Bulan puasa ibarat oases yang siap memberi kepuasan spiritual kepada orang yang menjalaninya dengan ikhlas dan sepenuh hati.
Agak aneh memang, Tuhan yang sedemikian lembut menampilkan diri-Nya, ayat-ayat Al-Qur'an sedemikian santun menyapa anak manusia, dan Nabi Muhammad Saw tampil sedemikian menawan, lebih menojolkan sikap-sikap kelembutan dan kesantunan, tetapi umat Islam sebagian bertentangan perilakunya dengan sifat-sifat yang dilakukan Nabi dan Tuhan. Islam tidak pernah menolerir pemeluknya melakukan tindakan kekerasan, bukan kareana kepentingan diplomasi tetapi subsatansi kekerasan itu sendiri tidak sejalan dengan sifat-sifat utama Tuhan, sebagaimana diperkenalkan dalam al-asma' al-husna'-Nya. Allahu a'lam. []
DETIK, 01 Mei 2020
Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar