Senin, 15 Juni 2020

Yudi Latif: Cerah di Celah Wabah

Cerah di Celah Wabah

Oleh: Yudi Latif

 

Masa kelam adalah masa penelanjangan kekuatan dan kelemahan kita yang sesungguhnya. Kebenaran itu seakan-akan bintang di langit yang tak bisa dilihat, kecuali di gelap malam. Dalam rutinitas terang, kebenaran hakiki sulit dikenali.


Manusia terkesima ornamen pernak-pernik penampilan pencitraan. Nilai-nilai tak benda dipandang sebelah mata sebagai pelengkap penderita. Saat gelap menyergap, barulah kita kenali mana yang benar sejati, mana yang palsu manipulasi. Bangunan fisik yang dielu-elukan di masa terang terlihat keterbatasannya; nilai-nilai kebajikan praktis (phronesis) yang disepelekan tersadari keistimewaannya.

Peribahasa Inggris mengatakan, ”Every cloud has a silver lining (Setiap awan itu memiliki pendar garis perak).” Yang perlu kita lakukan agar memiliki ketahanan mengarungi berbagai cobaan ke depan adalah menarik garis batas dengan penuh kejujuran melakukan penilaian diri, pada sisi mana kekuatan dan kelemahan kita. Kata ”krisis” sendiri berasal dari bahasa Yunani, krisis (kata benda) atau krino (kata kerja) yang berarti ’menarik batas’ atau ’titik balik’.

 

Tatkala kita diuji dengan pandemi virus korona, ada banyak keluhan atas kegamangan, ketidaksigapan, dan ketidaksinkronan jajaran pemerintahan dalam menangani wabah yang mematikan ini meski keluhan yang sama juga terjadi di sejumlah negara. Namun, ada sudut pandang yang menunjukkan sisi terang dari bangsa ini.

 

Shane Preuss, dalam tulisannya di The Diplomat (24/4/2020), memperlihatkan dimensi ketahanan nasional kita. ”Benar bahwa Pemerintah Indonesia terantuk, tetapi masyarakat sipilnya bangkit berinisiatif menghadapi masalah wabah.” Selanjutnya, ia menyatakan, masyarakat Indonesia punya daya tahan kuat, telah teruji berbagai cobaan di masa lalu, dan menimba pelajaran atas pentingnya menguatkan spirit gotong royong, memikul tanggung jawab bersama, dan penuh sukacita menggalang aksi tolong-menolong.

 

Pernyataan Preuss itu bukan suatu kesimpulan baru. Pada 2018, The World Giving Index, yang dikeluarkan Charities Aid Foundation (CAF) yang berbasis di Inggris, menempatkan Indonesia sebagai the most generous country (negara paling dermawan) di dunia. Tiga perilaku yang menjadi ukuran: menyumbangkan uang, menolong orang, dan kerelawanan.

 

Senada dengan itu, David Bornstein (2007) menilai Indonesia termasuk negara dengan pertumbuhan jaringan modal sosial dan entrepreneur sosial yang sangat pesat. Sebagai contoh, ”Dua puluh tahun lalu, hanya ada satu organisasi lingkungan yang independen di Indonesia. Hari ini ada lebih dari 2.000 organisasi sejenis itu,” tulisnya. Kisah kepahlawanan dengan karya inovatif-transformatif untuk mengatasi berbagai masalah sosial juga rutin ditampilkan dalam program bincang-bincang ”Kick Andy” dan sejenisnya.

 

Alhasil, negara Indonesia memang ”lemah”, tetapi masyarakatnya kuat. Bisa dipahami dengan menggunakan lensa perspektif Clifford Geertz (1963). Ia mengibaratkan Indonesia seperti ”anggur tua dalam botol baru” (old wine in a new bottle) alias gugusan masyarakat lama dalam negara baru. Indonesia sebagai negara-bangsa memang baru, akan tetapi berakar dalam pada tanah-air beserta elemen-elemen sosial-budaya yang telah hadir puluhan ribu tahun lamanya di Nusantara. Tak heran, kekuatan jaringan sosial-budayanya lebih solid ketimbang organisasi politiknya.

 

Implikasinya, solidaritas emosional—yang bersifat spontan—bangsa ini sangat kuat, tetapi solidaritas fungsionalnya—yang bersifat terstruktur lewat tata kelola negara—lemah. Kekuatan solidaritas emosional bangsa ini terlihat dalam berbagai bencana. Tanpa melihat latar belakang etnis dan agama, masyarakat Indonesia tergerak secara spontan untuk memberikan sumbangan dan pertolongan. Solidaritas emosional juga biasanya tampak jelang Lebaran. Jutaan warga Indonesia dari luar negeri dan kota-kota besar mudik ke kampung halaman, membawa aliran finansial ke desa-desa terpencil. Suatu gerakan redistribusi kesejahteraan yang spontan, melampaui jaringan-jaringan institusi kenegaraan.

 

Masalahnya, kekuatan spontanitas itu ada batasnya. Kita tidak selalu hidup dalam suasana kebencanaan, dan kesejahteraan tak bisa bersifat musiman. Ketahanan bangsa yang ajek dan kesejahteraan berkesinambungan memerlukan kerangka soliditas yang bersifat fungsional lewat perbaikan tata kelola negara. Di sinilah sisi kelemahan kita yang menuntut perbaikan. Pada umumnya, solidaritas emosional dan gagasan inovatif di tingkat masyarakat tak bersambung dengan solidaritas fungsional dan kapasitas tata kelola di ranah negara.

 

Diperlukan kekuatan artikulator dan penekan yang efektif agar gagasan dan aksi konstruktif di tingkat masyarakat diakomodasi dan diaktualisasikan dalam kebijakan dan praktik kenegaraan. Ormas-ormas (keagamaan) besar dengan warisan legitimasi kultural yang kuat mestinya bisa mengemban peran penghubung ini. Masalahnya, bagaimana ormas-ormas itu bisa terus menjaga kredibilitas legitimasi budayanya. Penyusupan interes politik kekuasaan serta kepentingan material merupakan faktor yang bisa mendelegitimasikan kewibawaan dan eksistensinya. Padahal, hilangnya kewibawaan ormas-ormas utama akan menjadi sumber perusakan kekuatan masyarakat sebagai sandaran ketahanan keindonesiaan.

 

Demikianlah, krisis ibarat ibu hamil yang mengandung anak kemajuan. Seperti kata Friedrich Hegel, katastrofi bisa memberi ruang refleksi dan menjadi kemunculan bintang penuntun yang dapat menyingkap pola-pola tersembunyi. Kesenjangan antara ”dunia kenyataan” dan ”dunia seharusnya” bisa diatasi dengan menyatukan pikiran dan hati dalam spirit, yang mendorong gelombang perubahan setelah masa kekacauan dan perpecahan. Semoga indah pada waktunya. []

 

KOMPAS, 30 April 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar