Lima Tingkatan Orang Berangkat Awal Shalat Jumat
Salah satu tradisi di beberapa tempat, khususnya di lingkungan pondok
pesantren, pada hari aktivitas belajar dan mengajar diliburkan. Hal tersebut di
samping untuk menyegarkan pikiran, juga untuk memaksimalkan ibadah di hari itu,
baik dengan memperbanyak shalawat, berdzikir, dan lain sebagainya. Pengambilan
libur di hari Jumat memberikan kesempatan yang sangat berharga untuk lebih
ber-taqqarrub di sisi-Nya.
Tuntutan berangkat Jumat terhitung sejak terbitnya fajar, sebab dalam beberapa
dalil, kewajiban Jumat diredaksikan dengan kata “yaum”. Menurut literatur
bahasa Arab, kata tersebut menunjukkan rentang waktu mulai terbit fajar sampai
terbenamnya matahari, berbeda dengan “lail” yang menunjukan waktu mulai
terbenamnya matahari sampai terbitnya fajar.
Oleh sebab itu, ulama fiqih mewajibkan berangkat setelah subuh bagi orang yang rumahnya jauh dari tempat shalat, sekiranya ia tidak dapat menemui Jumatan bila tidak segera berangkat. Demikian pula ditegaskan keharaman bepergian setelah terbitnya fajar hari Jumat apabila mengakibatkan tidak dapat menemui Jumatan di perjalanan. Meski dilakukan sebelum masuk waktu zhuhur, namun tetap haram, karena kewajiban Jumatan digantungkan kepada “yaum” (hari), yang secara literatur bahasa Arab dimulai sejak terbitnya fajar (Syekh Khatib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, juz 1, hal. 540).
Di antara banyaknya kesunnahan yang dapat dilakukan di hari Jumat adalah berangkat shalat Jumat lebih awal. Nabi menganjurkan agar jamaah shalat Jumat berangkat menuju tempat shalat seawal mungkin. Anjuran berangkat awal ini berkaitan erat dengan prinsip agama yaitu bergegas melakukan kebaikan tanpa menunda-nunda. Agama juga menganjurkan untuk berlomba-lomba dalam kebaikan.
Nabi membagi keutamaan orang yang berangkat Jumatan menjadi lima tingkatan. Semakin awal berangkat, semakin tinggi pula pahala yang didapatkan.
Pertama, kelompok yang berangkat di jam pertama. Kelompok ini pahalanya seperti orang yang bersedekah unta. Kedua, kelompok yang berangkat di jam kedua. Kelompok ini mendapat pahala layaknya orang yang bersedekah sapi. Ketiga, kelompok yang berangkat di jam ketiga, kelompok ini mendapat pahala layaknya orang yang bersedekah seekor kambing yang bertanduk subur. Keempat, kelompok yang berangkat di jam keempat, kelompok ini mendapat pahala seperti orang yang bersedekah seekor ayam jago. Kelima, kelompok yang berangkat di jam kelima. kelompok ini mendapat pahala seperti orang yang bersedekah satu butir telur.
Dalam hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim, Nabi bersabda:
مَنْ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ غُسْلَ الْجَنَابَةِ ثُمَّ رَاحَ أَيْ فِي السَّاعَةِ الْأُولَى فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَدَنَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّانِيَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَقَرَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّالِثَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ كَبْشًا أَقَرْنَ وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الرَّابِعَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ دَجَاجَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الْخَامِسَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَيْضَةً فَإِذَا خَرَجَ الْإِمَامُ حَضَرَتْ الْمَلَائِكَةُ يَسْتَمِعُونَ الذِّكْرَ
“Barangsiapa yang mandi layaknya mandi janabah pada hari Jumat lalu ia berangkat di jam pertama, maka ia seperti bersedekah seekor unta. Barangsiapa berangkat di waktu yang kedua maka ia seperti bersedekah seekor sapi. Barangsiapa berangkat di waktu ketiga maka ia seperti bersedekah seekor domba yang bertanduk. Barangsiapa berangkat di waktu keempat, maka ia seperti bersedekah seekor ayam, dan barangsiapa berangkat di waktu kelima maka ia seperti bersedekah sebutir telur, maka ketika Imam keluar, hadirlah para malaikat seraya mendengarkan dzikir” (HR Bukhari dan Muslim).
Dalam riwayat Imam Nasai, kelompok yang datang di jam kelima mendapat pahala sedekah burung ushfur (emprit), dan jam keenam pahala sedekah telur.
Mengomentari hadits di atas, Syekh Mahfuzh al-Tarmasi mengutip ucapan al-Imam
al-Nawawi sebagai berikut:
قَالَ الإمام النووي فِي هَذَا الْحَدِيْثِ اَلْحَثُّ عَلَى التَّبْكِيْرِ إِلَى الْجُمُعَةِ وَأَنَّ مَرَاتِبَ النَّاسِ فِي الْفَضِيْلَةِ فِيْهَا وَفِي غَيْرِهَا بِحَسَبِ أَعْمَالِهِمْ وَهُوَ مِنْ بَابِ قَوْلِ اللهِ تَعَالَى إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَاللهِ أَتْقَاكُمْ
“Imam al-Nawawi berkata dalam hadits ini mengandung motivasi untuk berangkat awal dalam shalat Jumat dan derajat manusia dalam memperoleh keutamaan dalam Jumat ataupun yang lainnya sesuai dengan amaliyah mereka, dan hal ini termasuk dalam firman Allah subhanahu wata’ala “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa” (al-Syekh Muhammad Mahfuzh bin Abdillah al-Turmusi, Hasyiyah al-Turmusi, Dar al-Manhaj, juz 4 hal. 305).
Dari setiap kelompok di atas, pahalanya juga berbeda-beda. Misalnya di jam pertama, rentang waktunya misalnya 1 jam, semua yang berangkat Jumatan pada rentang waktu tersebut mendapat pahala sedekah unta, namun yang berangkat lebih awal dari mereka mendapat unta besar, yang di pertengahan mendapat unta sedang, yang di penghujung waktu tersebut mendapat unta lebih kecil” (Syekh Zakariyya al-Anshari, Fath al-Wahhab, juz 2, hal. 44).
Ulama berbeda pendapat mengenai batas awal pembagian waktu sebagimana dalam hadits di atas. Menurut pendapat yang kuat di kalangan ashab Syafi’iyyah (murid Imam Syafi’i) dimulai sejak terbitnya fajar. Sementara menurut Imam al-Mawardi dimulai sejak terbitnya matahari. Syekh Zainuddin al-Iraqi mengutip dari ayahnya bahwa meski menurut pendapat yang kuat keutamaan berangkat Jumatan dimulai sejak terbitnya fajar, namun bukan termasuk amaliyyah kaum muslimin baik periode awal atau akhir. Menurutnya, berangkat Jumatan sejak subuh mengakibatkan batalnya wudhu dan tidak fokus dalam ibadah Jumat.
Syekh Zainuddin al-Iraqi menegaskan:
وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي ابْتِدَاءِ ذَلِكَ طُلُوعُ الْفَجْرِ أَوْ طُلُوعُ الشَّمْسِ وَالْأَصَحُّ عِنْدَهُمْ طُلُوعُ الْفَجْرِ وَقَالَ وَالِدِي - رَحِمَهُ اللَّهُ - وَلَكِنْ لَيْسَ الْعَمَلُ عَلَيْهِ فِي أَمْصَارِ الْإِسْلَامِ قَدِيمًا وَحَدِيثًا أَنْ يُبَكِّرَ لِلْجُمُعَةِ مِنْ طُلُوعِ الْفَجْرِ وَفِيهِ طُولٌ يُؤَدِّي إلَى انْتِقَاضِ الطَّهَارَةِ وَتَخَطِّي الرِّقَابِ
“Ashab kita berbeda pendapat dalam permulaan keutamaan berangkat Jumatan tersebut, terbitnya fajar atau matahari. Pendapat al-Ashah menurut mereka adalah terbitnya fajar. Berkata ayahku; namun bukan termasuk amaliyyah di beberapa masa Islam, dulu dan sekarang, pagi-pagi berangkat Jumatan sejak terbitnya fajar, hal tersebut panjang sekali waktunya, dapat menyebabkan batalnya bersuci dan melangkai pundak-pundak”.
وَصَحَّحَ الْمَاوَرْدِيُّ أَنَّ التَّبْكِيرَ مِنْ طُلُوعِ الشَّمْسِ لِيَكُونَ مَا قَبْلَ ذَلِكَ مِنْ طُلُوعِ الْفَجْرِ زَمَانُ غُسْلٍ وَتَأَهُّبٍ قَالَ ابْنُ الرِّفْعَةِ وَيُؤْذِنُ بِهِ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - وَيُجْزِئُهُ غُسْلُهُ لَهَا إذَا كَانَ بَعْدَ الْفَجْرِ
“Imam al-Mawardi membenarkan bahwa bergegas berangkat Jumatan dimulai sejak terbitnya matahari, supaya waktu sebelum itu yaitu sejak terbitnya fajar adalah waktu mandi dan bersiap-siap. Al-Imam Ibnu Rif’ah berkata; Pendapat ini yang ditunjukan oleh ucapan Imam al-Syafi’i; mencukupi bagi seseorang mandi Jumat bila dilakukan setelah fajar” (Syekh Zainuddin Abdurrahim bin al-Husain al-Iraqi, Tharhu al-Tatsrib fi Syarh al-Taqrib, juz 3, hal. 171).
Anjuran berangkat Jumat awal tidak berlaku bagi khatib, baginya yang dianjurkan adalah mengakhirkan berangkat Jumatan setelah jamaah kumpul. Hal ini karena mengiikuti perilaku Nabi dan Khulafa al-Rasyidin.
Syekh Zakariyya al-Anhsari berkata:
أَمَّا الْإِمَامُ فَيُسَنُّ لَهُ التَّأْخِيرُ إلَى وَقْتِ الْخُطْبَةِ اتِّبَاعًا لِلنَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَخُلَفَائِهِ
“Adapun Imam, disunnahkan baginya mengakhirkan keberangkatan sampai waktu khutbah, karena mengikuti Nabi dan para khalifahnya”. (Syekh Zakariyya al-Anshari, Fath al-Wahhab, juz 2, hal. 45).
Dari semua uraian di atas sangat jelas bahwa jumatan lebih awal merupakan sebuah kesunnahan dan derajat orang akan berbeda sesuai kedatangannya, semakin awal, maka semakin ia memanen pahala. []
Ustadz M. Mubasysyarum Bih, Dewan Pembina Pondok Pesantren Raudlatul Quran, Geyongan, Arjawinangun, Cirebon, Jawa Barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar