Kontemplasi Ramadhan (22)
Tawashshul
Oleh: Nasaruddin Umar
Seorang sahabat Nabi dari pegunungan berjalan kaki tiga hari tiga malam untuk menjumpai Rasulullah lantaran ia baru saja melakukan dosa besar. Ia tidak percaya diri dosanya diampuni tanpa dibantu doa Rasulullah. Ia terinspirasi ayat: "Dan sungguh sekiranya mereka setelah menzalimi dirinya sendiri datang kepadamu (Muhammad), lali memohonkan ampun untuk mereka, niscaya mereka mendapati Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang" (Q.S. al-Nisa'/4:64). Hari Senin ia meninggalkan kampungnya dan Sabtu sore baru sampai di rumah Rasulullah. Alangkah kagetnya ketika mendapatkan kabar kalua Rasulullah sudah wafat hari Senin dan baru saja (Rabu) dimakamkan. Ia menangis merang-raung karena bagaimana belum sempat dibantu doa tetapi Rasulullah sudah wafat. Apa yang dilakukan pemuda itu sesungguhnya itulah yang disebut tawashshul.
Tawashshul dari akar kata shala-yushla, kemudian membentuk kata shalla-shalah(t) berarti doa, dzikir, dan ketaatan, wushlah (sambungan), shilah (hubungan), washl (tersambung), wishal (ketersambungan), shaulah (sambungan), dan shalaa (ketersambungan), dan tawashshul berarti perantara atau media. Tawashshul lebih popular dengan arti media untuk mempertautkan atau menghubungakan antara seseorang dengan seseorang yang lain atau media untuk menghubungkan seseorang dengan Tuhannya. Tawashshul amat popular di dalam dunia tarekat, karena peran syekh atau mursyid akan besar artinya sebagai obyek tawashshul, di samping Rasulullah saw.
Menjelang subuh, salahseorang penjaga makam Rasulullah di datangi Rasulullah dan berpesan: "Suruh si pemuda itu berhenti menangis karena Allah sudah memaafkan seluruh dosanya". Begitu disampaikan pemuda itu langsung berhenti menangis karena ia pernah mendengar hadis: Barangsiapa yang melihatku dalam mimpi maka akulah sesungguhnya yang dilihat, karena satu-satunya wajah yang tidak bisa dipalsukan Iblis ialah wajahku". Ini artinya bertawasul melalui Nabi, sungguhpun telah wafat, masih memberi efek kepada orang hidup. Bagaimana dengan ulama sebagai waratsatul anbiya'?
Pelajaran berharga yang dapat diambil dari riwayat di atas ialah hubungan orang hidup dan orang mati dan orang hidup tetap aktif. Kematian bukang penghalang untuk menjalin komunikasi, walaupun tentunya komunikasi verbal. Pengeruh dan efek perbuatan orang hidup terjadap roh orang yang sudah mati lebih banyak lagi dalilnya, baik dari ayat-ayat Al-Qur'an maupun hadis. Nabi pernah berhenti di sebuah pemakaman lantaran mendengarkan jeritan di bawah maqam tersebut. Abu Bakar yang menyertainya bertanya kenapa kita berhenti di maqam ini ya Rasulallah? Dijawab, orang ini menjerit kesakitan lantaran ketika ia masih hidup, kalau ia buang air ia tidak membersihkan diri dengan baik. Rasulullah mengambil setangkai pohon ditancapkan di atas maqam itu dan mengatakan: "Sepanjang tangkai pohon ini masih segar maka sepanjang itu akan diringankan siksaan orang yang ada di bawah maqam ini".
Riwayat di atas menceritakan seolah-olah bukan hanya orang hidup yang bisa memberikan pengaruh terhadap orang mati tetapi orang yang sudah mati pun bisa memberikan efek terhadap orang hidup. Si pemuda pedalaman itu berhenti menangis dan sepertinya plong dengan mendengarkan penjelasan sahabat penjaga maqam Nabi. Benar atau salah cerita sahabat itu, penjelasannya sudah menghentikan tangisan kesedihan orang Arab pegunungan itu. Jadi bertawashul punya jejak di dalam sunnah Rasul.
Tawashshul sesungguhnya adalah sesuatu yang lumrah dikalangan ulama, terutama ulama tasawuf. Tawashshul bukan meminta kepada obyek selain Allah Swt, karena jika itu dilakukan adalah musyrik. Tawashshul hanya untuk meminta bantuan doa dari orang yang diyakini sahabat Tuhan, sehingga dengan demikian ia akan memperoleh kelegaan hati. Setidaknya orang itu melakukan upaya ekstra kepada Tuhan agar harapannya dikabulkan. Allahu a'lam. []
DETIK, 15 Mei 2020
Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar