Senin, 15 Juni 2020

Satrawi: Ke(tidak)teraturan Bangsa

Ke(tidak)teraturan Bangsa

Oleh: Hasibullah Satrawi


SEJAUH ini, persoalan Covid-19 tak hanya bisa dianggap sebagai masalah virus, penyakit, atau bahkan pandemi. Covid-19 telah menjelma sebagai hal yang lebih besar sekaligus lebih kompleks dari semua itu. Covid-19 telah menjadi senjata paling canggih yang berhasil menaklukkan hampir seluruh negara di bumi ini.


Covid-19 juga telah menjadi tesa yang acap meruntuhkan segala tesa yang ada selama ini, baik terkait dengan sosial-politik, sosial-kemasyarakatan, atau bahkan terkait dengan penyelenggaraan negara.


Namun demikian, di sisi yang lain, Covid-19 juga bisa menjadi cermin untuk melihat kondisi faktual sebuah bangsa, baik dari sisi soliditas, sinergi unsur-unsur kepemimpinan, penanganan kesehatan, hingga kesiapan menghadapi masalah.


Pada awalnya, sebagaimana Indonesia masih bisa membahas masalah ini dengan sambil tersenyum, mengingat tak ada satu pun yang dinyatakan terkena virus ini (awal tahun 2020). Pelan-pelan situasi berubah setelah ada orang Indonesia dinyatakan positif terkena virus ini.


Angka demi angka terus bertambah setiap hari, tak hanya 30-an seperti di masa-masa awal, tapi mulai menyentuh angka 300-an, 400-an, bahkan 500-an dalam setiap hari. Hingga akhirnya mungkin saat ini sudah tak ada lagi orang yang bisa membahas tentang Covid-19 di Indonesia sambil melempar senyum ke sana kemari, khususnya di kalangan para pengambil kebijakan.


Melihat Indonesia


Ada beberapa problem di Indonesia yang terlihat jelas melalui masalah Covid-19. Pertama, problem penggambaran Covid-19 sebagai masalah. Pada masa-masa awal, segenap pejabat terkait di Indonesia gagal menangkap keseriusan masalah Covid-19 beserta sejumlah masalah sosial-kemasyarakatan yang timbul dari virus ini.


Alih-alih melakukan langkah-langkah antisipatif yang cukup, masyarakat acap disuguhi pandangan-pandangan yang menekankan bahwa Indonesia kebal dari virus ini.


Perubahan sikap Indonesia ke arah yang lebih serius mulai terjadi setelah ada warga Indonesia yang dinyatakan terkena virus ini (awal Maret). Sejak saat itu sikap Indonesia lebih serius dalam menghadapi problem Covid-19, khususnya setelah jumlah korban yang dinyatakan positif terkena virus ini (atau bahkan sampai pada tahap meninggal) semakin bertambah banyak.


Semoga perubahan sikap pemerintah ini tidak terlambat. Adalah sangat penting bagi masyarakat untuk mendukung langkah-langkah pemerintah saat ini.


Hingga virus ini tidak terus memakan korban. Kedua, problem sinergi antarelemen kepemimpinan, mulai dari kepemimpinan di level nasional, provinsi, hingga kabupaten.


Sejatinya, elemen kepemimpinan yang ada telah memiliki batas wilayah dan otoritas yang jelas, sesuai dengan peraturan yang berlaku. Namun, batas-batas yang ada acap menjadi kabur ketika menghadapi masalah besar seperti Covid-19.


Alih-alih saling bekerjasama untuk mengedepankan kepentingan masyarakat luas, antarelemen kepemimpinan yang ada terkesan saling bersaing, berebut panggung, bahkan berebut otoritas (minimal pada masa-masa awal terjadinya masalah ini).


Ironisnya adalah ketika segenap elemen kepemimpinan sibuk memperebutkan hal-hal yang seakan tak jelas (padahal sebenarnya jelas), masyarakat justru semakin banyak yang terkena virus ini.


Ketiga, problem keteraturan sebagai satu bangsa. Istilah keteraturan minimal mengharuskan adanya tiga hal, yaitu adanya mereka yang mengatur, aturan yang diberlakukan, dan adanya mereka yang diatur. Dalam menghadapi Covid-19, tiga prasyarat keteraturan di atas terlihat menjadi masalah yang sangat serius.


Di level mereka yang mengatur, contohnya, ada sejumlah persoalan serius yang berdampak pada wibawa dan karisma mereka di hadapan masyarakat, di antaranya, penguasaan dan keseriusan pihak terkait dalam menghadapi masalah ini (setidaknya pada masa-masa awal munculnya pandemi ini).


Begitu juga dengan masalah tidak kompaknya satu elemen pemimpin dengan elemen yang lain, khususnya antara pusat dan daerah. Semua ini telah membuat berkurangnya wibawa kepemimpinan di hadapan masyarakat.


Sementara di level peraturan yang diberlakukan, contohnya, tidak ada kesamaan aturan maupun hukuman bagi yang melanggar peraturan yang ada. Hal ini terjadi karena peraturan yang ada hanya bersifat imbauan, bukan sebuah keharusan. Akibatnya adalah ada sebagian pihak yang mungkin sudah sejak awal melakukan segala aktivitasnya di dalam rumah (sesuai dengan arahan pemerintah).


Sementara sebagian pihak yang lain justru masih terus beraktivitas di kantornya seperti biasa (mengingat kantornya belum libur). Nihilnya dua prasyarat keteraturan di atas berakibat pada hilangnya ketaatan dari mereka yang diatur. Dilihat dari aktivitas masyarakat sejauh ini, nyaris tak ada keteraturan terkait dengan upaya mengurangi penularan Covid-19.


Sebagian masyarakat mungkin sudah mengurangi aktivitasnya. Sementara sebagian masyarakat yang lain tetap beraktivitas seperti biasa. Di satu sisi, hal ini disebabkan oleh adanya peraturan dari pemerintah yang tidak tegas. Di sisi lain, aktivitas yang ada untuk mencukupi segala kebutuhan harian, khususnya bagi masyarakat menengah ke bawah.


Esensi Bernegara


Keteraturan adalah salah satu esensi utama bernegara untuk mewujudkan cita-cita bersama yang tak bisa dilakukan hanya oleh pribadi-pribadi warga negara. Apalah arti bernegara tanpa adanya keteraturan di dalamnya sebagai jalan untuk mewujudkan cita-cita bersama.


Dalam bahasa yang lain, keteraturan bisa disebut sebagai konsekuensi dari hubungan seimbang antara masyarakat dan Pemerintah atas dasar saling percaya dan saling mendukung.


Dari sisi masyarakat, mereka percaya terhadap pemerintah bahwa pemerintah akan melakukan segala upaya untuk mewujudkan cita-cita bersama. Sementara dari sisi pemerintah, mereka percaya bahwa masyarakat akan mengikuti peraturan yang dibuat juga untuk mewujudkan cita-cita bersama.


Dalam pengantar salah satu bukunya yang sangat monumental berjudul As-Siyasah As-Syar’iyyah fi Ishlâhi Ar-Râ’îy wa Ara’iyah, ulama sekaligus pemikir kenamaan Ibnu Taymiyah menyebut hal ini sebagai hubungan yang seimbang antara amanah (kepercayaan) dari sisi pemerintah dan at-tha’ah (ketaatan) dari sisi masyarakat.


Sementara cita-cita bersama dalam bernegara salah satu bentuknya adalah kemaslahatan publik atau kemaslahatan bersama. Cita-cita ini tidak akan bisa diwujudkan oleh masyarakat secara pribadi-pribadi. Oleh karenanya, hidup bernegara dibutuhkan untuk mewujudkan cita-cita bersama ini.


Karena terkait dengan kepentingan bersama, cita-cita ataupun kepentingan ini harus diutamakan daripada cita-cita atau kepen tingan yang sifatnya tidak bersama-sama (di antara segenap warga-bangsa), termasuk cita-cita yang bersifat keagamaan.


Dilihat dari penanganan Covid-19, esensi bernegara seperti di atas tampaknya masih dalam proses pembentukannya di Indonesia. Mengingat di satu sisi belum ada keteraturan, terlebih lagi kesatuan langkah, dalam menghadapi masalah ini.


Meminjam analogi tubuh, cara gerak dan kerja elemen-elemen bangsa ini masih jauh dari satu butuh dengan pembagian tugas yang jelas. Yang tampak nyata terlihat adalah justru segenap elemen bangsa tak ubahnya masing-masing tubuh yang memiliki perencanaan, pembagian tugas, dan pelaksanaan masing-masing.


Ini adalah masalah bangsa yang sangat serius ke depan. Indonesia tidak dimaksudkan hanya untuk menjadi “kumpulan” dari aku yang banyak, tapi dimaksudkan untuk menyatukan aku yang banyak menjadi kita, menjadi Indonesia. Sementara di sisi lain, hal-hal yang bersifat kemaslahatan publik juga belum menjadi kesadaran bersama untuk diwujudkan, tidak hanya oleh pemerintah, melainkan juga oleh masyarakat luas.


Dalam krisis menghadapi Covid-19, contohnya, masih ada kepentingan pribadi, golongan, atau kelompok yang lebih ditonjolkan daripada kepentingan bersama; membatasi penularan sebagai langkah awal penyelesaian pandemi ini. Mulai dari kepenting an pribadi atau golongan yang bersifat bisnis, sosial, atau bahkan keagamaan.


Tentu ini juga menjadi persoalan bangsa yang sangat serius ke depan. Rasanya tak ada masa depan bangsa yang bisa dibayangkan bila kemaslahatan publik tidak menjadi niat pembangunan yang ada. Tanpa visi kemaslahatan publik maka pembangunan yang ada tak lebih dari sekadar untuk kepentingan pribadi dan kelompok tertentu.


Untuk saat ini tak ada kemaslahatan publik yang lebih besar daripada menyelamatkan diri sendiri juga orang lain dari penyebaran Covid-19, yaitu dengan cara tetap berada dan beraktivitas di dalam rumah. Mari bersama-sama dan secara teratur kita tetap beraktivitas di dalam rumah sebagai contoh nyata perilaku kewargaan dari Indonesia yang satu. []

 

KORAN SINDO, 04 Juni 2020

Hasibullah Satrawi | Alumnus Al-Azhar Kairo Mesir, Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia Islam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar