Selasa, 23 Juni 2020

(Hikmah of the Day) Indahnya Skenario Allah Selamatkan Bayi Musa dari Kekejaman Fir'aun

Indahnya Skenario Allah Selamatkan Bayi Musa dari Kekejaman Fir'aun


Firaun dikenal seorang raja yang tiran, kejam, kufur, bahkan tak sungkan mengaku diri sebagai tuhan. “Akulah tuhanmu yang paling tinggi,” (QS An-Nazi‘at [79]: 24).

 

Di antara bukti kekejamannya ialah menyembelih setiap bayi laki-laki yang lahir, sesaat setelah dilahirkan ibunya. Demikian yang terekam dalam Al-Qur'an, “Dan (ingatlah) ketika Kami selamatkan kamu dari (Fir'aun) dan pengikut-pengikutnya; mereka menimpakan kepadamu siksaan yang seberat-beratnya, mereka menyembelih anak-anakmu yang laki-laki dan membiarkan hidup anak-anakmu yang perempuan,” (QS Al-Baqarah [2]: 49).

 

Aksi kejam itu dilakukan Fir‘aun setelah mendengar ramalan para ahli nujum (juru ramal) terhadap mimpinya melihat sebuah kobaran api yang datang menghampirinya dari arah Baitul Maqdis. Api itu lantas membakar kota Mesir dan menghabiskan seluruh penjurunya. Menurut mereka, akan lahir seorang bayi dari kalangan Bani Israil dan akan menghancurkan kota Mesir. (Lihat: Mukhtar Fauzi al-Na‘al, Nisa Isyara Ilaihinna al-Qur’an walam Yusammihinna, [Aleppo: Darur Ridlwan], 2000, hal. 47).

 

Pada suatu hari, di pinggir sungai Nil, tepat di salah satu pojok istana yang megah, Fir’aun duduk bersama istrinya Siti Asiyah. Kebetulan, kala itu ia tak ditemani istrinya yang lain. Itu semata karena kecintaan dan kekagumannya yang begitu besar kepada Siti Asiyah.

 

Tiba-tiba, sang istri terkejut melihat sebuah benda hitam menyerupai kotak terapung di atas air. Segera ia memerintahkan pelayannya untuk mengambilkan benda tersebut. Setelah kotak itu dibuka, istri Fir‘aun itu terkejut luar biasa karena di dalamnya terdapat bayi mungil. Ia tak sadar berteriak, “Betapa indahnya hadiah ini! Pasti ini dari langit!”

 

Sementara sang bayi seakan mengerti. Ia lantas melempar pandangannya dengan wajahnya penuh senyum ke arah Siti Asiyah. Ia seperti ingin puas memandang calon ibu angkatnya dengan kedua matanya yang tak henti memancarkan cahaya.

 

“Ini anakku,” ungkap Siti Asiyah.

 

Sebagaimana diketahui, ia dan suaminya pasangan yang tak kunjung dikaruniai anak. Namun, keheranan Fir‘aun saat itu adalah, “Mengapa bayi itu lolos dari aksi para algojonya?”

 

Itu tak lepas dari skenario Allah yang mengilhami Ibunda Musa ‘alaihissalam yang tengah ketakutan untuk menghanyutkan sang bayi. “Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya, jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan jangan (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul,” (QS al-Qashash [28]: 7).

 

Mendengar ada bayi yang ditemukan Siti Asiyah, para algojo Fir‘aun pun datang menemuinya. Mereka meminta sang bayi darinya. Namun, ia mempertahankan. Alih-alih menyerahkan sang bayi, Siti Asiyah malah menghardik mereka, “Pergilah kalian dari hadapanku. Sebab, aku tidak akan memberikan bayi ini kepada siapa pun.”

 

“Pasti, bayi itu berasal dari kaum Bani Israil,” desak mereka.

 

Namun, Siti Asiyah bersikukuh mempertahankan, “Sesungguhnya, anak ini tidak menambah anak-anak Bani Israil.”

 

Setelah berkata demikian, Siti Asiyah langsung menemui suaminya. Ia meminta pertolongan dan belas kasihnya, sebagaimana yang terekam dalam Al-Qur'an, Dan istri Fir‘aun berkata, “(Ia) adalah penyejuk mata hati bagiku dan bagimu. Janganlah kamu membunuhnya, mudah-mudahan ia bermanfaat kepada kita atau kita ambil ia menjadi anak,” sedang mereka tiada menyadari, (QS al-Qashash [28]: 9).

 

Sambil marah, Fir‘aun menjawab, “Anak itu hanyalah penyejuk hatimu. Sedangkan aku tak membutuhkannya sedikit pun.” (Lihat: Ahmad Jad, Qashash al-Nisâ’ fî al-Qur’ân al-Karîm, [al-Manshurah: Darul Ghad al-Jadid, 2005], hal. 115).

 

Namun Siti Asiyah terus memohon perlindungan agar suaminya tak membunuh sang bayi. Fir‘aun menjawab, “Tidak, anak itu tetap harus disembelih. Aku takut, jika dia berasal dari kalangan Bani Israil, kemudian menghancurkan kerajaan kita.”

 

Siti Asiyah tak putus asa meminta belas kasihan suaminya supaya mengurungkan niat dan meridhakan sang bayi diberikan kepada dirinya.

 

Rupanya, Allah melimpahkan rasa sayang kepada Musa ‘alaihissalam dalam hati orang-orang yang melihatnya, termasuk Fir‘aun, sebagaimana dalam Al-Qur'an, “Dan Aku telah melimpahkan kepadamu kasih sayang yang datang dari-Ku; dan supaya kamu diasuh di bawah pengawasan-Ku,” (QS Thaha [20]: 39).

 

Setelah Fir‘aun mengizinkan, Siti Asiyah kemudian mencari wanita yang mau menyusui bayi Musa ‘alaihissalam. Mendengar demikian, para pria berbondong-bondong mengusulkan istrinya menjadi ibu susu Musa ‘alaihissalam. Namun, Musa ‘alaihissalam menolak menyusu kepada seorang pun dari mereka.

 

Sementara sejak menghanyutkan sang bayi, ibunda Musa ‘alaihissalam tak henti-hentinya memikirkan keselamatan Musa ‘alaihissalam yang telah dihanyutkannya. Itulah yang dimaksud ayat kosongnya hati ibunda Musa ‘alaihissalam, “Dan menjadi kosonglah hati ibu Musa. Sesungguhnya hampir saja ia menyatakan rahasia tentang Musa, seandainya tidak Kami teguhkan hatinya, supaya ia termasuk orang-orang yang percaya (kepada janji Allah),” (QS al-Qashash [28]: 10).

 

Sang ibunda tak bosan-bosannya menayakan kabar tentang bayinya kepada saudara perempuannya, “Ceritakanlah kabar tentang Musa! Adakah kabar atau jejak tentangnya?”

 

Setelah berusaha mencari kabar, saudara perempuan ibunda Musa ‘alaihissalam mendengar kabar bahwa kerajaan sedang mencari ibu yang sanggup menyusui bayi. Dia langsung berangkat dan menawarkan ibunda Musa ‘alaihissalam menjadi ibu susunya, “Ini wanita shalihah dari kalangan Bani Israil yang bersedia menyusui bayimu.” Semula Siti Asiyah menolak tawaran itu. Namun, setelah disarankan oleh beberapa perempuan di sana, akhirnya ia mau mencoba menyusukan bayi Musa ‘alaihissalam kepadanya. Tak disangka, setelah diangkat ke pangkuannya dan disodori air susu, ia langsung mengisapnya hingga kenyang.

 

Siti Asiyah kemudian mengabari suaminya. Fir‘aun pun kembali geram, “Bayi itu berasal dari kaum Bani Israil, begitu pula perempuan yang menyusuinya juga berasal dari Bani Israil. Selamanya ini tidak boleh terjadi. Kita tidak boleh menyatukan keduanya.” Namun, Siti Asiyah kembali melembutkan hati suaminya, sampai akhirnya Fir‘aun tenang dan mengurungkan niatnya untuk memisahkan Musa ‘alaihissalam.

 

Begitu meletakkan putranya dalam pangkuan, ibunda Musa ‘alaihissalam senang bukan kepalang. Ia berkata, “Aku tebus engkau, hai Musa.”

 

Sejak itu, ibunda Musa ‘alaihissalam tinggal di rumah Fir‘aun, seraya menyembunyikan keimanannya bersama dengan saudari perempuannya. Ia tinggal di sana menyusui sang bayi—yang sesungguhnya bayinya sendiri—sekaligus mendapat upah.

 

Ia bersungguh-sungguh menjaga pesan Siti Asiyah mengasuh, merawat, dan membesarkan bayi Musa ‘alaihissalam layaknya anak-anak raja pada umumnya. Seiring perjalanan waktu, Musa ‘alaihissalam pun tumbuh besar. Ia dikaruniai Allah perawakan yang kekar dan keberanian yang hebat, di samping akalnya yang cerdas dan bijak. Semua itu merupakan karunia Allah yang diberikan kepadanya sampai ia tumbuh dewasa serta dikaruniai ilmu dan hikmah. (Lihat: Ahmad Jad, Qashash al-Nisâ’ fî al-Qur’ân al-Karîm, [al-Manshurah: Darul Ghad al-Jadid, 2005], hal. 116).

 

Demikian indahnya skenario Allah menyelamatkan bayi Musa ‘alaihissalam di tengah kekejaman Raja Firaun yang tiran. Sungguh mudah bagi Allah melakukan segala seuatu sesuai kehendak-Nya. Wallahu a’lam. []

 

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar