Selasa, 30 Juni 2020

Nasaruddin Umar: Kontemplasi Ramadhan (27): Jauhi Skandal Spiritual

Kontemplasi Ramadhan (27)

Jauhi Skandal Spiritual

Oleh: Nasaruddin Umar

 

Dalam kosmologi Islam, skandal spiritual menyebabkan jatuhnya sejumlah makhluk dari langit kebahagiaan ke bumi penderitaan. Malaikat jatuh karena mereka membangkan (aba) dan takbut (istikbar). Malaikat turun ke Baitul Ma'mur dari 'Arasy karena mempertanyakan kebijakan Tuhan (over kritis) dan menepuk dada sebagai ahli ibadah (al-'alin), dan manusia jatuh ke bumi karena tidak kuat menahan nafsu.

 

Dalam sebuah hadis diceritakan di dalam kitab Ihya 'Ulum al-Din karya Imam Al-Gazali, seorang alim dan ahli ibadah yang semata-mata mencurahkan waktu dan pikirannya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Ia banyak mengasingkan diri dari keramaian demi untuk menghindari kemungkinan terjadinya kontaminasi dosa dari orang-orang awam. Suatu ketika seorang pelacur mencari ulama untuk curhat dan sekaligus meminta nasehat bagaimana meninggalkan dunia hitam yang selama ini digelutinya. Ia juga akan menanyakan masih adakah harapan Tuhan memaafkan dan menerima tobatnya setelah malang melintang hidupnya di tengah lumpur dosa. Mendengarkan keinginan itu, maka sang ahli ibadah itu menolak harapan perempuan nakal itu dengan mengatakan, aku tidak mau menodai diriku dengan berkomunikasi orang kotor seperti itu. Mendengarkan cerita itu maka Nabi mengatakan sang ahli ibadah itu penghuni neraka dan perempuan yang karena ketulusannya ingin bertaubat adalah penghuni surga.

 

Riwayat ini mengingatkan kita kepada Q.S. al-Ma'un, yang intinya menjelaskan kriteria kualitas keberagamaan seseorang tidak diukur dari banyaknya ibadah mahdhah yang dilakukan tetapi ibadah sosial, seperti memperhatikan nasib fakir miskin dan anak yatim piatu. Bahkan dalam surah itu juga dinyatakan celakalah bagi orang shalat yang sholatnya tidak membawa dampak sosial kemasyarakatan. Aktifitas ibadah dan spiritual yang dilakukan tanpa memperdulikan lingkungan masyarakat di mana ia berada malah dikhawatirkan terjebak dengan apa yang disebut dengan ego spiritual atau kesombongan spiritual.

 

Ego spiritual ialah orang-orang yang terlalu mengedepankan hubungan vertikalnya dengan Tuhan tanpa mau tahu lingkungan masyarakat sekitarnya. Bahkan ia cenderung menghindarinya karena seolah-olah dirinya sudah tidak selevel dengan mereka. Ia mengklaim dirinya sebagai orang-orang kelas atas dalam dunia spiritual. Ia memilih-milih sahabat dan menghindari orang-orang yang justru memerlukan perhatian dan kasih sayang serta bimbingan.

 

Jika orang-orang ini dijauhi lantas mereka semakin jauh dengan Tuhan, sementara kita dengan asyiknya beribadah sendirian tanpa kehadiran mereka yang boleh jadi menyita waktu, tenaga, pikiran, dan materi, maka kita termasuk kategori ego spiritual.

 

Kesombongan spiritual tak ada ubahnya dengan kesombongan duniawi yang lebih menekankan kebanggaan individual. Orang-orang seperti inilah yang disebut di dalam Al-Quran tidak memiliki bekas-bekas sujud (atsar al-sujud). Bekas sujud dalam Al-Quran bukan dengan sengaja menghitamkan dahi di atas kening seperti dilakukan segelintir orang yang memahami secara tekstual ayat tadi. Atsar sujud ialah komitmen sosial yang tang tinggi dimiliki seseorang sebagai bagian dari penghayatan nilai-nilai ajaran agama yang dianutnya. Termasuk dalam kesombongan spiritual ialah menikmati pujian orang-orang yang mengaguminya lantaran banyaknya ibadah yang dilakukan. Mungkin ia melaksanakan puasa Senin-Kamis, shalat-shalat rawatib tidak ada yang ditinggalkan, dan zikirnya jalan terus, lalu dengan enteng memandang enteng orang lain yang tidak seperti dengannya. Amal-amal kebajikannya lebih banyak digunakan untuk mengaktualisasikan diri sehingga orang takjub dan menikmati pujian-pujian mereka. Padahal mungkin yang bersangkutan pada saat yang bersamaan ia meninggalkan aib-aib dan dosa-dosa langganan yang terus menerus di lakukan. Hanya karena keterampilannya menggunakan topeng-topeng kepalsuan maka ia tidak dipermalukan orang lain.

 

Kesombongan spiritual tetap akan menjadi tantangan umat masa depan. Bahkan mungkin akan semakin meningkat seiring dengan makin berkembangnya alat komunikasi canggih yang dapat digunakan untuk memuji atau menerima pujian. Ada fenomena Jika tidak ada yang memuji, misalnya dengan mencium tangan atau berbagai macam bentuk kultus lainnya, maka seharian itu kehilangan semangat. Semakin banyak yang memujinya semakin mabuk dengan pujian itu lantas rekayasa dilakukan sedemikian rupa agar orang lain memujinya. Subhanallah. []

 

DETIK, 20 Mei 2020

Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar