Kontemplasi Ramadhan (19)
Mengontrol Spiritual Saving
Oleh: Nasaruddin Umar
Pasangan Adam-Hawa mempunyai beberapa anak yang lahir kembar dengan jenis kelamin berpasang-pasangan. Anak pertamanya ialah Habil dan kembar perempuannya, lalu disusul dengan sepasang anak kembar berikutnya, yaitu Qabil dan kembar perempuannya. Menurut ketentuan, Habil mestinya dijodohkan dengan kembaran Qabil dan Qabil dijodohkan dengan kembaran Habil. Namun Qabil menolak ketentuan itu kareana pasangan Habil tidak secantik gadis kembarannya. Kecemburuan, kebencian, dan dendam mulai merasuk di dalam diri Qabil. Sebaliknya budi baik dan kearifan mulai tertanam di dalam diri Habil.
Kakak beradik ini juga memilih profesi dan karakter berbeda. Habil memilih bercocok tanam dan Qabil memilih beternak binatang. Ketika keduanya diminta mengeluarkan zakat dan infaknya, Habil mempersembahkan hasil tanaman yang berkualitas tinggi, sedangkan Qabil mempersembahkan binatang yang kurus dan kecil. Akhirnya Tuhan menerima persembahan Habil dan menolak persembahan Qabil. Tentu saja orang tuanya, Adam dan Hawa, lebih respek kepada prilaku Habil ketimbang Qabil yang selalu menampilkan perbuatan tidak terpuji. Akumulasi kebencian dan kecemburuan berkecamuk di hati Qabil lalu muncul niat buruk untuk membunuh kakaknya, Habil. Alhasil, Qabil mengambil batu besar lalu dipukulkan ke kepala Habil dan Habil jatuh tersungkur dan mengembuskan nafas terakhirnya. Inilah pembunuhan pertama dalam sejarah kemanusiaan. Setelah terbunuh, Qabil kebingungan bagaimana langkah selanjutnya, lalu ia terinspirasi oleh burung gagak yang menguburkan anaknya yang sudah mati.
Habil simbol orang yang memiliki tabungan spiritual
(spiritual saving) dan selalu mengontrolnya dengan baik. Ia mempunyai perilaku
ideal, jujur, tawadhu, sabar, dan taat beribadah kepada Tuhan, dan respek
kepada orang tuanya. Sedangkan Qabil simbol orang yang memiliki saldo munus
dalam spiritual saving. Ia mempunyai sifat-sifat buruk, egois, curang, dikuasai
hawa nafsu, jauh dengan Tuhan, dan merelakan orang lain binasa demi kepentingan
pribadinya.
Di dalam suatu hikayat lain diceritakan seorang ahli
ibadah mudah usia dan aktif membantu warga disayangkan oleh seorang ahli
ma'rifah. Pasalnya, pandangan spiritual ahli ma'rifah melihat si pemuda itu
akan mati keesokan harinya tertimpa meteorik, batu raksasa yang akan jatuh ke
bumi dan persis menimpa rumah si pemuda. Betapa terperanjatnya ahli ma'rifah
setelah dua hari kemudian pemuda itu masih hidup segar bugar membantu warga
setempat. Sang pemuda tersenyum menyaksikan keheranan ahli ma'rifah yang
menatapnya dari tadi, lalu ia menyapa, tuan tidak perlu kaget, apa yang tuan
lihat kemarin itu betul-betul terjadi. Meteorik raksasa itu jatuh menimpa rumah
saya tetapi sebelum menimpa rumah saya sudah hancur berkeping-keping setelah
memasuki atmosfer bumi, sehingga yang jatuh ke atap rumah saya hanya debunya.
Untuk ketiga kalinya ahli ma'rifah itu kaget setelah
mendengarkan pernyataan pemuda itu. Dari mana dia tahu kalau saya mengetahui
rahasia Tuhan itu? Bagaimana dia tahu apa yang ada di dalam pikiran saya? Sang
pemuda melanjutkan, wahai ustadz anda tidak perlu kaget, karena saya juga
menyaksikan apa yang Anda lihat, dan saya memahami wujud yang Anda bayangkan
terhadap saya seandainya batu itu tidak berubah jadi tepung. Ternyata ibadah
yang ditekuni sang pemuda memproteksinya dari bahaya besar. Dengan demikian,
social and spiritual saving adalah tolak bala paling efektif.
Dari kedua cerita di atas memberikan pengalaman
berharga bagi kita bahwa hidup ini harus ditempuh dengan kejujuran jika ingin
meraih ketenangan. Kita tidak boleh memandang enteng secara spiritual
orang-orang yang secara biologis masih muda, karena boleh jadi usia
spiritualnya sudah matang. Sebaliknya belum tentu orang yang sudah matang
secara biologis usia spiritualnya juga matang. Orang yang dipilih Tuhan sebagai
wali, diberi kemampuan untuk mengakses alam gaib. Boleh jadi langkah-langkahnya
tidak bisa difahami tetapi di kemudian hari menjadi terkenal, karena
orang-orang pilihan Tuhan seringkali mendahului usia biologisnya. Keajaiban
yang diberikan Tuhan keadaan orang yang dipilih-Nya tidak tertutup kemungkinan
kita pun bisa meraihnya. Namun jika tidak, maka kita pun tidak perlu berkecil
hati karena Tuhan telah menurunkan banyak jalan untuk mendekati dirinya.
Mungkin bukan jalur wali tetapi jalur lain yang tak kalah pentingnya di mata
Tuhan. Yang pasti, kita harus memiliki salah satu keistimewaan, agar ada pintu
masuk bagi kita untuk meraih kasih-sayang Tuhan. []
DETIK, 12 Mei 2020
Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar