Jumat, 26 Juni 2020

BamSoet: Rupiah dan Persepsi Pasar di Tengah Pandemi Corona

Rupiah dan Persepsi Pasar di Tengah Pandemi Corona

Oleh: Bambang Soesatyo

 

Sudah menjadi fakta bahwa kinerja perekonomian global memburuk akibat pandemi COVID-19. Publik sudah menyimak perkiraan dan analisa dari sejumlah lembaga multilateral, seperti Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia dan juga perkiraan dari OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development). Nadanya seragam; bahwa perekonomian global 2020 tumbuh negatif, dan berpeluang membaik baru pada 2021 mendatang.

 

Melewati kuartal I 2020, gambaran suram itu menjadi nyata setelah memahami data-data yang telah dipublikasikan. Ekonomi AS tumbuh negatif 4,8 persen, pertumbuhan Tiongkok minus 6,8 persen dan pertumbuhan Eropa minus 3,3 persen. Kinerja perekonomian negara lainnya seperti Jepang, Korea Selatan hingga Singapura pun mengalami pelemahan.


Dari semua yang serba suram pada kuartal pertama 2020 itu, Indonesia ternyata tidak jelek-jelek amat, karena masih bisa tumbuh positif walaupun jauh dari perkiraan sebelumnya. Badan Pusat Statistik mencatat, ekonomi Indonesia per kuartal I 2020 tumbuh 2,97 persen. Namun, pemerintah sadar bahwa keadaan akan berbalik menyusul penerapan PSBB (pembatasan sosial berskala besar) yang dimulai pekan kedua April 2020, terutama di Jakarta dan sejumlah kota lain di pulau Jawa. Penerapan PSBB itu bisa menyebabkan ekonomi RI tumbuh negatif pada kuartal II 2020.


Berdasarkan gambaran dan perkiraan itu, semua negara berupaya menghindari situasi terburuk. Sejumlah negara atau kota segera mengakhiri periode penguncian (lockdown). Memang tidak mudah karena pandemi COVID-19 belum berakhir. Ada yang gagal di tahap awal sehingga harus di-lockdown lagi seperti terjadi Beijing, Tiongkok dan Seoul di Korea Selatan. Indonesia, dengan sangat berhati-hati dan persiapan yang matang, coba mengakhiri PSBB untuk kemudian menerapkan pola atau gaya hidup baru dengan tetap berpijak pada protokol kesehatan. Dengan menerapkan pola hidup baru yang memungkinkan semua aktivitas produktif bisa dimulai lagi, kinerja perekonomian nasional pada kuartal II 2020 diharapkan tidak terlalu buruk.


Harapan itu cukup beralasan. Selain oleh faktor pertumbuhan positif pada kuartal I 2020, faktor rupiah yang terapresiasi cukup signifikan oleh mekanisme pasar menjadi lainnya. Penguatan nilai tukar rupiah terhadap beberapa valuta utama itu mencerminkan persepsi atau sentimen positif terhadap perekonomian Indonesia di tengah pandemi COVID-19. Tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa sentimen positif itu menjadi modal dasar untuk memulai pemulihan semua aspek kehidupan dengan protokol kesehatan pola hidup baru.


Sentimen positif itu akan menjadi peluang pemulihan yang berkelanjutan jika penerapan pola hidup baru berhasil menghentikan laju pertambahan jumlah pasien COVID-19. Sebaliknya, jika pola hidup baru gagal, atau justru memicu gelombang kedua penularan wabah Corona, sentimen positif itu akan berubah lagi menjadi negatif. Konsekuensinya, proses pemulihan akan terhenti karena semua pihak harus kembali berkonsentrasi memerangi COVID-19.


Nilai tukar rupiah menguat signifikan sejak Mei 2020. Menguatnya nilai tukar rupiah lebih karena faktor fundamental, seperti rendahnya inflasi dan defisit transaksi berjalan yang relatif aman. Hingga pekan pertama Juni 2020, rupiah sudah terapresiasi 5,27 persen terhadap dolar AS, memasuki kisaran tipis di atas atau di bawah Rp 14.000 per dolar AS.


Valuta rupiah adalah wajah perekonomian Indonesia di pasar uang. Ketika rupiah menguat signifikan, itu mencerminkan persepsi positif terhadap perekonomian Indonesia di tengah pandemi COVID-19. Persepsi positif itu pun terbukti ketika para pelaku pasar mencatat aksi para investor memindahkan asetnya dari pasar India ke Indonesia.


Pemindahan aset yang menyebabkan terjadinya lonjakan permintaan rupiah ini juga didorong oleh pemahaman para investor tentang tekad Indonesia menerapkan pola hidup baru. Kalau pola hidup baru mencapai target dan berkelanjutan, mesin perekonomian Indonesia bisa saja akan kembali bergerak lebih awal dibanding banyak negara lain.


Tantangan Bersama

 

Tantangannya bagi semua elemen masyarakat adalah bagaimana merawat sentimen atau persepsi positif itu. Kewajiban paling utama bagi setiap orang hanyalah mematuhi dan menerapkan protokol kesehatan dengan konsisten. Dengan patuh pada protokol kesehatan, jumlah pasien COVID-19 bisa diturunkan sekaligus terhindar dari kemungkinan gelombang kedua penularan COVID-19. Jika target itu bisa diwujudkan, pola hidup baru akan menjadi langkah awal pemulihan kehidupan yang berkelanjutan, termasuk pemulihan sektor ekonomi nasional.


Tidak perlu malu untuk belajar dari PSBB yang belum efektif itu. Memasuki pekan kedua Juni 2020, masyarakat prihatin karena dihadapkan pada fakta lonjakan jumlah pasien COVID-19. Laju peningkatan jumlah pasien yang cukup signifikan itu terjadi karena maraknya pelanggaran atas protokol kesehatan selama periode penerapan PSBB. Data dan kecenderungan itu menjadi bukti belum efektifnya peran aparatur pemerintah daerah mengawasi dan mengendalikan kepatuhan warga menjalankan protokol kesehatan.


Ketidakpatuhan pada protokol kesehatan terlihat nyata sejak sebelum hari raya, terutama di banyak pasar tradisional maupun di gerbong kereta rel listrik (KRL). Kerumunan penjual-pembeli di pasar tradisional, serta kepadatan penumpang di gerbong KRL rentan penyebaran COVID-19. Data Tim Komunikasi Gugus Tugas percepatan Penanganan COVID-19 menyebutkan bahwa lebih dari 400 pedagang di 93 pasar tradisional reaktif COVID-19.


Ketidakpedulian warga pada protokol kesehatan sepanjang periode PSBB bisa menjadi preseden buruk pada era penerapan pola hidup baru. Ketentuan PSBB yang ketat saja tidak dipatuhi, apalagi terhadap ketentuan pola hidup baru dengan sejumlah pelonggaran.


Karena itu, sebelum dan selama penerapan pola hidup baru, sangat penting bagi aparatur semua pemerintah daerah untuk makin peduli dan tegas dalam mengendalikan pergerakan atau mobilitas warga di ruang publik. Jangan sampai pelanggaran protokol kesehatan pada periode PSBB itu menjadi preseden pada era penerapan pola hidup baru. Tidak boleh lagi ada pembiaran atas pelanggaran protokol kesehatan, karena risikonya sangat besar dan merugikan jutaan orang.


Kota Beijing di Tiongkok harus di-lockdown lagi karena adanya klaster baru COVID-19 di kota itu. Klaster baru COVID-19 muncul karena ulah segelintir orang yang tidak mematuhi protokol kesehatan. Semua pemerintah daerah patut belajar dari pengalaman buruk Beijing. Soalnya, jika pola hidup baru gagal, dan hanya menghadirkan klaster baru COVID-19, bukan tidak mungkin PSBB harus diberlakukan lagi. Dan, ketika klaster baru COVID-19 itu harus direspons dengan PSBB lagi, ada jutaan warga yang dirugikan. []

 

DETIK, 14 Juni 2020

Bambang Soesatyo | Ketua MPR RI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar