Pandemi dan Etika Politik
Oleh: Azyumardi Azra
Pandemi Covid-19 akibat virus korona dengan segala dampaknya yang kian masif dan pahit bagi banyak warga bakal berlangsung lama di Tanah Air. Meski ada pelandaian jumlah kasus positif dan pasien meninggal, disrupsi, dan kekacauan dalam berbagai bidang kehidupan di Tanah Air bakal berlanjut bertahun-tahun ke depan.
Disrupsi akibat pandemi juga bakal bertahan di kancah politik dan pemerintahan. Saat pandemi, orang bisa menyaksikan terjadi berbagai pelanggaran etika politik yang tidak hanya tak etis, tetapi juga melanggar kepantasan publik.
Dalam konteks itu, sepanjang wabah Covid-19, sejak awal Maret, publik bisa menyaksikan berbagai bentuk kekacauan politik dan pemerintahan; sejak dari tingkat nasional sampai ke tingkat provinsi dan kota/kabupaten. Tidak ada kepemimpinan yang bisa jadi pegangan secara ikhlas.
Terjadi kekacauan kebijakan; kebijakan satu menteri dengan menteri lain bertabrakan. Bisa juga kebijakan menteri tertentu tak selaras dengan langkah Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 yang bertanggung jawab langsung menanggulangi Covid-19.
Presiden Joko Widodo melarang warga mudik. Tak lama kemudian, Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan menyatakan warga boleh mudik. Ketua Gugus Tugas Covid-19 Doni Monardo menegaskan mudik dilarang. Namun, Menhub Budi Karya Sumadi membuka lagi moda transportasi umum. Doni menegaskan: ”Mudik tetap dilarang. Titik.”
Pembukaan kembali moda transportasi umum adalah bagian dari upaya menggerakkan ekonomi seperti diinginkan Presiden Jokowi. Walau ada pejabat tinggi membantah pelonggaran, masyarakat tetap mempersoalkannya karena belum ada tanda meyakinkan berkurangnya kasus Covid-19. Sementara pelonggaran bisa mendorong warga mudik.
Masih soal mudik, Jokowi berencana agar mudik dapat dilakukan di lain waktu. Untuk itu, Presiden berencana menggeser cuti bersama Lebaran 1441 H ke liburan akhir tahun. Namun, ini bakal dia ubah: mungkin berbarengan atau digandengkan dengan libur Idul Adha (Jumat, 31 Juli).
Kebijakan dan pernyataan mana di antara kesimpangsiuran ini yang harus diikuti warga? Membingungkan. Jurnalis senior Kompas, Budiman Tanuredjo, memberi judul kolomnya, ”Sinyal Saling Silang”, ketika membahas kekalutan komunikasi dan informasi di antara para pejabat tinggi (Kompas, 9/5).
Saling silang dan kesimpangsiuran membuat warga kebingungan: mereka pasti berkeluh kesah kepada pemimpin informal mereka. Hasilnya, 32 Majelis Ulama Indonesia (MUI) daerah se-Indonesia mengeluarkan ”pernyataan sikap”, meminta ketegasan Presiden Jokowi membatalkan kebijakan Menhub yang melonggarkan moda transportasi semua matra (15 Ramadhan 1441 H/8 Mei 2020).
Pernyataan sikap pimpinan 32 MUI daerah juga menegaskan, kebijakan Menhub bisa dilakukan setelah penyebaran Covid-19 benar-benar terkendali. Pemerintah harus menjamin tidak akan ada lagi penularan baru.
Kontradiksi kebijakan dan praksis di antara pejabat pemerintah tidak terbatas di situ. Kontradiksi juga terlihat dalam kaitan dengan bantuan sosial untuk warga yang terdampak pandemi Covid-19.
Masalah ini tampaknya dipandang urgen oleh Kompas. Kompas menurunkan setidaknya empat laporan: ”Tinggalkan Simbol-simbol Politik di Bantuan Sosial” (30/4), ”Tindak Politisasi Bantuan Sosial”, ”Antara Banpres RI dan Bansos” (keduanya, Kompas 9/5), serta hasil jajak pendapat Kompas, ”Publik Menolak Politisasi Bansos” (11/5).
Keempat laporan Kompas itu terkait gejala tidak tegaknya etika politik di antara para pejabat. Sebagian berusaha mengambil manfaat politis dari bansos yang mereka salurkan kepada warga: mereka melakukan ”politisasi” bansos.
Usaha mendapat keuntungan politis dan pencitraan atau politisasi dilakukan dengan menampilkan identitas atau citra diri atau jabatan diri dalam bansos yang disampaikan kepada warga. Padahal, bansos berasal dari anggaran negara, bukan dari anggaran kantor atau kantong pejabat bersangkutan.
Awalnya Bupati Klaten, Jawa Tengah, Sri Mulyani yang membagikan hand sanitizer beserta tempelan stiker fotonya. Setelah stiker dilepas, tertulis ”Bantuan dari Kementerian Sosial”. Politisasi juga terjadi di beberapa daerah lain.
Kasus lain yang mendapat banyak sorotan dan kritik publik ialah bansos Kemensos dengan kantong bertuliskan ”Bantuan Presiden RI, Bersama Lawan Covid-19”. Kritik terhadap Presiden bisa berganda tatkala ”Bantuan Presiden RI” dibagikan di pinggir jalan atau tempat lain sehingga menimbulkan kerumunan orang; tak sesuai dengan protokol Covid-19.
Jajak pendapat Kompas menemukan, 79 persen responden menolak politisasi bansos. Apakah Presiden Jokowi melakukan politisasi bansos untuk pencitraan? Apakah Presiden Jokowi masih memerlukan pencitraan? Seharusnya tidak lagi karena 2019-2024 adalah masa kedua atau terakhir kekuasaannya. Legacy Presiden Jokowi tidak ditentukan pembagian bansos, tetapi oleh prestasi dan pencapaian lain.
Dalam semua episode drama memprihatinkan, sekali lagi, terlihat pemerintah pusat dengan aparatnya tak siap menghadapi kejadian terburuk dalam kehidupan republik. Pandemi Covid-19 menimbulkan kegagapan kepemimpinan dan pemerintahan tidak hanya pada masa awal berjangkitnya virus korona, tetapi juga berlanjut ketika pandemi makin merata menyebar ke seluruh negeri.
Tak kurang pentingnya, semua episode itu juga terkait dengan etika politik. Misalnya, jelas tidak sesuai dengan etika politik good governance jika perbedaan di antara para pejabat diungkap atau terungkap ke depan publik.
Menurut etika politik, jika para pejabat berbeda pendapat, semestinya diselesaikan tertutup. Perbedaan kontradiktif satu sama lain yang terlihat di depan publik menimbulkan kegaduhan publik dan kebingungan warga.
Juga tidak sesuai dengan etika politik apabila pejabat memolitisasi bansos atau mengisyaratkan bansos yang dia salurkan berasal dari dia sendiri atau posisi yang melekat pada dirinya. Padahal, dana bansos jelas berasal dari anggaran negara, baik pusat maupun daerah.
Etika politik ialah moralitas politik atau etika publik. Dalam pandemi Covid-19, etika politik ialah pengutamaan pertimbangan moral dan etis dalam menyantuni korban Covid-19 dan warga terdampak. Bukan motif politik, bukan politik pencitraan, bukan pula politisasi dalam bentuk apa pun.
Jika etika politik atau moralitas politik diabaikan pejabat, hasilnya seperti yang dikemukakan Desrosiers dan Lagasse di awal kolom ini: ”… kebijakan-kebijakan politik (justru) memfasilitasi penyebaran (Covid-19)”. []
KOMPAS, 14 Mei 2020
Azyumardi Azra | Profesor Sejarah UIN Syarif Hidayatullah; Anggota KK AIPI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar