Selasa, 30 Juni 2020

(Buku of the Day) #MO Sebuah Dunia Baru yang Membuat Banyak Orang Gagal Paham

Dunia Digital di Balik Fenomena Sosial

 

Judul                : #MO Sebuah Dunia Baru yang Membuat Banyak Orang Gagal Paham

Penulis             : Rhenald Kasali

Tebal                : xix + 422

Penerbit            : Mizan

ISBN                 : 9786024411244

Peresensi          : Syakir NF, mahasiswa Pascasarjana Program Magister Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta.

 

Memang, dunia yang serba digital begitu cepat mengubah berbagai keadaan manusia. Bagaimana tidak, informasi dengan begitu cepatnya menjalar ke segala penjuru. Dengan hitungan sepersekian detik, bahkan di detik yang sama, orang di tempat yang berbeda sudah bisa mengetahui peristiwa yang terjadi di tempat lain, entah melalui panggilan video ataupun siaran langsung yang dilakukan melalui berbagai media, seperti televisi, Youtube, ataupun media sosial yang dilakukan oleh masyarakat secara personal, baik Facebook, Twitter, maupun Instagram.


Hal demikian terkadang dimanfaatkan oleh orang atau oknum yang tidak bertanggung jawab untuk menyebar agitasi dan memobilisasi massa dengan berbagai macam cara. Hal yang paling mudah kita lihat adalah perang tanda pagar (tagar) di media sosial Twitter. Yang paling terbaru terkait peristiwa tagar #GejayanMemanggil vs #TurunkanJokowi.


Namun, lepas dari esensi tagarnya, perang tagar ini juga tidak lepas dari tunggangan. Orang-orang memanfaatkan tagar-tagar yang tengah trending untuk memasarkan produknya ataupun lainnya. Bahkan, ada pula orang yang mempertentangkan tagar tersebut dengan tetap menyertakan tagarnya. Orang yang tidak setuju dengan tuntutan penurunan Jokowi memanfaatkan tagar #TurunkanJokowi untuk menyampaikan pendapatnya. Hal itu dilakukan guna mengimbangi narasi yang muncul dalam tagar tersebut.


Hal yang parah ketika kita diarahkan dengan isu hoaks yang dimunculkan agar masyarakat teragitasi, terbawa emosinya sehingga larut dalam euforia dan turut beraksi melakukan hal-hal yang diinginkan oleh oknum tertentu. Hal yang sebetulnya tidak diketahui betul kejadiannya, tetapi ditelan bulat-bulat. Mereka yang demikian tentu tidak ingat atau mungkin tidak mengetahui bahwa kita diperintahkan oleh Allah untuk bertabayun, mencari kejelasan atas informasi yang diterima.

 

Tentu permainan tagar tersebut tidak menjadi perbincangan banyak masyarakat tanpa beberapa faktor. Rhenald Kasali dalam bukunya #MO Sebuah Dunia Baru yang Membuat Orang Gagal Paham memberikan pandangannya bahwa ada lima hal yang membuat orang menggerakkan jemarinya untuk turut serta berkomentar, yakni magnitude, proximity, drama, konflik, dan ketokohan.


Rhenald juga mengungkapkan tentang anatomi mobilisasi. Hal itu diawali dengan adanya pemicu, dilanjutkan dengan adanya aksiden, lalu dibuat framing, kemudian ada tindakan partisipasi, timbul gerakan, sampai pada outcomes dan negosiasi. Jika kita terapkan pada kasus yang baru-baru ini ramai, demonstrasi mahasiswa. 

 

Pemicunya tentu saja adalah beberapa Rancangan Undang-Undang (RUU) yang kontroversial yang buru-buru ingin disahkan oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Aksidensinya berupa tindakan represif aparat keamanan terhadap demonstrasi yang mulanya berjalan damai. Lalu, hal itu dibuat framing sedemikian rupa, seperti adanya isu ditunggangi.


Partisipasi publik pun meluas. Tidak hanya mahasiswa, tetapi juga para artis, aktivis, dan influencer media sosial turut mengampanyekan hal tersebut. Berbagai video dan gambar pun beredar dan gerakan penyelamatan demokrasi menguat. Puncaknya, negosiasi mahasiswa dengan DPR, DPRD, gubernur, hingga presiden. Untuk pejabat yang disebut terakhir ini belum terlaksana.


Di samping itu, media sosial juga menjaring berbagai data pribadi kita. Kita dengan tanpa ada kecurigaan sama sekali membuka identitas kita yang seharusnya menjadi privasi beralih menjadi konsumsi publik. Tentu hal demikian ada plus minusnya. Di satu sisi, hal ini mempermudah orang mengenal kita. Banyak perusahaan yang mudah melihat rekam jejak digital kita melalui media sosial dan internet.


Ada platform Linked In, misalnya, yang menjadi media bagi orang-orang untuk mendapatkan informasi dalam mencari pekerjaan. Pun tingkah laku kita melalui apa yang diunggah dan dibagikan di media sosial pribadi. Tetapi di sisi lain, hal tersebut terkadang dimanfaatkan untuk hal lain, seperti kampanye suatu kepentingan tertentu dengan melihat kecenderungan pengguna dilihat dari apa saja yang diunggahnya. Hal ini terjadi di Amerika Serikat.


Perekonomian juga mengalami imbasnya. Pasalnya, dunia digital mempermudah konsumen dan penjual untuk akses jual beli sehingga praktik begitu cepat. Namun, hal tersebut juga memberikan dampak negatif terhadap persaingan usaha yang semakin ketat. Dunia usaha sudah tidak dapat mengandalkan satu bidang usaha saja untuk mendapatkan keuntungan yang diharapkan, tetapi harus mengembangkan usaha lainnya untuk menutupi kerugian yang didapatnya.

 

Taufik Hidayadi, alumni Fellow di Guangzhou, menyampaikan dalam sebuah diskusi perang dagang China dan Amerika Serikat bahwa Negeri Tirai Bambu begitu memanjakan para konsumen. Hal itu terbukti transaksi cukup dilakukan dengan Wechat yang langsun memotong saldo rekening bank pribadi untuk membeli berbagai macam hal di Alibaba.


Kemudahan akses yang demikian belum diterapkan di Indonesia. Namun, seiring berjalannya waktu, di kota-kota besar sudah banyak masyarakat yang menggunakan kemudahan bertransaksi dengan Gojek, misalnya, yang sudah merambah ke berbagai hal dari yang semula hanya membantu mendapatkan pengendara motor untuk mengantarkan ke sebuah lokasi tertentu.


Buku ini mengungkap kerja digital di balik fenomena sosial yang terjadi beberapa waktu terakhir, mulai dari peristiwa 212, kasus Audrey, hingga fenomena minyak sawit yang menuai penolakan di Eropa. Dengan buku ini, kita diajak untuk melihat fenomena sosial dari akarnya dengan data-data digital. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar