Covid-19: Resesi Demokrasi
Oleh: Azyumardi Azra
Covid-19 yang mewabah secara global menimbulkan disrupsi dan kekacauan dalam hampir semua aspek kehidupan: kesehatan, politik, ekonomi, sosial-budaya, dan agama. Gagap menghadapi pandemi yang menyebar cepat, beberapa pemerintah negara demokrasi, termasuk Indonesia, mengambil keputusan dan tindakan yang tidak selalu sejalan dengan prinsip demokrasi.
Akibatnya, wabah Covid-19 juga berdampak pada percepatan kemunduran demokrasi. Sekarang kian banyak ahli berargumen, akibat Covid-19, demokrasi tidak lagi sekadar mengalami decline (mundur) atau backsliding (meluncur ke belakang), lebih parah lagi memburuk menjadi resesi.
Menurut beberapa lembaga pemantauan dan penguatan demokrasi, seperti International IDEA Stockholm, Freedom House New York, Democracy Index, dan The Economist Intelligence Unit 2006-2019, demokrasi secara global mengalami kemunduran sekitar dua dasawarsa terakhir.
Demokrasi pernah menyapu banyak negara otoritarian dengan gelombang kebebasan politik dan sosial. Namun, dalam waktu tidak lama, kekecewaan muncul karena demokrasi tak mampu mendatangkan pemerintahan bersih dan efektif yang dapat meningkatkan kesejahteraan warga.
Oleh karena itu, negara otoritarian dengan sistem partai tunggal, seperti Republik Rakyat China, yang secara fenomenal berhasil mencapai kemajuan ekonomi, sains-teknologi, dan sosial-budaya, jadi menggoda. Semakin banyak negara dan pemerintah memandang sistem politik China sebagai alternatif sistem demokrasi.
Kini, di tengah pandemi Covid-19, keberhasilan Pemerintah China mengendalikan penyebaran Covid-19 melalui penutupan wilayah (lockdown) total di Wuhan juga menjadi showcase keberhasilan kebijakan nondemokratis. Banyak pemerintah demokrasi melihat kebijakan otoritarianisme ala China sebagai langkah tepat walau melanggar berbagai prinsip demokrasi.
Harian Kompas, sejak akhir Mei, beberapa kali menurunkan laporan mendalam tentang pandemi Covid-19 yang bisa memperburuk demokrasi. Pandemi bisa jadi ganjalan penguatan demokrasi yang menjadi salah satu amanat reformasi. Apalagi, dalam beberapa tahun belakangan, kemunduran demokrasi itu semakin meningkat (Kompas, 22/5/2020).
Beberapa tahun terakhir, sejumlah lembaga internasional pemantau dan penguatan demokrasi juga melihat kemunduran demokrasi Indonesia. Pernah disanjung sebagai negara demokrasi ketiga terbesar di dunia, Indonesia merosot dari full blown democracy menjadi flawed democracy atau bahkan illiberal democracy.
Demokrasi Indonesia menjadi cacat, antara lain, karena kian berkurangnya kebebasan warga beraspirasi dan berekspresi. Juga menjadi demokrasi ”tidak liberal” karena kian menyempitnya kebebasan warga menyatakan pendapat, termasuk yang tidak menyenangkan penguasa dan elite politik.
Gejala ini terlihat dari kian banyak warga yang harus berurusan dengan polisi dan peradilan. Mereka dianggap melanggar hukum dengan menyebarkan pernyataan atau informasi yang dianggap pencemaran nama baik atau penistaan dengan menggunakan UU ITE.
Pada awal pandemi, kemunduran demokrasi tampak dari penerbitan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19. Perppu yang disetujui jadi UU Nomor 2 Tahun 2020 itu memberi wewenang sangat besar kepada pemerintah yang mengeksekusi keuangan guna mitigasi pandemi; pemerintah seolah tak bisa dikontrol, dipersoalkan, dan dituntut secara hukum.
Indikator kemunduran demokrasi lain adalah penetapan RUU menjadi UU oleh DPR tanpa pembahasan yang melibatkan masyarakat sipil. Preseden bermula sejak penetapan UU Nomor 19 Tahun 2019 yang merevisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Dalam masa pandemi, selain menerima Perppu Nomor 1 Tahun 2020 menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020, DPR juga mengesahkan UU Nomor 7 Tahun 2020 tentang Minerba yang kontroversial.
DPR juga bersiap mengesahkan beberapa RUU lain, termasuk RUU Cipta Kerja yang kontroversial; boleh jadi juga tanpa mendengar pendapat publik. Sedikitnya reaksi publik membuat DPR merasa aman, seolah tidak ada perlunya bagi DPR mengonsultasi dan mendengarkan publik.
Indikator kemunduran paling terkini ialah yang disebut Kompas sebagai ”Pembungkaman Merusak Demokrasi” (Kompas, 2/6/2020). Kasus ini terkait pembungkaman melalui intimidasi pihak tertentu terhadap panitia dan narasumber diskusi ”Persoalan Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan” yang rencananya diselenggarakan pada 29 Mei 2020.
Diskusi tak jadi diselenggarakan. Polri bergeming mengusut pelaku intimidasi. Kepala Divisi Humas Polri Irjen Argo Yuwono menuturkan, kepolisian sudah melakukan penyelidikan, tetapi memerlukan laporan untuk menangani kasus ini (31/5/2020). Keadaan ini membuat sebagian kalangan masyarakat curiga aparat ”tebang pilih” dalam penegakan hukum. Sementara Menkopolhukam Mahfud MD meminta Polri mengusut pelaku intimidasi, tak ada isyarat, apalagi instruksi ”dari atas” yang bisa membuat Polri bergerak.
Indikator kemunduran terekam dalam catatan pemantau demokrasi. V-Dem (Varieties of Democracy) Institute, Swedia, misalnya, mencatat demokrasi Indonesia dalam risiko menengah mengalami backsliding pada masa pandemi Covid-19.
Hasil survei Indikator bertajuk ”Persepsi Publik terhadap Penanganan Covid-19; Kinerja Ekonomi dan Implikasi Politiknya”, yang diluncurkan pada 7 Juni 2020, menunjukkan hanya 49,5 persen publik puas atas kinerja demokrasi Indonesia. Pada Februari 2020, sebesar 75,6 persen responden menyatakan puas atas kinerja demokrasi.
Melihat perkembangan ini, demokrasi Indonesia perlu kembali dikonsolidasikan. Masyarakat sipil dan lembaga advokasi demokrasi harus merapatkan barisan. Tidak perlu menunggu sampai selesai pandemi Covid-19, pemulihan demokrasi harus segera dilakukan sebelum resesi demokrasi terus memburuk di negeri ini. []
KOMPAS, 11 Juni 2020
Azyumardi Azra | Profesor Sejarah UIN Syarif Hidayatullah; Anggota KK AIPI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar