Hukum Akad Nikah tanpa Jabat Tangan karena Jaga Jarak Fisik Darurat Virus
Belakangan ini viral suatu video akad nikah dengan praktik yang tidak lazim, yaitu hanya dihadiri orang terbatas, dengan jaga jarak dan tanpa bersentuhan. Akadnya pun dilakukan dengan setengah teriak.
Meski terkesan biasa saja, bahkan belum diketahui benar tidaknya apakah dalam video benar-benar merupakan akad nikah atau sekadar keisengan parodi physical distancing dalam situasi pandemi Sars-Cov-2. Namun di tengah masyarakat tayangan itu menghadirkan pertanyaan yang tidak terbayang sebelumnya.
Apakah akad nikah yang dilakukan tanpa berjabat tangan antara wali dan mempelai
pria hukumnya sah? Sebab tradisi yang berlaku selama ini, umumnya akad nikah
dilakukan dengan jabat tangan keduanya.
Dalam Islam, jabat tangan atau salaman merupakan perbuatan yang sangat
disunnahkan (sunnah muakkadah) bahkan disepakati kesunnahannya untuk dilakukan
di setiap pertemuan, sejalan dengan petunjuk Nabi Muhammad SAW:
مَا
مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ، إلَّا غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ
أَنْ يَفْتَرِقَا. ( حم د ت ه) والضياء عن البراء
Artinya, “Tidaklah dua orang Muslim berjumpa kemudian saling berjabat tangan melainkan keduanya mendapatkan ampunan dari Allah SWT sebelum mereka berpisah.” (HR Imam Ahmad, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah). Al-Hafizh Dhiyauddin Muhammad bin Abdul Wahid Al-Maqdisi meriwayatkannya dari Al-Barra’. Hadits hasan). (Abu al-Fadhl Ahmad bin Ali bin Hajar Al-‘Asqalani, Fathul Bari bi Syarhi Shahihil Bukhari, [Beirut: Darul Ma’rifah: 1379 H], juz XI, halaman 55).
Selain itu bersalaman juga dapat menumbuhkan mahabbah atau rasa cinta dan
menjadi kesempurnaan penghormatan ucapan salam.
اَلْمُصَافَحَةُ
الْأَخْذُ بِالْيَد وَهُوَ مِمَّا يُولِدُ الْمَحَبَّةَ
Artinya “Mushafahah adalah berjabat tangan dan hal itu termasuk perbutan
yang dapat melahirkan rasa cinta.” (Badruddin Al-‘Aini, ‘Umdatul Qari Syarh Shahihil Bukhari,
[Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1421 H/2001 M], juz XXII, halaman 392).
مِنْ
تَمَامِ التَّحِيَّةِ الْأَخْذُ بِالْيد) أَيْ إِذَا لَقِيَ الْمُسْلِمُ
الْمُسْلِمَ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ فَمِنْ تَمَامِ السَّلَامِ أَنْ يَضَعَ يَدَهُ فِي
يَدِهِ فَيُصَافِحُهُ فَإِنَّ الْمُصَافَحَةُ سُنَّةٌ مُؤَكَّدَةٌ
Artinya “Maksud sabda Nabi Muhammad SAW ‘Di antara kesempurnaan penghormatan
kepada orang lain adalah berjabat tangan’, adalah ketika seorang muslim bertemu
muslim lain lalu mengucapkan salam kepadanya, maka di antara kesempurnaan
salamnya adalah dengan meletakkan tangannya kepada muslim yang dijumpainya lalu
berjabat tangan. Sebab berjabat tangan hukumnya sunnah muakkadah.” (Muhammad
Abdurrauf Al-Munawi, Faidhul
Qadi Syarh al-Jami’is Shagir min Ahaditsil Basyirin Nadzir,
[Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1415 H/1994 M], ed. Ahmad Abdissalam, juz
IV, halaman 15).
Namun kalau yang dipertanyakan adalah apakah akad nikah yang dilakukan tanpa berjabat tangan yang dilakukan antara wali dan mempelai pria hukumnya sah, maka jawabannya adalah tetap sah. Sebab jabat tangan antara keduanya tidak termasuk dari rukun dan syarat nikah yang menjadi standar keabsahan akad nikah.
فَصْلٌ
فِي أَرْكَاِن النِّكَاِح وَغَيْرِهَا (أَرْكَانُهُ) خَمْسَةٌ
(زَوْجٌ وَزَوْجةٌ وَوَلِيٌّ وَشَاهِدَانِ وَصِيغَةٌ. وشُرِّطَ فِيهَا) أَيْ فِي
صِيغَتِهِ (مَا) شُرِّطَ (فِي) صِيغَةِ (الْبَيْعِ) وَقَدْ مَرَّ بَيَانُهُ
وَمِنْهُ عَدَمُ التَّعْلِيقِ وَالتَّأْقِيتِ.
Artinya “Pasal tentang Rukun nikah dan selainnnya. Rukun nikah ada lima (5),
yaitu calon suami, calon istri, wali, dua saksi dan shighat. Dalam shigat nikah
disyaratkan hal-hal yang disyaratkan dalam shighat akad jual beli, dan
penjelasannya sudah lewat.” Di antaranya tanpa menggantungkan akad pada sesuatu
yang lain (ta’liq) dan tanpa pembatasan waktu (ta’qit).” (Abu Yahya Zakariya
al-Anshari, Fathul Wahhab bi
Syarhi Manhajit Thullab pada Hasyiyatus
Syekh Sulaiman Al-Jamal, [Beirut, Darul Fikr: tth.], juz IV,
halaman 133).
Kemudian mengapa berjabat tangan menjadi tradisi yang sangat erat dalam
pelaksanaan akad nikah, sehingga umumnya orang sampai mengasumsikan sebagai
bagian dari syarat rukunnya?
Menurut penulis bisa jadi hal itu karena sirr Ilahi atas masyru’iyyah bersalaman. Di antaranya menjadi simbol baiat dalam Islam sebagaimana penjelasan Al-Hakim At-Tirmidzi (w. 360 H) ketika menjelaskan berbagai rahasianya:
وَأَمَّا
الْمُصَافَحَةُ هُوَ الْأَخْذُ بِالْيَدِّ وَهُوَ كَالْبَيْعَةِ لِأَنَّ مِنْ
شَرَائِطَ الْإِسْلَامَ الْأُخُوَّةُ قَالَ اللهُ تَعَالَى: إِنَّمَا
الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ ... (الحجرات: 10) وقال:
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ... (التوبة:
71). شَرَّطَ اللهُ تَعَالَى فِيمَا بَيْنَهُمُ الْأُخُوَّةُ وَالْوِلَاَيةُ
فَإِذَا لَقِيَهُ فَصَافَحَهُ كَأَنَّهُ يُبَايِعُهُ عَلَى هَاتَيْنِ
الْخَصْلَتَيْنِ. فَفِي كُلِّ مَرَّةٍ يَلْقَى يُجَدِّدُ بَيْعَتَهُ فَيُجَدِّدُ
اللهَ تَعَالَى لَهُمَا ثَوَابًا
Artinya “Adapun mushafahah yaitu berjabat tangan, maka posisinya seperti baiat,
sebab di antara syarat Islam adalah persaudaraan. Allah Ta’ala berfirman:
‘Niscaya orang-orang beriman itu bersaudara …’ QS. al-Hujurat: 10). Allah juga
berfirman: ‘Orang-orang mukmin laki-laki dan orang-orang mukmin perempuan,
sebagian mereka menjadi penolong sebagian yang lain …’ (QS. at-Taubah: 71).
Allah mensyaratkan persaudaraan dan saling menolong. Maka ketika seorang muslim
bertemu dengan muslim lain lalu bersalaman, seolah-olah ia berbaiat dalam dua
hal tersebut. Maka dalam setiap kali bertemu ia memperbarui baiatnya, dan Allah
Ta’ala memberi pahala baru kepada mereka berdua.” (Abu Abdillah Al-Hakim
At-Tirmidzi, Nawadirul Ushul
fi Ahaditsir Rasul, [Beirut, Darul Jil: 1992 M], juz III, halaman
13).
Bila disepakati bahwa berjabat tangan merupakan simbol baiat, maka bukankah
akad nikah yang mempertemukan dua insan juga merupakan “baiat kecil” yang
menjadi bagian dari upaya melanjutkan kehidupan manusia di dunia dan memerlukan
kesepakatan antara dua pihak yang terlibat bersama? Di sinilah jabat tangan
menjadi simbol keseriusan dalam baiat akad pernikahan.
Walhasil, berjabat tangan antara wali dan calon suami bukan merupakan syarat
rukun akad nikah yang menentukan keabsahannya. Dengan demikian, meski secara
dasarnya mempunyai sirr Ilahi yang sangat luas, namun jabat tangan antara wali
dan calon suami dalam situasi pandemi Sars-Cov-2 seperti sekarang, yang
menuntut kedisiplinan ketat physical
distancing, sah bahkan lebih baik untuk sementara waktu tidak
dilakukan, demi kemaslahatan bersama memutus mata rantai penyebaran virus
corona. Wallahu a’lam.
[]
Ustadz Ahmad Muntaha AM, Founder Aswaja Muda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar