Timur-Tengah yang Suram
Oleh: Zuhairi Misrawi
Baru-baru ini, stasiun televisi Al-Jazeera memutar video rudal yang diluncurkan United Arab Emirate (UAE) ke kubu oposisi Libya. Tidak mau kalah, Arab Saudi juga meluncurkan rudal ke basis kubu Houthi, Yaman yang menewaskan beberapa orang, di antaranya anak-anak.
Dua peristiwa tersebut terjadi di saat pandemi, yang sejatinya menajamkan kepedulian dan solidaritas kemanusiaan kita. Yang diutamakan bukan uluran tangan guna membantu mereka yang terdampak pandemi dan hidup dalam ketidakpastian dalam beberapa tahun terakhir, melainkan justru menghujani rudal kepada mereka yang lemah dan tertindas.
Terkutuklah mereka yang tidak mempunyai hati nurani di tengah pandemi. Berperang dan berkonflik di tengah pandemi merupakan serendah-rendahnya akhlak. Mereka mempunyai akal sehat dan hati nurani, tetapi sayangnya mereka tidak menggunakannya. Konsekuensinya, krisis politik yang melanda beberapa negara di Timur-Tengah sedang menghadapi masa-masa tersuram.
Padahal, jika negara-negara Timur-Tengah itu mau, pandemi justru dapat digunakan sebagai momentum untuk mendorong rekonsiliasi di antara pihak-pihak yang berkonflik. Sebab solusi pandemi dan krisis kemanusiaan lainnya hanya rekonsiliasi, kolaborasi, gotong-royong, dan kerja sama. Adu otot dan adu rudal selamanya tidak akan menyelesaikan masalah.
Keterlibatan Arab Saudi dan UAE dalam konflik di beberapa negara, seperti Yaman dan Libya tidak membawa keuntungan dan dampak positif apa-apa, selain ego dan prestise semu. Alih-alih mendatangkan keuntungan politik, melainkan yang terjadi justru krisis kemanusiaan yang terlihat telanjang di depan mata. Jutaan dan ratusan ribu warga meninggal dunia, kelaparan, dan mencari suaka atau pengungsian di beberapa negara Arab hingga ke Eropa, Amerika Serikat, dan Kanada.
Konyolnya, kedua negara kaya minyak ini melakukan itu semua di tengah pandemi yang semua merasakan dampak buruknya dalam berbagai sektor kehidupan. Bahkan di tengah ekonomi kedua negara yang sedang terpuruk akibat pandemi. Laporan terbaru IMF mencatat untuk pertama kalinya pertumbuhan ekonomi terjun bebas ke titik negatif yang lumayan parah dalam empat dekade terakhir, akibat tingginya jumlah pengangguran dan naiknya utang luar negeri. IMF mencatat utang negara-negara Arab akan naik sekitar 15%, sehingga mencapai 1,46 triliun dolar AS.
Kerugian yang harus ditanggung akibat pandemi dan merosotnya harga minyak sekitar 323 miliar dolar AS, yang berdampak secara signifikan terhadap perekonomian negara-negara jiran Arab lainnya, termasuk dapat mengurangi angka pekerja buruh migran. Itu maknanya, krisis ekonomi yang dihadapi negara-negara kaya minyak akan memberikan dampak serius bagi negara-negara sekitarnya juga.
Tapi sayangnya, momentum tersebut tidak digunakan untuk menumbuhkan kebersamaan dalam rangka mengakhiri konflik dan perang yang bertahun-tahun melanda kawasan Timur-Tengah. Pandemi tidak mampu mengetuk hati nurani para pemimpin negara-negara kaya minyak itu, sehingga tidak terelakkan situasinya makin suram dan runyam.
Negara-negara yang terlebih dahulu babak-belur akibat konflik politik di antara faksi-faksi politik di dalam negeri masing-masing, seperti Yaman, Suriah, dan Libya harus menerima takdir sejarah melewati masa-masa sulit di tengah pandemi. Mereka hidup dalam konflik yang hingga saat ini belum ada solusi mujarab bagi masa depan mereka. Bahkan, mereka terancam akan hidup di tengah konflik yang berkepanjangan. Hanya Tuhan yang tahu kapan konflik akan berakhir.
Menyusul negara-negara yang berada dalam zona merah konflik tersebut, negara-negara lain di kawasan harus menghadapi tantangan yang tidak mudah di masa mendatang. Arab Saudi menjadi negara yang paling pertama akan menghadapi goncangan ekonomi secara serius. Setidaknya dalam 5 tahun terakhir pendapatan dari minyak menurun drastis, dari 732 miliar dolar AS menjadi 499 miliar dolar AS. Sedangkan utang luar negeri Arab Saudi terus meningkat tajam dari 12 miliar dolar AS menjadi 183 miliar dolar AS.
Belum lagi, penutupan ibadah umrah tidak ada kepastian kapan akan dibuka, termasuk kepastian penyelenggaraan ibadah haji tahun ini. Arab Saudi berpikir keras memutar otak untuk mencari solusi bagi krisis ekonomi. Dan satu-satunya solusi adalah hutang ke IMF dan menjual saham Aramco ke China.
Ironisnya, dalam kondisi ekonomi berdarah-darah seperti itu, Arab Saudi masih terus belanja senjata untuk menggempur kelompok Houthi di Yaman. Sepertinya dalam pikiran Muhammad bin Salman tidak ada solusi lain selain membunuh pihak-pihak yang dianggapnya musuh. Padahal mereka sama-sama muslim.
Beberapa negara lainnya, seperti Mesir, Libanon, Irak, dan Palestina menjadi negara-negara yang juga terdampak pandemi. Meskipun tidak ada konflik politik yang begitu sengit, tetapi mereka sedang menghadapi krisis ekonomi yang serius karena terhentinya aktivitas ekonomi dampak pandemi. Negara-negara kaya minyak lainnya, seperti Kuwait, Bahrain, dan Qatar juga akan menghadapi tantangan yang tidak mudah.
Padahal saat ini Amerika Serikat sedang menghadapi masalah dalam negeri yang tidak mudah. Apalagi mereka akan menggelar Pemilu Presiden akhir November nanti. Sebab itu, momentum untuk mewujudkan Timur-Tengah baru yang solid dan damai sejatinya dapat dilakukan dengan mengedepankan kepentingan dan kemaslahatan bersama. Saat ini Amerika Serikat akan fokus dalam persoalan dalam negeri mereka karena krisis ekonomi dan krisis politik yang sangat serius.
Namun sayang seribu sayang, narasi perdamaian di Timur-Tengah tidak pernah muncul ke permukaan karena para pemimpinnya mudah diadu-domba dan tidak mempunyai hati-nurani. Timur-Tengah saat ini mengalami krisis kepemimpinan yang mampu membaca peta geopolitik dan mencari terobosan baru bagi masa depan yang lebih baik.
Timur-Tengah modern adalah Timur-Tengah yang mudah bertekuk lutut di bawah ketiak kepentingan Amerika Serikat dan sekutunya, sehingga begitu banyak momentum yang dilalui begitu saja, tanpa solusi yang mujarab bagi krisis yang dihadapi mereka sendiri. Jika situasi seperti ini berlangsung lama, maka hampir bisa dipastikan bahwa masa depan Timur-Tengah akan semakin suram dan runyam. Tanpa disadari, sebenarnya mereka sedang mengubur diri sendiri dalam lumpur yang sangat kotor.
DETIK, 11 Juni 2020
Zuhairi Misrawi | Cendekiawan Nahdlatul Ulama, analis pemikiran dan politik Timur-Tengah di The Middle East, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar