Jumat, 26 Juni 2020

(Ngaji of the Day) Makna Hijrah dan Pisah Ranjang dalam Tafsir Surat An-Nisa

Makna Hijrah dan Pisah Ranjang dalam Tafsir Surat An-Nisa


Allah SWT berfirman:

 

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ ۚ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ ۚ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا

 

Artinya, “Laki-laki itu pelindung bagi perempuan (istri) karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang salehah adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang) dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar,” (Surat An-Nisa ayat 34).

 

Menurut Al-Qurthuby, di dalam ayat ini tersimpan 11 masalah. Dalam tulisan ini, penulis hanya akan menyajikan salah satu dari 11 masalah itu. Lafal الرجال قوامون على النساء merupakan jumlah ismiyah yang terdiri atas mubtada’ dan khabar.

 

Dilihat dari sudut pandang ilmu kaidah tafsir, jumlah ini berfaedah menunjuk makna tsubut (keteguhan) dan istimrar (terus menerus).

 

الجملة اسمية ھي ما تركبت من مبتدأ وخبر، وھي تفيد بأصل وضعھا ثبوت شيئ لشيئ ليس غير - بدون نظر إلى تجدد و, استمرار - نحو ارض متحركة - فيستفاد منھا سوى ثبوت الحركة للأرض، بدون نظر إلى تجدد ذلك و, حدوثه

 

Artinya, “Jumlah ismiyah adalah jumlah yang tersusun atas mubtada’ dan khabar. Faedah susunannya adalah menunjukkan makna tsubut (teguh) suatu hal untuk sesuatu yang lain, sehingga tidak ada peluang untuk berpaling ke obyek lain, dengan tanpa perlu berpikir ulang. Jumlah ini juga berfaedah menunjukkan makna keteguhan yang terus menerus. Contoh, “Bumi berguncang (الأرض متحركة)”. Dengan susunan ini, diperoleh faedah menyampingkan adanya guncangan pada benda lain selain dari bumi (yang menjadi fokus pembicaraan) tanpa perlu berfikir lagi kepada hal lain yang baru dan bagaimana terjadinya,” (Al-Masih, Mu’jamu Qawa’idil Lughah Al-‘Arabiyyah, [Libanon, Maktabah Lubnan: 1981], halaman 181).

 

Jumlah ini mengisyaratkan sebuah faedah yang menyimpan makna hierarki hubungan antara dua insan yang berbeda jenis dalam lingkup rumah tangga.

 

Diksi قوام merupakan kata benda dengan shighat mubalaghah yang menunjukkan makna penguatan/penekanan terhadap aktivitas melindungi. Bentuk shighat tashghir-nya (tanpa penguatan/penekanan) adalah lafal قيم. Kurang lebihnya, perbedaan kalimat قوام dengan قيم adalah sama pengertiannya dengan dua kalimat berikut, yaitu فعيل (bersifat pelaku) dengan فَعَّالٌ (orang yang bersifat terampil sekali dalam menjadi pelaku). عليم adalah orang yang memiliki karakter berilmu.

 

Namun, makna akan berbeda mana kala memakai shighat علامة, yang memiliki pengertian orang yang memiliki karakter sangat ‘alim. Jadi, penggunaan shighat mubalaghah pada diksi قوامون dalam ayat di atas, Allah SWT seolah hendak menyampaikan bahwa posisi seorang laki-laki (dalam lingkup rumah tangga) adalah merupakan sosok yang sangat ditekankan perannya dalam melindungi istrinya.

 

Ada dua penyebab yang menjadikan peran perlindungan ini diamanahkan kepada laki-laki (suami), yaitu:

 

1. يقومون بالنفقة عليهن والذب عنهن = disebabkan karena nafaqah yang diberikan pada istrinya dan perlindungannya.

 

2. فإن فيهم الحكام والأمراء ومن يغزو ، وليس ذلك في النساء = karena posisi hakim, pemimpin, dan berperang adalah kewajiban laki-laki serta bukan kewajiban seorang perempuan.

 

Al-Qurthuby berpendapat bahwa ayat ini menjelaskan tentang:

 

ووجه النظم أنهن تكلمن في تفضيل الرجال على النساء في الإرث

 

(Arah dari susunan ayat ini sesungguhnya adalah berbicara tentang keutamaan laki-laki atas seorang perempuan dalam urusan mawarits).

 

Disebutkan lebih jauh oleh Al-Qurthuby bahwa keutamaan tersebut disebabkan karena kewajiban memberikan mahar dan nafaqah dalam keluarga adalah pihak laki-laki.

 

Dalam satu riwayat disebutkan:

 

إن الرجال لهم فضيلة في زيادة العقل والتدبير ؛ فجعل لهم حق القيام عليهن لذلك

 

(Laki-laki memiliki keutamaan pada panjangnya akal dan kelebihan dalam mengatur. Oleh karena itu diberikan amanah bagi mereka hak untuk memberi perlindungan kepada kaum hawa)

 

Masih dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa:

 

للرجال زيادة قوة في النفس والطبع ما ليس للنساء ؛ لأن طبع الرجال غلب عليه الحرارة واليبوسة ، فيكون فيه قوة وشدة ، وطبع النساء غلب

عليه الرطوبة والبرودة ، فيكون فيه معنى اللين والضعف ؛ فجعل لهم حق القيام عليهن بذلك

 

Artinya: “Seorang laki memiliki kelebihan berupa kekuatan yang terdapat dalam diri dan watak, yang mana hal ini tidak dimiliki seorang perempuan. Watak kaum laki-laki adalah berani menghadapi situasi panas dan kering. Situasi seperti ini membutuhkan sosok dengan kepribadian yang kuat dan keras. Sementara itu kaum hawa memiliki watak berani menghadapi situasi yang basah dan dingin. Dengan demikian gambaran watak pribadinya adalah sosok yang bepengertian lemas dan lemah. Karena alasan-alasan inilah maka dijadikan hak bagi laki-laki untuk melindungi kaum hawa.”

 

Dasar dari penafsiran terakhir ini berangkat dari penggalan ayat:

 

وبما أنفقوا

 

dan sebab apa yang mereka nafkahkan).

 

Di lihat dari sisi riwayat tafsir, ada banyak sebab turunnya ayat ini. Banyaknya sebab ini menunjukkan bahwa ayat ini pernah turun berulang (takrar). Salah satu sebab turunnya ayat ini adalah meneguhkan putusan hukum yang berlaku atas kasus Sa’ad ibnur Rabi’. Suatu ketika istrinya melakukan tindakan nusyuz (membangkang). Lalu Sa’ad memukul istrinya tersebut, yaitu Habibah binti Zaid ibn Kharijah ibn Zuhair. Lalu bapak dari Habibah ini tidak terima. Akhirnya ia melaporkan ke Rasulullah SAW:

 

يا رسول الله ، أفرشته كريمتي فلطمها

 

Artinya: “Wahai Rasulullah, Aku hendak mengadukan kasus anakku tercinta yang dipukul suaminya.”

 

Rasulullah SAW menjawab:

 

لتقتص من زوجها

 

Artinya: “Baginya hak qishash berlaku atas suaminya.”

 

Lalu bapak dan anak ini berangkat untuk menuntut qishash terhadap Sa’ad ibnur Rabi’. Setelah kepergiannya, tiba-tiba Jibril datang kepada Rasulullah SAW menyampaikan ayat ini. Selanjutnya Rasulullah menyampaikan kepada para sahabat agar mendatangkan lagi bapak dan si anak tersebut.

 

ارجعوا هذا جبريل أتاني فأنزل الله هذه الآية

 

Artinya: “Tolong kembalikan mereka berdua! Jibril telah datang kepadaku dengan membawa wahyu dari Allah.”

 

Selanjutnya beliau Rasulullah SAW bersabda:

 

أردنا أمرا وأراد الله غيره

 

Artinya: “Aku menghendaki putusan perkara tersebut (sebagaimana telah aku sampaikan). namun ternyata Allah SWT menghendaki putusan lain.”

 

Hadits riwayat tafsir ini disampaikan oleh Al-Qurthuby dalam kitab tafsirnya disertai beberapa syawahid (bukti riwayat dari jalur berbeda). Dengan demikian, kedudukan riwayat tafsir ini bisa dijadikan sebagai dasar hukum.

 

Adapun berkaitan dengan lafal فاهجروهن في المضاجع, khusus untuk lafal في المضاجع ada riwayat qiraah yang lain dari Ibnu Mas’ud dan An-Nakhai serta beberapa imam lain yang tidak bisa disebutkan satu per satu, mereka condong kepada membaca dengan qiraah في المضجع (fil madlja’i) yang artinya di tempat pembaringan. Kalimat ini merupakan bentuk singular dari kalimat في المضاجع yang merupakan shighat muntahal jumu’ (shighat puncak isim jama’). Dengan demikian, pembaringan yang dimaksud dalam shighat muntaha al-jumu’ dalam ayat di atas adalah semua bentuk pembaringan, dan di manapun tempat ia berada.

 

Adapun lafal Al-Hajr di dalam ayat tersebut memiliki beberapa arti oleh kalangan mufassir, antara lain sebagai berikut:

 

1. Menurut Ibnu Abbas :

 

والهجر في المضاجع هو أن يضاجعها ويوليها ظهره ولا يجامعها

 

Artinya: Makna الهجر في المضاجع adalah jika tetap menemaninya tidur akan tetapi dengan memalingkan punggung serta tidak menjimaknya.”

 

2. Menurut Ibnu Mujahid:

 

جنبوا مضاجعهن

 

Artinya: “Jauhi pembaringan-pembaringannya!”

 

3. Menurut Ibrahim An-Nakhai, Al-Sya’by, Qatadah, dan Al-Hasan Al-Bashri, Ibnu Wahbin, Ibnu Qasim, Imam Malik dan Ibnul Araby:

 

ويعضده اهجروهن من الهجران ، وهو البعد

 

Artinya: “Menekankan memisahi dengan sebenar-benar pisah, atau menjauh”.

 

Jika kita memakai pendapat terakhir ini, memisahinya suami-istri, ketika si istri ditemukan indikasi adanya pembangkangan adalah dengan sebenar-benarnya menjauhi ranjang sang istri selama beberapa waktu sehingga tidak terjadi jima’. Lain halnya dengan pendapat Ibnu Abbas, beliau masih mentolerir untuk tinggal satu ranjang, namun dengan posisi tidur saling membelakangi. Pendapat Ibnu Mujahid kiranya agak lebih moderat, namun memiliki kaitan erat dengan pendapat terakhir.

 

1. Hak bagi suami menjauhi istri ketika ditemukan adanya gelagat pembangkangan ini disebabkan beban yang ditanggungnya. Ibnu Araby menegaskan:

 

حملوا الأمر على الأكثر الموفي

 

Artinya: “Mereka menanggung perintah yang mayoritas harus dilaksanakan.”

 

Walhasil, ayat di atas seolah memberikan penekanan bahwa:

 

1. Suami merupakan yang mendapatkan beban taklif melindungi istrinya. Beban taklif ini sangat dikuatkan berdasarkan teks nash syariat.

 

2. Ada hak bagi suami yang dibenarkan oleh syariat dalam tata cara mendidik istrinya ketika terjadi nusyuz, yaitu:

• Dibenarkan baginya untuk memberikan nasehat

• Menjauhi istrinya dari tempat tidurnya sehingga tidak terjadi jima’ (pisah ranjang).

• Diperbolehkan memukul selain wajah, dengan catatan berupa pukulan mendidik dan tidak menunjukkan arti aniaya.

 

3. Tindakan hajr (yang merupakan asal dari isim musytaq hijrah) dalam ayat di atas bermakna berpisah ranjang. []

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Wakil Sekretaris Bidang Maudlu’iyah–Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PWNU Jawa Timur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar