Kamis, 25 Juni 2020

(Ngaji of the Day) Antara Royal dan Pelit, Ambillah Sikap Tengah!

Antara Royal dan Pelit, Ambillah Sikap Tengah!


Mengambil sikap tengah adalah baik karena sikap ini merupakan titik temu yang seimbang antara kedua sikap ekstrem yang saling bertolak belakang, yakni ekstrem kiri dan ekstrem kanan. Jika sikap “nyah-nyoh” (terlalu bermurah hati) dalam bersedekah ditempatkan pada posisi ekstrem kanan, maka sikap pelit berada di ekstrem kiri.

 

Kedua ekstremitas itu tidak baik dalam pandangan agama sebab Islam mengajarkan sikap tengah di antara keduanya yang disebut moderat atau tawasuth sebagaimana ditegaskan dalam hadits berikut:

 

خَیْرُ اْلأُمُوْرِ أَوْسَاطُهَا

 

Artinya, “Sebaik-baik perkara adalah sikap tengah.” (HR. Ibn As-Sam’ani)

 

Sikap tengah dalam memberikan sedekah hendaknya dipraktekkan sebagaimana dinasihatkan oleh Allamah Sayyid Abdullah bin Alawi al-Haddad dalam kitabnya berjudul Al-Fushul al-‘Ilmiyyah wal Ushul al-Hikamiyyah, (Dar Al-Hawi, Cet. II, 1998, hal. 77 ) sebagai berikut:

 

وقد أرشد الله تبارك وتعالى إلى الاقتصاد والتوسط قي الإنفاق الذي هو من أحسن الأفعال والأخلاق بقوله تعالى: " وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَىٰ عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَحْسُورًا." وقوله تعالى :" وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَٰلِكَ قَوَامًا.

 

Artinya, “Allah subhanu wa ta’ala telah menyerukan kita agar bersahaja dan mengambil jalan tengah dalam berinfaq yang pada dasarnya merupakan sebaik-baik perbuatan dan akhlak dengan firman-Nya,’Jangan biarkan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan jangan pula kau ulurkan sejauh-jauhnya sehingga kau jadi tercela penuh penyesalan. (QS al-Isra: 29) dan firman Allah yang lain: ‘Orang-orang yang bila memberi sumbangan tiada berlebih-lebihan dan tiada pula kikir, tapi bersikap antara keduanya’,”(QS al-Furqan: 67).

 

Dari kutipan di atas dapat diuraikan hal-hal sebagai berikut:

 

Pertama, dalam kaitan dengan sedekah atau infaq, sikap terbaik adalah tidak memberikan dalam jumlah terlalu besar sekaligus tidak terlalu minimal atau kurang. ‘Nyah-nyoh’ (royal dalam pemberian) dalam arti negatif adalah sikap terlalu bermurah hati dengan akibat pemborosan dan biasanya menimbulkan penyesalan karena berdampak buruk. Islam melarang pemborosan atau penyia-nyiaan (tabdzir) sebagaimana disinggung di dalam Al-Qur’an, Surat al-Isra’ ayat 27, sebagai berikut:

 

إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا

 

Artinya, “Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.”

 

Sikap pemborosan menunjukkan kurangnya perhitungan yang bijak dalam membelanjakan harta. Sebagai contoh, seorang anak membutuhkan uang saku sekolah sebesar Rp10.000/hari. Tetapi kita memberinya Rp25.000/hari sehingga bersisa sebesar Rp15.000/hari. Sisa itu kemudian dihabiskan untuk bersenang-senang atau membeli barang-barang yang sebetulnya tidak dia butuhkan.

 

Contoh lain adalah kita memiliki uang Rp1.000.000. Lalu ada orang datang meminta sumbangan untuk sebuah acara pengajian umum. Kita berikan Rp750.000 hingga sisanya adalah Rp250.000. Beberapa hari berikutnya uang sisa itu habis sementara tanggal gajian masih beberapa hari lagi. Lalu timbul masalah keuangan. Persoalan ini kemudian dipecahkan dengan meminta bantuan orang lain atau meminjam sejumlah uang guna mencukupi kebutuhan keluarga.

 

Kedua contoh kasus di atas menunjukkan sikap berlebihan atau over dalam memberikan sedekah atau infaq. Pada contoh pertama, letak keberlebihannya adalah memberikan uang dalam jumlah terlalu besar dibandingkan dengan jumlah uang yang dibutuhkan oleh si anak. Pada contoh kedua, letak keberlebihannya adalah memberikan infaq dalam jumlah terlalu besar dikaitkan dengan persediaan uang yang ada sehingga hanya menyisakan sangat sedikit dan tidak cukup untuk mencukupi kebutuhan keluarga.

 

Namun jika sebaliknya, yakni anak tersebut diberikan uang saku terlalu sedikit dan bahkan kurang, taruhlah Rp. 3.000/hari, kemudian anak tersebut mencari tambahan sendiri dengan cara mengambil uang temannya, maka pemberian semacam ini sangat pelit. Hal ini tentu saja tidak baik karena menempatkan anak pada posisi sulit dengan akibat berani melakukan pencurian dari uang teman-temannya.

 

Demikian pula, seandainya uang yang diberikan sebagai sumbangan untuk pengajian sebagaimana disebutkan di atas hanya senilai Rp10.000, bisa jadi jumlah itu sangat sedikit dan tidak signifikan untuk menutup kebutuhan-kebutuhan panitia, sementara persediaan uang masih cukup banyak untuk memenuhi kebutuhan keluarga sampai tiba saatnya lagi menerima gaji untuk bulan berikutnya. Sikap yang tercermin dari sumbangan atau infaq sebesar Rp10.000 itu adalah pelit.

 

Kedua, sikap terlalu pelit, atau bahkan terlalu irit, yang juga disebut sikap bakhil dalam bersedekah baik dari segi jumlah yang terlalu kecil maupun frekwensinya yang terlalu tinggi tanpa mempertimbangkan dampak buruk ke dalam maupun keluar merupakan hal yang dilarang. Hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh Sayyid Abdullah al-Haddad bertentangan dengan pesan moral yang terkandung dalam penggalan ayat sebagai berikut:

 

وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ

 

Artinya, “Jangan biarkan tanganmu terbelenggu pada lehermu,” (QS al-Isra’:29).

 

Ibnu Katsir menafsirkan penggalan ayat tersebut sebagai larangan bersikap pelit atau bakhil dalam membelanjakan harta yang dimiliki.

 

Ketiga, sikap terlalu bermurah hati atau yang sering disebut “nyah-nyoh” dalam arti berlebihan dalam bersedekah baik dari segi jumlah maupun frekuensinya tanpa mempertimbangkan dampak buruk ke dalam maupun keluar merupakan hal yang dilarang. Hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh Sayyid Abdullah al-Haddad bertentangan dengan pesan moral yang terkandung dalam penggalan ayat sebagai berikut:

 

وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَّحْسُورًا

 

Artinya, “Jangan pula kau ulurkan sejauh-jauhnya sehingga kau jadi tercela penuh penyesalan” (QS al-Isra’:29).

 

Ibnu Katsir menafsirkan penggalan ayat tersebut sebagai larangan bersikap berlebih-lebihan atau boros dalam membelanjakan harta yang dimiliki.

 

Keempat, larangan bersikap pelit dan berlebihan dalam sedekah atau infaq juga ditegaskan dalam ayat yang lain sebagai berikut:

 

وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا.

 

Artinya, “Orang-orang yang bila memberi sumbangan tiada berlebih-lebihan dan tiada pula kikir, tapi bersikap antara keduanya’,” (QS al-Furqan:67).

 

Ibnu Katsir mengaitkan Ayat 29 dari Surat al-Isra’ dan Ayat 67 dari Surat Al-Furqon di atas sebagai ketegasan bahwa dalam membelanjakan harta hendaknya kita tidak terlalu pelit tetapi sekaligus juga tidak terlalu boros. Hendaklah kita mengambil sikap moderat, yakni antara pelit dan boros sehingga dicapai keseimbangan secara ekonomi.

 

Demikian nasihat Allamah Sayyid Abdullah bin Alawi al-Haddad yang sebaiknya kita perhatikan terkait dengan seberapa besar sebaiknya kita membelanjakan harta untuk keperluan sedekah atau infaq. Ukuran boros dan pelit bisa berbeda antara orang satu dengan orang lain, bergantung pada kemampuan ekonomi masing-masing. Oleh karena itu sikap tengah antara boros dan pelit juga bersifat subyektif sehingga masing-masing orang sesungguhnya yang paling tahu tentang hal itu berkaitan dengan dirinya, dan bukan orang lain yang lebih tahu. []

 

Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar