Gus Dur dan Negara Bukan-Bukan
Judul : Negara Bukan-Bukan: Prisma Pemikiran Gus Dur tentang Negara Pancasila
Penulis : Nur Khalik Ridwan
Penerbit : IRCiSoD
Cetakan : Pertama, April 2018
ISBN : 978-602-7696-29-7
Tebal : 255 halaman
Peresensi : Fathoni Ahmad, penulis buku "Islam Nusantara dalam Pemikiran KH Abdurrahman Wahid"
Pergolakan dalam membangun negara dengan segala sistemnya telah mewarnai bangsa Indonesia. Hal itu terlihat ketika sejumlah kelompok berupaya melakukan pemberontakan agar sistem yang menjadi cita-citanya diterapkan di Indonesia. Namun, berkat briliannya para pendiri yang bangsa yang pemikiran moderat dan terbuka membuat masyarakat Indonesia tetap bersatu sebagai sebuah negara bangsa dengan pondasi kokoh Pancasila.
Buku yang ditulis Nur Khalik Ridwan ini berusaha mengulas prisma pemikiran Gus
Dur tentang negara bangsa yang berlandaskan Pancasila. Penguatan negara bangsa
terus dilakukan oleh Gus Dur karena secara kultur dan kemajemukan, rakyat
Indonesia lebih tepat untuk hidup bersama yang diikat oleh konsensus
kebangsaan. Bukan negara agama, bukan juga negara yang memisahkan diri dari
agama (sekuler).
Karena Indonesia bukanlah negara agama tetapi negara orang-orang beragama dan
bukan pula negara sekuler, Almarhum KH Ahmad Hasyim Muzadi pernah melontarkan guyonan
bahwa negara Indonesia adalah ‘negara yang bukan-bukan’. Dari humor menggelitik
tapi penuh makna tersebut, Nur Khalik Ridwan berupaya melacaknya lewat
pemikiran-pemikiran Gus Dur tentang negara Pancasila.
Penulis buku menyadari bahwa masih ada sekelompok Muslim yang masih
mempersoalkan Pancasila. Gus Dur merupakan tokoh Muslim yang banyak
menginspirasi masyarakat Indonesia akan arti kebangsaan yang harus terus
dijaga, dirawat, dan dimajukan demi kehidupan kemanusiaan yang lebih luas. Gus
Dur bersama ulama-ulama pesantren juga menggagas penerimaan negara Pancasila di
kalangan Muslim serta bangsa Indonesia sambil memberi catatan-catatan dan isi
yang progresif.
Muktamar NU 1984 menjadi tonggak sejarah bagi NU, organisasi para kiai
pesantren ini untuk kembali ke Khittah 1926. NU menegaskan diri sebagai
Jami’yyah Diniyyah Ijtima’iyyah (organisasi sosial kegamaan) sesuai amanat
pendirian organisasi pada 1926, bukan lagi sebagai organisasi politik praktis.
Dalam Muktamar itu ada tiga komisi, salah satunya adalah komisi khittah yang
membahas paradigma, gagasan dasar, dan konsep hubungan Islam dan Pancasila. Dua
komisi lain membahas tentang keorganisasian yang dipimpin oleh Drs Zamroni dan
komisi AD/ART dipimpin oleh KH Tholhah Mansur. Dengan jumlah anggota rapat
komisi yang cukup banyak, mereka membahas secara terpisah di tempat yang
berbeda.
Gus Dur memimpin subkomisi yang merumuskan deklarasi hubungan Islam dan Pancasila.
Salah seorang cucu Hadhtrassyekh KH Muhammad Hasyim Asy’ari (1871-1947)
ini kemudian menunjuk lima orang kiai sebagai anggotanya, yaitu KH Ahmad
Mustofa Bisri dari Rembang, KH Hasan dari Medan, KH Zahrowi, KH Mukafi Makki,
dan dr Muhammad dari Surabaya.
Gus Dur membuka rapat dengan bertanya kepada anggotanya satu per satu soal
pendapatnya tentang hubungan Islam dan Pancasila. Mereka menyampaikan
pandangannya terhadap satu per satu sila dalam Pancasila disertai sejumlah
argumen keagamannya. Gus Dur mendengarkan dan menyimak dengan penuh perhatian.
Pada dasarnya, Pancasila menurut para kiai dalam subkomisi ini tidak
bertentangan dengan Islam, justru sebaliknya sejalan dengan nilai-nilai Islam.
“Pancasila itu Islami,” simpul mereka seperti diungkapkan Gus Mus.
Usai mereka menjawab, Gus Dur berkata, “Bagaimana jika ini (Pancasila itu
Islami, red) saja yang nanti kita sampaikan, kita deklarasikan di hadapan
sidang pleno Muktamar?” tanya Gus Dur. Tanpa pikir panjang, mereka setuju,
sepakat bulat, lalu rapat ditutup. “Al-Fatihah!” Menurut pengakuan Gus Mus,
kala itu Gus Dur tersenyum manis, ya manis sekali.
Lalu Gus Mus memberikan kesaksian, “Gus Dur hebat sekali. Rapat untuk sesuatu
yang mendasar dan pondasi bagi penataan relasi kehidupan berbangsa dan bernegara
hanya diputuskan dalam waktu 10 menit! Sementara komisi yang lain rapat sampai
berjam-jam bahkan hingga subuh untuk memutuskan pembahasan sesuai bidangnya
masing-masing.”
Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa Gus Dur melihat perlunya dikembangkan pemikiran
untuk mencari nilai-nilai dasar bagi kehidupan bangsa. Nilai-nilai dasar itu
bisa ditarik dari dua arah. Pertama, nilia-nilai agama dan kepercayaan, karena
ajaran agama akan tetap menjadi referensi umum bagi Pancasila.
Kedua, bisa juga dilihat dengan cara bahwa agama-agama dan
kepercayaan-kepercayaan harus memperhitungkan eksistensi Pancasila sebagai
‘polisi lalu lintas’ yang akan menjamin semua pihak bisa menggunakan jalan raya
kehidupan bangsa tanpa terkecuali. Selamat membaca! []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar