Tiga Kewajiban Bersama dalam Masa Pandemi Covid-19
Saat ini kita hidup dalam situasi pandemi virus Corona (Coronavirus disease 2019, Covid-19) yang telah menyebar di 216 negara. Pada tanggal 5 Juni 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merilis data bahwa di dunia lebih dari enam juta (6.727.527) orang terkonfirmasi (positif) Covid-19, yang mengakibatkan 393.648 meninggal dunia. Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 menyampaikan data bahwa di Indonesia sebanyak 29,521 orang terkonfirmasi; 9,443 sembuh, dan 1,770 meninggal dunia.
Dalam rangka menghadapi Covid-19, di banyak negara telah diterapkan lockdown, dan di beberapa
kota di Tanah Air diberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Saat
ini akan diberlakukan kebijakan new
normal (kenormalan baru) di beberapa kota tertentu, meskipun dalam
zona merah dan kuning penyebaran Covid-19, mencakup 120 kabupaten/kota dalam
zona hijau (aman/terkendali dari penyebaran virus ini). New normal adalah
tatanan kehidupan baru dalam melaksanakan kegiatan masyarakat produktif di
tengah pandemi Corona. Juga kebijakan membatalkan pemberangkatan calon jamaah
haji tahun ini, sebagaimana tertuang dalam Keputusan Menteri Agama RI, tanggal
2 Juni 2020, Nomor 494 Tahun 2020 tentang Pembatalan Keberangkatan Jemaah Haji
Pada Penyelenggaraan Ibadah Haji Tahun 1441 H/2020 M.
Inilah realitas yang mesti menjadi perhatian kita semua. Bagaimana kita
menghadapi situasi pandemi Covid-19 ini? Islam mengajarkan cara beragama
sejati, yaitu beragama yang membahagiakan, bukan yang memberat-beratkan, bukan
pula yang menimbulkan kecemasan, kepanikan dan ketakutan, bukan pula yang
meremeh-remehkan atau menganggap sepele pandemi ini, apalagi beragama yang
menimbulkan madarat atau mafsadat yang berdampak luas, mengancam kesehatan dan nyawa
manusia.
Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda, “Yassirû
wa-lâ tu‘assirû! (Permudahlah, janganlah kalian persulit!” Juga: Lâ dharara wa-lâ dhirâr! (Tidak
boleh berbuat yang membahayakan terhadap diri sendiri, dan/atau orang lain.”
Cara berislam kita yang membahagiakan ini sejatinya mengikuti teladan baik (uswah hasanah), yang
merupakan risalah Nabi Agung Muhammad SAW sebagai rahmat bagi semesta alam.
Dalam tataran praktisnya, beragama yang membahagiakan dalam konteks menghadapi
Covid-19 adalah dengan melaksanakan tiga kewajiban. Pertama, wajib ikhtiar (al-kasb), berdasarkan QS.
Al-Isra’ (17): 19 dan ar-Ra‘d (13): 11, yaitu berusaha maksimal dalam menghadapi
pandemi Covid-19, termasuk pula dalam kerangka New Normal. Ikhtiar dilakukan
dengan ikhtiar zahir dan ikhtiar batin secara disiplin. Ikhtiar zahir adalah
dengan mematuhi kebijakan pemerintah, seperti PSBB dan Protokol Kesehatan dalam
mencegah penyebaran Covid-19. Protokol Kesehatan mencakup social distancing (menghindari
kerumunan massa) dan physical
distancing (jaga jarak fisik antarsesama) terutama di tempat
keramaian, seperti mall dan pasar, melakukan pola hidup sehat dan bersih,
mencuci tangan dengan sabun dan hand
sanitizer. Termasuk pula tidak melaksanakan shalat jumat di masjid
sementara waktu, tetapi diganti dengan shalat zuhur di rumah masing-masing,
juga tidak melaksanakan shalat berjamaah lima waktu di masjid dan tidak
mengadakan aktivitas keagamaan lainnya, di daerah/zona kuning (kurang
aman/kurang terkendali dari penyebaran Covid-19), apalagi di zona merah. Juga
tidak melakukan tradisi bersalam-salaman sebagaimana biasa. Tentu saja perlu
dilakukan kerja sama dan sinergitas setiap orang dan semua pihak, untuk menjaga
kesehatan dan keselamatan diri, keluarga dan masyarakat (hifzun nafs) dari
Covid-19.
Adapun ikhitar batin adalah beribadah khusus atau tertentu, dimaksudkan sebagai
wasilah untuk keselamatan dari Covid-19, antara lain istighotsah dan doa tolak
bala, shalat hajat, tawasul membaca Shalawat Thibbil Qulûb dan syi’ir Lî
Khamsatun, serta menyembelih sapi atau kambing untuk disedekahkan, dengan tata
cara tertentu, sebagaimana ijazah KH. Abdul Hannan Ma’shum pengasuh Pondok
Pesantren Fathul Ulum Kwagean Kediri.
Mematuhi PSBB, Protokol Kesehatan, dan kebijakan terkait pencegahan dan
percepatan penanganan Covid-19 sebagai bentuk ikhtiar menghadapinya
pandemik ini, karena mengandung kemaslahatan, maka menjadi wajib. Hal ini
sejalan dengan statemen Syekh an-Nawawi al-Bantani (1230-1316 H/1813-1899 M),
ulama dunia asal Nusantara, dalam kitab Nihâyat
al-Zain (1971: 112):
إِذَا
أَمَرَ بِوَاجِبٍ تَأَكَّدَ وُجُوْبُهُ، وَإِذَا أَمَرَ بِمَنْدُوْبٍ وَجَبَ،
وَإِنْ أَمَرَ بِمُبَاحٍ: فَإِنْ كَانَ فِيْهِ مَصْلَحَةٌ عَامَّةٌ كَتَرْكِ
شُرْبِ الدُّخَانِ وَجَبَ، بِخِلَافِ مَا إِذَا أَمَرَ بِمُحَرَّمٍ أَوْ
مَكْرُوْهٍ أَوْ مُبَاحٍ لَا مَصْلَحَةَ فِيْهِ عَامَّةً.
Artinya: ”Apabila pemimpin suatu pemerintahan/negara memerintahkan perkara
wajib, maka kewajiban itu menjadi semakin kuat; jika memerintahkan perkara
sunnah, maka sesuatu yang sunah itu menjadi wajib; dan jika memerintahkan
perkara mubah--bila di dalamnya terdapat kemaslahatan publik--maka wajib
dipatuhi, seperti larangan merokok. Hal ini berbeda bila ia memerintahkan
perkara haram, makruh ataupun mubah yang tidak mengandung kemaslahatan publik,
maka tidak wajib dipenuhi.”
Kedua, wajib
tawakal, berdasarkan QS. Ali Imran (3): 159, dalam menghadapi pandemi Covid-19
dengan beribadah sepenuh hati kepada Allah Taala, menyerahkan segala ikhtiar
dan hasilnya kepada qadha dan qadar (takdir)-Nya. Mengenai tawakal ini, Syekh
Muhammad Amîn al-Kurdî (w. 1332 H), dalam kitab Tanwîr al-Qulûb (1995: 117, 419), menjelaskan
bahwa tawakal adalah
seseorang menghempaskan badannya beribadah kepada Tuhan dan menggantungkan hati
kepada rubûbiyyah (pemeliharaan)-Nya
serta merasa tenteram kepada apa yang sudah ada padanya, sehingga jika ia
diberi sesuatu yang diharapkan maka ia bersyukur, tetapi jika ia terhalang dari
(tidak diberi) sesuatu yang diharapkan itu maka ia bersabar.
Lanjutnya: ”Barangsiapa bertawakal (memasrahkan urusan setelah ikhtiar) kepada Allah, berserah diri kepada qadha’ (ketetapan)-Nya, dan menguasakan urusan kepada-Nya serta ridha (rela) terhadap takdir (ketentuan)-Nya, maka sungguh ia telah menegakkan agama, memperbagus keimanan dan keyakinannya, serta telah menyelesaikan tanggung jawab kedua tangan dan kedua kakinya untuk berbuat kebaikan, juga menegakkan akhlak mulia yang menjadikan baik urusan manusia. Sebaliknya, barangsiapa mencederai tawakalnya maka ia mencederai keimanannya, karena keimanan itu diiringi dengan tawakal.”
Ketiga, wajib
optimis atau penuh harap, berdasarkan QS. Az-Zumar (39): 53 dan Yusuf (12): 87,
setelah berikhtiar dan bertawakal, bahwa ikhtiarnya akan mencapai hasil yang
diharapkan, sehat walafiyat, dilindungi dan diselamatkan dari Covid-19. Imam
al-Ghazali (w. 505/1111) dalam Ihyâ’ (Juz IV: 139), mendefinisikan: ”Optimisme
(ar-rajâ’)
adalah tenteramnya hati (tidak panik) menanti sesuatu yang disenangi; tetapi
sesuatu yang disenangi itu mesti butuh sebab (ikhtiar): jika penantian
untuk keberhasilan ikhtiar yang dilakukan secara maksimal, maka itulah
optimisme sejati.” Maksudnya, optimisme sejati adalah sikap penuh harap yang benar,
bilamana seseorang tidak panik saat usaha mencapai sesuatu yang diharapkan,
dengan memenuhi berbagai ikhtiar dengan maksimal.
Urgensi optimisme ini diingatkan Sulthanul Ulama Syekh Ibn ‘Abd al-Salâm (w.660
H), dalam kitabnya Qawâ‘id
al-Ahkâm fî Mashâlih al-Anâm (1999, Juz II: 131): ”War-rajâ’ wasîlatun ilâth thâ‘âti
wahusnizh zhanni bir Rahmân (Optimisme adalah media berbuat
taat dan berprasangka baik kepada Allah Yang Maha Pengasih. Dalam konteks
pandemi Covid-19, bersikap optimis bahwa dengan ikhtiar dan tawakal maksimal
pandemi ini bisa dihadapi dengan baik, dan segera berlalu).
Tentu tiga kewajiban itu mesti dibungkus pula dengan kewajiban bersabar, karena
berbuat sabar itu, sebagaimana dikatakan Imam Al-Ghazali, dilakukan dalam semua
aspek, baik terkait sesuatu yang tidak disenangi atau tidak diharapkan, maupun
sesuatu yang disenangi ataupun sesuai dengan harapan (Ihyâ’, IV: 67-68). Allah
SWT mengingatkan: ”Bahwa barangsiapa membunuh seseorang, bukan karena orang itu
membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi, maka
seakan-akan dia telah membunuh semua manusia. Barangsiapa memelihara kehidupan
seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua
manusia.” (QS. Al-Ma’idah [5]: 32). Mengabaikan atau menentang PSBB dan
Protokol Kesehatan itu berarti membunuh orang secara tidak langsung, karena hal
itu membahayakan diri dan/atau orang lain, berarti pula seakan-akan membunuh
semua manusia. Memelihara kehidupan seseorang dengan menaati PSBB dan Protokol
Kesehatan berarti menjaga diri dan masyarakat dari bahaya, dan berarti pula
seakan-akan memelihara seluruh manusia.
Ayo tunaikan tiga kewajiban bersama: ikhitar, tawakal dan optimis disertai
kesabaran untuk kemaslahatan bersama, agar selamat dari Covid-19!. Semoga kita
sehat walafiyat selamat dari Covid-19, dan pandemi ini segera berlalu. Amîn. []
Ahmad Ali MD, pengurus Lembaga Dakwah PBNU; sekretaris Pergerakan Kiai dan Mubalig Nusantara (PKMNu)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar