Senin, 29 Juni 2020

(Ngaji of the Day) Tiga Kewajiban Bersama dalam Masa Pandemi Covid-19

Tiga Kewajiban Bersama dalam Masa Pandemi Covid-19

 

Saat ini kita hidup dalam situasi pandemi virus Corona (Coronavirus disease 2019, Covid-19) yang telah menyebar di 216 negara. Pada tanggal 5 Juni 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merilis data bahwa di dunia lebih dari enam juta (6.727.527) orang terkonfirmasi (positif) Covid-19, yang mengakibatkan 393.648 meninggal dunia. Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 menyampaikan data bahwa di Indonesia sebanyak 29,521 orang terkonfirmasi; 9,443 sembuh, dan 1,770 meninggal dunia. 


Dalam rangka menghadapi Covid-19, di banyak negara telah diterapkan lockdown, dan di beberapa kota di Tanah Air diberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Saat ini akan diberlakukan kebijakan new normal (kenormalan baru) di beberapa kota tertentu, meskipun dalam zona merah dan kuning penyebaran Covid-19, mencakup 120 kabupaten/kota dalam zona hijau (aman/terkendali dari penyebaran virus ini). New normal adalah tatanan kehidupan baru dalam melaksanakan kegiatan masyarakat produktif di tengah pandemi Corona. Juga kebijakan membatalkan pemberangkatan calon jamaah haji tahun ini, sebagaimana tertuang dalam Keputusan Menteri Agama RI, tanggal 2 Juni 2020, Nomor 494 Tahun 2020 tentang Pembatalan Keberangkatan Jemaah Haji Pada Penyelenggaraan Ibadah Haji Tahun 1441 H/2020 M.


Inilah realitas yang mesti menjadi perhatian kita semua. Bagaimana kita menghadapi situasi pandemi Covid-19 ini? Islam mengajarkan cara beragama sejati, yaitu beragama yang membahagiakan, bukan yang memberat-beratkan, bukan pula yang menimbulkan kecemasan, kepanikan dan ketakutan, bukan pula yang meremeh-remehkan atau menganggap sepele pandemi ini, apalagi beragama yang menimbulkan madarat atau mafsadat yang berdampak luas, mengancam kesehatan dan nyawa manusia. 


Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Yassirû wa-lâ tu‘assirû! (Permudahlah, janganlah kalian persulit!” Juga: Lâ dharara wa-lâ dhirâr! (Tidak boleh berbuat yang membahayakan terhadap diri sendiri, dan/atau orang lain.” Cara berislam kita yang membahagiakan ini sejatinya mengikuti teladan baik (uswah hasanah), yang merupakan risalah Nabi Agung Muhammad SAW sebagai rahmat bagi semesta alam. 


Dalam tataran praktisnya, beragama yang membahagiakan dalam konteks menghadapi Covid-19 adalah dengan melaksanakan tiga kewajiban. Pertama, wajib ikhtiar (al-kasb), berdasarkan QS. Al-Isra’ (17): 19 dan ar-Ra‘d (13): 11, yaitu berusaha maksimal dalam menghadapi pandemi Covid-19, termasuk pula dalam kerangka New Normal. Ikhtiar dilakukan dengan ikhtiar zahir dan ikhtiar batin secara disiplin. Ikhtiar zahir adalah dengan mematuhi kebijakan pemerintah, seperti PSBB dan Protokol Kesehatan dalam mencegah penyebaran Covid-19. Protokol Kesehatan mencakup social distancing (menghindari kerumunan massa) dan physical distancing (jaga jarak fisik antarsesama) terutama di tempat keramaian, seperti mall dan pasar, melakukan pola hidup sehat dan bersih, mencuci tangan dengan sabun dan hand sanitizer. Termasuk pula tidak melaksanakan shalat jumat di masjid sementara waktu, tetapi diganti dengan shalat zuhur di rumah masing-masing, juga tidak melaksanakan shalat berjamaah lima waktu di masjid dan tidak mengadakan aktivitas keagamaan lainnya, di daerah/zona kuning (kurang aman/kurang terkendali dari penyebaran Covid-19), apalagi di zona merah. Juga tidak melakukan tradisi bersalam-salaman sebagaimana biasa. Tentu saja perlu dilakukan kerja sama dan sinergitas setiap orang dan semua pihak, untuk menjaga kesehatan dan keselamatan diri, keluarga dan masyarakat (hifzun nafs) dari Covid-19. 


Adapun ikhitar batin adalah beribadah khusus atau tertentu, dimaksudkan sebagai wasilah untuk keselamatan dari Covid-19, antara lain istighotsah dan doa tolak bala, shalat hajat, tawasul membaca Shalawat Thibbil Qulûb dan syi’ir Lî Khamsatun, serta menyembelih sapi atau kambing untuk disedekahkan, dengan tata cara tertentu, sebagaimana ijazah KH. Abdul Hannan Ma’shum pengasuh Pondok Pesantren Fathul Ulum Kwagean Kediri.


Mematuhi PSBB, Protokol Kesehatan, dan kebijakan terkait pencegahan dan percepatan penanganan Covid-19 sebagai bentuk ikhtiar menghadapinya pandemik ini, karena mengandung kemaslahatan, maka menjadi wajib. Hal ini sejalan dengan statemen Syekh an-Nawawi al-Bantani (1230-1316 H/1813-1899 M), ulama dunia asal Nusantara, dalam kitab Nihâyat al-Zain (1971: 112): 


إِذَا أَمَرَ بِوَاجِبٍ تَأَكَّدَ وُجُوْبُهُ، وَإِذَا أَمَرَ بِمَنْدُوْبٍ وَجَبَ، وَإِنْ أَمَرَ بِمُبَاحٍ: فَإِنْ كَانَ فِيْهِ مَصْلَحَةٌ عَامَّةٌ كَتَرْكِ شُرْبِ الدُّخَانِ وَجَبَ، بِخِلَافِ مَا إِذَا أَمَرَ بِمُحَرَّمٍ أَوْ مَكْرُوْهٍ أَوْ مُبَاحٍ لَا مَصْلَحَةَ فِيْهِ عَامَّةً.


Artinya: ”Apabila pemimpin suatu pemerintahan/negara memerintahkan perkara wajib, maka kewajiban itu menjadi semakin kuat; jika memerintahkan perkara sunnah, maka sesuatu yang sunah itu menjadi wajib; dan jika memerintahkan perkara mubah--bila di dalamnya terdapat kemaslahatan publik--maka wajib dipatuhi, seperti larangan merokok. Hal ini berbeda bila ia memerintahkan perkara haram, makruh ataupun mubah yang tidak mengandung kemaslahatan publik, maka tidak wajib dipenuhi.” 


Kedua, wajib tawakal, berdasarkan QS. Ali Imran (3): 159, dalam menghadapi pandemi Covid-19 dengan beribadah sepenuh hati kepada Allah Taala, menyerahkan segala ikhtiar dan hasilnya kepada qadha dan qadar (takdir)-Nya. Mengenai tawakal ini, Syekh Muhammad Amîn al-Kurdî (w. 1332 H), dalam kitab Tanwîr al-Qulûb (1995: 117, 419), menjelaskan bahwa
tawakal adalah seseorang menghempaskan badannya beribadah kepada Tuhan dan menggantungkan hati kepada rubûbiyyah (pemeliharaan)-Nya serta merasa tenteram kepada apa yang sudah ada padanya, sehingga jika ia diberi sesuatu yang diharapkan maka ia bersyukur, tetapi jika ia terhalang dari (tidak diberi) sesuatu yang diharapkan itu maka ia bersabar.

 

Lanjutnya: ”Barangsiapa bertawakal (memasrahkan urusan setelah ikhtiar) kepada Allah, berserah diri kepada qadha’ (ketetapan)-Nya, dan menguasakan urusan kepada-Nya serta ridha (rela) terhadap takdir (ketentuan)-Nya, maka sungguh ia telah menegakkan agama, memperbagus keimanan dan keyakinannya, serta telah menyelesaikan tanggung jawab kedua tangan dan kedua kakinya untuk berbuat kebaikan, juga menegakkan akhlak mulia yang menjadikan baik urusan manusia. Sebaliknya, barangsiapa mencederai tawakalnya maka ia mencederai  keimanannya, karena keimanan itu diiringi dengan tawakal.”


Ketiga, wajib optimis atau penuh harap, berdasarkan QS. Az-Zumar (39): 53 dan Yusuf (12): 87, setelah berikhtiar dan bertawakal, bahwa ikhtiarnya akan mencapai hasil yang diharapkan, sehat walafiyat, dilindungi dan diselamatkan dari Covid-19. Imam al-Ghazali (w. 505/1111) dalam Ihyâ’ (Juz IV: 139), mendefinisikan: ”Optimisme (ar-rajâ’) adalah tenteramnya hati (tidak panik) menanti sesuatu yang disenangi; tetapi sesuatu yang disenangi itu mesti  butuh sebab (ikhtiar): jika penantian untuk keberhasilan ikhtiar yang dilakukan secara maksimal, maka itulah optimisme sejati.” Maksudnya, optimisme sejati adalah sikap penuh harap yang benar, bilamana seseorang tidak panik saat usaha mencapai sesuatu yang diharapkan, dengan memenuhi berbagai ikhtiar dengan maksimal. 


Urgensi optimisme ini diingatkan Sulthanul Ulama Syekh Ibn ‘Abd al-Salâm (w.660 H), dalam kitabnya Qawâ‘id al-Ahkâm fî Mashâlih al-Anâm (1999, Juz II: 131): ”War-rajâ’ wasîlatun ilâth thâ‘âti wahusnizh zhanni bir Rahmân (Optimisme adalah media berbuat taat dan berprasangka baik kepada Allah Yang Maha Pengasih. Dalam konteks pandemi Covid-19, bersikap optimis bahwa dengan ikhtiar dan tawakal maksimal pandemi ini bisa dihadapi dengan baik, dan segera berlalu).


Tentu tiga kewajiban itu mesti dibungkus pula dengan kewajiban bersabar, karena berbuat sabar itu, sebagaimana dikatakan Imam Al-Ghazali, dilakukan dalam semua aspek, baik terkait sesuatu yang tidak disenangi atau tidak diharapkan, maupun sesuatu yang disenangi ataupun sesuai dengan harapan (Ihyâ’, IV: 67-68). Allah SWT mengingatkan: ”Bahwa barangsiapa membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia. Barangsiapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia.” (QS. Al-Ma’idah [5]: 32). Mengabaikan atau menentang PSBB dan Protokol Kesehatan itu berarti membunuh orang secara tidak langsung, karena hal itu membahayakan diri dan/atau orang lain, berarti pula seakan-akan membunuh semua manusia. Memelihara kehidupan seseorang dengan menaati PSBB dan Protokol Kesehatan berarti menjaga diri dan masyarakat dari bahaya, dan berarti pula seakan-akan memelihara seluruh manusia. 


Ayo tunaikan tiga kewajiban bersama: ikhitar, tawakal dan optimis disertai kesabaran untuk kemaslahatan bersama, agar selamat dari Covid-19!. Semoga kita sehat walafiyat selamat dari Covid-19, dan pandemi ini segera berlalu. Amîn. []

 

Ahmad Ali MD, pengurus Lembaga Dakwah PBNU; sekretaris Pergerakan Kiai dan Mubalig Nusantara (PKMNu)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar