Penjelasan Al-Qur’an Mengenai Hijrah Hati
Dalam Mu’jam Lisanu al-Arab karya Ibnu Mandhur, juz 5 disampaikan bahwa hijrah
secara bahasa bermakna:
الخروج من الأرض إلى الأرض
Artinya: “Migrasi dari satu belahan bumi ke belahan bumi yang lain” (Ibn Mandhur, Lisan al-’Arab, Beirut: Dar Shadr, 1414 H: 5/250).
Makna leksikal di atas senada dengan bunyi firman Allah ﷻ:
فَخَرَجَ مِنْهَا خَائِفًا يَتَرَقَّبُ ۖ قَالَ رَبِّ نَجِّنِي مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
Artinya: “Maka keluarlah Musa dari kota itu dengan rasa takut, menunggu-nunggu sembari khawatir. Dia berdoa: ‘Ya Tuhanku, selamatkanlah aku dari kaum yang aniaya ini!” (QS Al-Qashash [28] : 21)
Ayat ini seolah juga menjelaskan bahwa migrasinya Nabi Musa 'alaihissalam dari kota Mesir ke kota Kanaan adalah juga merupakan peristiwa hijrah. Dalam ayat ini juga seolah digambarkan bahwa proses migrasinya Nabi Musa adalah didahului sebuah peristiwa yaitu ancaman dari Fir’aun dan bala tentaranya yang hendak membunuhnya. Sebagaimana hal ini disampaikan dalam firman Allah ﷻ dalam ayat sebelumnya:
وَجَاءَ رَجُلٌ مِّنْ أَقْصَى الْمَدِينَةِ يَسْعَىٰ قَالَ يَا مُوسَىٰ إِنَّ الْمَلَأَ يَأْتَمِرُونَ بِكَ لِيَقْتُلُوكَ فَاخْرُجْ إِنِّي لَكَ مِنَ النَّاصِحِينَ
Artinya: “Lalu datanglah seorang laki-laki dari tengah kota sambil berjalan. Dia berkata: Wahai Musa, sesungguhnya Fir’aun dan bala tentaranya sedang mencarimu hendak membunuhmu. Maka keluarlah (dari kota Mesir ini)! Sesungguhnya aku kepadamu termasuk orang yang memberi nasehat.” (QS Al-Qashash [28] : 20)
Di dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir disebutkan bahwa laki-laki yang datang dan memperingatkan Nabi Musa alaihissalam tersebut adalah seorang malaikat. Ia datang sembari membawa kuda dan menjadi penunjuk jalan.
Jadi, makna hijrah sebagaimana tergambar dalam dua ayat di atas, seolah-olah menunjuk pada pengertian ada sesuatu kekuatan zalim yang ditakuti sehingga memaksanya untuk melakukan migrasi dari suatu daerah ke daerah lain. Makna lain dari hijrah adalah selain karena tujuan “menjauhi” sebuah perbuatan, juga disebabkan karena tujuan mencari keselamatan diri dan jiwa, alih-alih selamat akhirat.
Untuk hijrah yang bermakna menjauhi sebuah perbuatan, dapat diketahui dari firman Allah ﷻ sebagai berikut:
مُسْتَكْبِرِينَ بِهِ سَامِرًا تَهْجُرُونَ
Artinya: “Dengan menyombongkan diri terhadap Al-Qur’an dan mengucapkan perkataan-perkataan keji terhadapnya (Al-Qur’an) pada waktu kamu bercakap-cakap di malam hari.” (QS Al-Mu’minun [23]: 67)
Dalam Terjemah Al-Qur’an versi Kementerian Agama RI, lafadh تهجرون diikatkan maknanya dengan kalimat سامرا . Arti leksikal dari سامرا adalah percakapan di malam hari. Sementara itu makna تهجرون bermakna “di saat kalian menjauhi”. Dengan demikian, bila dirangkai dalam satu rangkaian kalimat, maka seolah maksud dari ayat ini adalah “mereka membicarakan Al-Qur’an dengan perkataan-perkataan keji di malam hari saat kalian sedang tidak ada di sisi mereka.” Jika ditelusuri lebih jauh, makna ini tampaknya menemukan kesesuaian dengan yang disampaikan oleh Ibnu Katsir dalam Kitab Tafsir-nya. Ia sembari menukil sebuah riwayat tafsir dari Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh al-Nasai dan dimuat dalam Kitab Sunan-nya sebagai berikut:
عن ابن عباس أنه قال : إنما كره السمر حين نزلت هذه الآية : ( مستكبرين به سامرا تهجرون ) ، فقال : مستكبرين بالبيت ، يقولون : نحن أهله ، ( سامرا ) قال : يتكبرون [ ويسمرون فيه ، ولا ] يعمرونه ، ويهجرونه
Artinya: “Dari Ibnu Abbas radliyallahu anhuma, ia berkata: Sesungguhnya percakapan di malam hari amat dibenci saat turunnya ayat ini (مستكبرين به سامرا تهجرون). Lalu ia melanjutkan: “Mereka telah berlaku takkabur dengan baitullah. Mereka berkata: Kami adalah ahlinya.” Lalu terhadap makna (سامرا), Ibnu Abbas berkata: Mereka menyombongkan diri (dengan membicarakan di malam hari dalam baitullah, padahal mereka tiada pernah memakmurkannya), justru menjauhinya.” (Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir)
Makna hijrah dalam riwayat tafsir ini secara jelas menunjuk kepada pengertian menjauhi dan meninggalkan suatu perbuatan. Jika dirujuk ke konteks orang mukmin, maka perbuatan menjauhi dan meninggalkan ini sudah pasti ditujukan pada menjauhi dan meninggalkan perbuatan yang aniaya, sebagaimana digambarkan dalam ayat sebelum QS. Al-Mu’minun [23]: 67 ini, yaitu:
بَلْ قُلُوبُهُمْ فِي غَمْرَةٍ مِّنْ هَٰذَا وَلَهُمْ أَعْمَالٌ مِّن دُونِ ذَٰلِكَ هُمْ لَهَا عَامِلُونَ (63) حَتَّىٰ إِذَا أَخَذْنَا مُتْرَفِيهِم بِالْعَذَابِ إِذَا هُمْ يَجْأَرُونَ (64) لَا تَجْأَرُوا الْيَوْمَ ۖ إِنَّكُم مِّنَّا لَا تُنصَرُونَ (65) قَدْ كَانَتْ آيَاتِي تُتْلَىٰ عَلَيْكُمْ فَكُنتُمْ عَلَىٰ أَعْقَابِكُمْ تَنكِصُونَ (66)
Artinya: “Tetapi, hati mereka (orang-orang kafir) itu dalam kesesatan dari (memahami Al-Qur’an) ini, dan mereka mempunyai (kebiasaan banyak mengerjakan) perbuatan-perbuatan lain (buruk) yang terus mereka kerjakan (63) Sehingga apabila Kami timpakan siksaan kepada orang-orang yang hidup bermewah-mewah di antara mereka, seketika itu mereka berteriak-teriak meminta tolong (64) Janganlah kamu berteriak-teriak meminta tolong pada hari ini! Sungguh, kamu tidak akan mendapat pertolongan dari Kami (65) Sesungguhnya ayat-ayat-Ku (Al-Qur’an) selalu dibacakan kepada kamu, tetapi kamu selalu berpaling ke belakang (66)” (QS Al-Mu’minun [23]: 63-66).
Berbekal QS Al-Mu’minun [23] ayat 67, maka perbuatan yang hendak dijauhi melalui mekanisme hijrah, khususnya bagi kalangan mukmin adalah sebagai berikut:
1. Menjauhi perbuatan maksiat yang terus-menerus dan kesesatan (QS Al-Mu’minun [23]: 63)
2. Hidup bermewah-mewahan tanpa mau untuk bersikap prihatin sehingga ketika ditimpa cobaan, mengeluh seolah telah mendapat musibah dari Allah ﷻ (QS Al-Mu’minun [23]: 64)
3. Jika ingin Allah ﷻ menolong kita, maka seyogianya kita menolong agamanya Allah ﷻ di kala waktu senggang. (QS Al-Mu’minun [23]: 65)
4. Hendaknya hati seorang mukmin senantiasa mau membaca Al-Qur’an dan mengamalkannya dalam kehidupan.
5. Semua upaya ini mutlak harus dilakukan oleh seorang mukmin meskipun harus berkorban dengan meninggalkan wilayah atau harta yang dimiliki, manakala tidak memungkinkan diri untuk melakukan dakwah, sebagaimana tergambar dari QS Al-Qashash [28] : 21.
Inilah gambaran dari hijrah yang bermakna menjauhi dan meninggalkan. Perbuatan yang ditinggalkan adalah perbuatan jelek, berbuat maksiat terus-menerus dan dalam kesesatan. Perbuatan dan kondisi yang dituju adalah antitesa dari perbuatan tersebut, yaitu perbuatan baik, senantiasa berlaku taat dan dalam bingkai petunjuk. Semua itu bisa didapat jikalau sosok Muslim ini mau senantiasa menjadikan Al-Qur’an sebagai petunjuk. Wallahu a’lam bish shawab. []
Ustadz Muhammad Syamsudin, Wakil Sekretaris Bidang Maudlu’iyah - LBMNU PWNU Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar