Shalat Malam tapi Shalat Subuh Kesiangan?
Shalat di malam hari merupakan salah satu amaliyah yang sangat dianjurkan oleh syariat. Cukup banyak shalat sunnah yang dapat dilakukan di malam hari, misalnya shalat witir, shalat tahajud, shalat tasbih, dan berbagai macam shalat sunnah lainnya. Mengenai hal ini, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an:
وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَاماً مَحْمُوداً
“Dan pada sebagian malam, lakukanlah shalat tahajud (sebagai suatu ibadah) tambahan bagimu, mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji” (QS. Al-Isra’, Ayat: 79)
Lantas apakah shalat di malam hari masih dianjurkan jika ternyata akan mengakibatkan shalat subuh yang wajib dilakukan oleh seseorang menjadi terbengkalai?
Kejadian demikian pernah dialami Sulaiman bin Abi Hatsmah, salah satu sahabat Nabi yang istiqamah melaksanakan shalat malam dan shalat subuh berjamaah dengan sahabat Umar bin Khattab. Pernah pada suatu ketika, Umar bin Khattab tidak melihat Sulaiman bin Abi Hatsmah melaksanakan shalat subuh berjamaah seperti biasanya, hingga akhirnya beliau menanyakan perihal ini kepada ibu Sulaiman yang bernama Syifa’.
Ibu Sulaiman menerangkan bahwa Sulaiman tertidur karena semalam suntuk melaksanakan shalat malam. Mendengar hal tersebut Umar bin Khattab menegurnya dan mengatakan bahwa melaksanakan shalat subuh berjamaah lebih utama daripada melaksanakan shalat malam tapi akan berakibat pada tidak melaksanakan shalat subuh.
Kisah tersebut tercantum dalam kitab al-Muwattha’ karya Imam Malik bin Anas:
أن عمر بن الخطاب فقد سليمان بن أبى حثمة في صلاة الصبح. وأن عمر بن الخطاب غدا إلى السوق ومسكن
سليمان بين السوق والمسجد النبوى. فمر على الشفاء، أم سليمان. فقال لها: لم أر سليمان في الصبح. فقالت: إنه بات يصلى، فغلبته عيناه. فقال عمر: لان أشهد صلاة الصبح في الجماعة، أحب إلي من أن أقوم ليلة
“Umar bin Khattab tidak melihat Sulaiman bin Abi Hatsmah pada saat shalat subuh, lalu Umar bin Khattab berangkat menuju pasar dan berkunjung ke kediaman Sulaiman yang berada di antara pasar dan masjid Nabawi. Umar bin Khattab bertemu Syifa’ yang tak lain adalah ibu Sulaiman, lalu beliau berkata, ‘Aku tidak melihat Sulaiman saat shalat subuh.’ Ibu Sulaiman berkata, ‘Ia terjaga semalam melakukan shalat, lalu matanya terlelap (hingga tidak shalat subuh)’.”
Umar bin Khattab lalu berkata, ‘Sungguh aku lebih suka terjaga dan melaksanakan shalat subuh dengan berjamaah, daripada aku terjaga untuk shalat di malam hari” (Imam Malik bin Anas, al-Muwattha’, juz 1, hal. 291).
Mengenai makna “matanya terlelap” (ghalabathu ‘ainahu) Imam al-Mubarakfuri menjelaskan dalam kitabnya, Mir’ah al-Mafatih dengan mengutip pendapat dari Imam al-Baji:
قال الباجي: الظاهر أنه نام فلم يستيقظ وقت الصلاة. ويحتمل أن يكون معنى غلبتهما له عن بلغ منه النوم مبلغاً لا يمكنه الصلاة معه ، فنام عن صلاة الجماعة- انتهى.
“Imam al-Baji berkata, ‘Makna secara lahir, Sulaiman tertidur dan tidak bangun pada saat waktu shalat. Dan terdapat kemungkinan makna matanya terlelap adalah Sulaiman tertidur pada waktu yang tidak mungkin melaksanakan shalat bersama Sahabat Umar bin Khattab, maka ia tertidur meninggalkan shalat jamaah” (Syekh Abi al-Hasan ‘Ubaidillah al-Mubarakfuri, Mir’ah al-Mafatih, juz 3, hal. 1069)
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa lebih utama bagi seseorang
untuk lebih mengutamakan melaksanakan shalat subuh pada waktunya daripada
melaksanakan shalat malam tapi akan berakibat pada terbengkalainya shalat
subuh. Rasulullah dalam salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Sahabat
‘Abdullah bin Mas’ud menjelaskan:
سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْأَعْمَالِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ قَالَ الصَّلَاةُ عَلَى وَقْتِهَا
“Aku bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Amal apakah yang paling dicintai oleh Allah?’ Rasulullah menjawab: ‘Melaksanakan shalat pada waktunya’” (HR Bukhari Muslim).
Terlebih jika seseorang melaksanakan shalat subuh dilakukan dengan berjamaah maka seolah-olah ia seperti menghidupkan seluruh malam. Hal ini seperti dijelaskan dalam hadits:
مَنْ صَلَّى الْعِشَاءَ فِى جَمَاعَةٍ كَانَ كَقِيَامِ نِصْفِ لَيْلَةٍ ، وَمَنْ صَلَّى الْفَجْرَ فِى جَمَاعَةٍ كَانَ كَقِيَامِ لَيْلَةٍ
“Barangsiapa yang melaksanakan shalat isya’ berjamaah maka ia seperti telah menghidupkan (shalat sunnah) separuh malam. Dan barangsiapa yang melaksanakan shalat subuh berjamaah maka ia seperti telah menghidupkan seluruh malam” (HR Baihaqi).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa melaksanakan shalat subuh pada waktunya merupakan hal yang lebih utama daripada melaksanakan shalat di malam hari tapi akan berakibat pada terbengkalainya shalat subuh, sehingga tidak bisa melaksanakan shalat subuh pada waktu yang telah ditentukan. Hal ini sesuai pula dengan salah satu kaidah fiqih al-fardlu afdlalu min an-nafli (amalan fardhu lebih utama dari amalan sunnah).
Penting bagi kita yang hendak memperbanyak ibadah kepada Allah untuk pandai mengatur waktu. Menunaikan perbuatan sunnah adalah hal yang mulia tapi mesti tetap memperhatikan terlaksananya ibadah fardhu secara sempurna. Jika ibadah sunnah ternyata mengganggu atau mengorbankan ibadah fardhu, seyogianya kita memprioritaskan pelaksanaan ibadah fardhu. Wallahu a’lam. []
Ustadz M. Ali Zainal Abidin, Pengajar di Pondok Pesantren Annuriyah, Kaliwining, Rambipuji, Jember
Tidak ada komentar:
Posting Komentar