Senin, 25 Juni 2018

Zuhairi: Kolektivitas dan Nasionalisme Arab di Piala Dunia


Kolektivitas dan Nasionalisme Arab di Piala Dunia
Oleh: Zuhairi Misrawi

Nasib negara-negara Timur-Tengah yang berlaga di Piala Dunia 2018 sungguh tidak beruntung. Arab Saudi, Mesir, dan Maroko harus angkat koper terlebih dahulu di babak penyisihan, setelah mengalami kekalahan beruntun. Cilakanya, negara-negara yang tersingkir duluan adalah negara-negara Arab!

Arab Saudi kalah dari Rusia dan Uruguay. Mesir yang berada dalam satu grup dengan Arab Saudi juga mengalami kekalahan yang sama dari Rusia dan Uruguay. Mesir masih bisa melesakkan satu gol ke gawang Rusia melalui kaki Mohamed Saleh dari titik pinalti. Sedangkan Maroko harus angkat kaki secara terhormat setelah keok dari Iran dan Portugal dalam pertandingan yang menekan dan menghibur. Gol bunuh diri pemain Maroko ke gawang Iran telah memupuskan peluang lolos ke babak selanjutnya.

Kini tersisa Tunisia yang dalam pertandingan pertama mengalami kekalahan dari Inggris. Lawan-lawan selanjutnya Belgia dan Panama juga terbilang tangguh. Secara matematis, sulit rasanya bagi Tunisia untuk lolos ke babak selanjutnya. Butuh keajaiban untuk meraih kemenangan atas Belgia yang bertabur pemain bintang. Panama juga bukan tim mudah dikalahkan oleh Tunisia.

Iran sebagai negara yang berada di kawasan negara-negara Arab juga tidak mudah untuk lolos ke babak selanjutnya. Setelah mengalami kekalahan dari Spanyol, Iran harus memenangkan pertandingan dengan Portugal. Itu pun dengan catatan Maroko dapat mengalahkan Spanyol. Hitung-hitungan di atas kertas, peluang Iran juga sangat kecil untuk lolos ke babak selanjutnya.

Secara umum tidak ada kejutan yang dipertontonkan oleh tim-tim dari Timur-Tengah. Harapan terbesar sebenarnya pada Mesir yang memiliki pemain bertabur bintang di Liga-Liga Eropa, seperti Ahmad Higazi, Ramadan Subhi, Warda, El Nenny, dan Mohamed Salah. Cidera Mohamed Salah dalam final Piala Champion saat melawan Real Madrid telah menjadi duka bagi Mesir dan Dunia Arab. Salah tidak bisa tampil prima di Piala Dunia 2018.

Meskipun demikian, satu hal yang mengagumkan bahwa penampilan tim negara-negara Arab tidak terlalu mengecewakan, karena mereka mampu memberikan perlawanan terhadap tim negara-negara Eropa dan Amerika Latin. Permainan Mesir, Maroko, Tunisia, dan Iran sangat mengagumkan. Hanya Arab Saudi yang mengalami kekalahan telak dari Rusia, 0-5, dalam laga pembukaan Piala Dunia 2018 yang ditonton langsung oleh Presiden Putin dan Putera Mahkota Mohammad bin Salman. Laga Arab Saudi melawan Uruguay tidak terlalu mengecewakan, karena berhasil menekan barisan pertahanan lawan.

Di tengah gejolak politik yang penuh karut-marut, tidak ada yang bisa dibanggakan dari negara-negara Arab. Konflik yang berlarut-larut telah menciptakan "psikologi kegagalan" bagi warga Arab. Mereka membutuhkan energi baru untuk bangkit dari keterpurukan dan fakir optimisme.

Satu-satunya harapan yang mampu membangkitkan optimisme adalah sepakbola. Ikon mereka adalah Mohamed Salah yang namanya bersinar di Liga Inggris dan pentas Eropa, bahkan dunia. Salah dapat menjadi oase di tengah dahaga dan konflik yang tidak berkepanjangan. Slogan kulluna Mohammad Salah, Kami semua Mohamed Salah, menggema di seantero dunia Arab.

Hampir seluruh dunia Arab mengelu-elukan Mohamed Salah sebagai idola baru dunia Arab. Mereka melihat sepakbola sebagai instrumen yang dapat membangun kebanggaan dan kecintaan pada negeri mereka. Mereka sudah lama terpecah-belah, baik karena faktor eksternal geopolitik maupun faktor internal politik. Sepakbola dapat mempersatukan negara-negara Arab, bahwa masih ada harapan yang dapat mengangkat harkat dan martabat mereka sebagai sebuah kawasan yang mempunyai sejarah peradaban besar.

Philips K. History dalam The History of Arabs menjelaskan secara panjang lebar tentang keagungan peradaban Arab yang mampu melahirkan peradaban agama-agama samawi yang telah menginspirasi dunia. Tanpa Arab sulit rasanya warga dunia dapat merasakan ajaran suci dari agama-agama samawi.

Maka dari itu, warga Arab menatap Piala Dunia 2018 dengan saksama. Mereka berharap ada kejutan yang mampu menggairahkan kembali mimpi-mimpi dunia Arab untuk bangkit dari keterpurukan dan bisa sejajar dengan negara-negara lainnya. Mereka berharap sepakbola dapat menghadirkan kembali imajinasi masa lalu untuk melahirkan imajinasi tentang masa depan.

Namun, semua itu tidak mudah karena Piala Dunia 2018 belum memberikan keberuntungan bagi negara-negara Arab. Tim-tim yang lolos ke putaran final Piala Dunia: Mesir, Arab Saudi, Maroko, Tunisia, dan Iran belum mampu menembus tembok besar tim-tim Eropa dan Amerika Latin. Justru tim-tim Asia, seperti Korea Selatan dan Jepang justru mampu menampilkan permainan yang atraktif dan mampu menekan lawan.

Memang tidak mudah melawan tim-tim Eropa dan Amerika Latin yang bertaburan pemain bintang. Tapi, pertandingan di Piala Dunia merupakan instrumen untuk menunjukkan kolektivitas dan nasionalisme. Meksiko, Islandia, dan Sinegal merupakan negara-negara yang telah menunjukkan betapa nasionalisme dan kolektivitas menjadi kekuatan besar untuk menaklukkan negara-negara yang adidaya dalam sepakbola.

Sepakbola bukan hanya sekadar olahraga, melainkan juga alat perjuangan untuk memupuk solidaritas kebangsaan dan kebangkitan sebuah bangsa. Seluruh bola mata menyoroti perhelatan Piala Dunia 2018 di Rusia. Dan, karenanya setiap negara yang berhasil lolos ke putaran final Piala Dunia 2018 akan menunjukkan permainan terbaiknya demi membela negara mereka.

Negara-negara Arab telah menunjukkan permainan terbaiknya, meski mereka pulang dengan kecewa karena belum mampu memenangkan pertandingan di babak putaran pertama. Mereka mesti meningkatkan kualitas permainan pada perhelatan Piala Dunia 2022 yang akan digelar di Qatar.

Pada Piala Dunia 2022 nanti, negara-negara Arab harus menjadikan momentum kebangkitan dan persatuan. Hanya sepakbola yang mampu menyelamatkan mereka dari kubangan pesimisme. Dalam sepakbola banyak pelajaran yang bisa dipetik. Setidak-tidaknya, negara-negara Arab membutuhkan solidaritas dan persatuan di antara sesama. Mereka tidak bisa terus-menerus terjebak dalam kubangan konflik. []

DETIK, 21 Juni 2018
Zuhairi Misrawi | Intelektual muda Nahdlatul Ulama, analis pemikiran dan politik Timur-Tengah di The Middle East Institute Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar