Menghafal atau Membaca
Mushaf Al-Qur’an yang Lebih Utama?
Membaca Al-Qur’an bernilai ibadah. Nabi
menyebutkan bahwa pembacanya mendapat sepuluh kebaikan untuk setiap hurufnya.
Al-Qur’an pun menjadi kitab suci yang dihafal, terlebih untuk ibadah shalat
karena setidaknya seorang Muslim perlu menghafal surat al-Fatihah dan beberapa
surat pendek untuk menambah keutamaan shalat.
Menghafal Al-Qur’an hingga 30 juz tentu
sebuah kemuliaan. Dengan menghafal Al-Qur’an, seorang Muslim diharapkan lebih
memahami pesan keagamaan di dalamnya. Selain itu, banyak sekali hadis Nabi
maupun petuah ulama yang menyebutkan bahwa menghafalkan Al-Qur’an mendapat
suatu kelebihan dibanding yang tidak menghafalkan.
Terlepas dari semua itu, manakah yang lebih
mulia, membacanya dengan cara hafalan atau bil ghaib, atau dengan cara melihat
mushaf yang populer disebut bin nazhar?
Imam Jalaludin As Suyuthi mencatat tentang
hal ini dalam kitabnya al-Itqân fi ‘Ulûmil Qur’ân. Sebagai satu kitab populer
dalam kajian ilmu Al-Qur’an, Imam As-Suyuthi menyebutkan bahwa tujuan membaca Al-Qur’an
yang paling utama itu adalah memahami dan men-tadabburi (merenungi) maknanya.
Moco Al-Qur’an angen-angen sak maknane, sebagaimana dalam syair populer Tombo
Ati.
Tentu saja bagi penghafal ataupun pembaca
Al-Qur’an dengan mushaf, hal ini patut diperhatikan. Imam As Suyuthi lebih
mengutamakan membaca secara bin nazhar daripada bil ghaib. Dengan membaca
mushaf, menurut Imam As-Suyuthi, seseorang bisa memerhatikan betul huruf-huruf
yang ada, sehingga tujuan tadabbur dan memahami makna Al-Qur’an ini bisa
tercapai.
الْقِرَاءَةُ
فِي الْمُصْحَفِ أَفْضَلُ مِنَ الْقِرَاءَةِ مِنْ حِفْظِهِ لِأَنَّ النَّظَرَ
فِيهِ عِبَادَةٌ مَطْلُوبَةٌ.
“Membaca Al-Qur’an di mushaf itu lebih utama
dari membacanya secara hafalan karena ketika melihatnya terdapat nilai ibadah
tersendiri yang dicari.”
Kendati begitu, Imam an-Nawawi dalam kitabnya
al-Adzkâr memberikan jalan tengah bahwa keutamaan membaca mushaf secara
langsung atau secara hafalan tergantung masing-masing personal.
وَلَوْ
قِيلَ إِنَّهُ يَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ الْأَشْخَاصِ فَيُخْتَارُ الْقِرَاءَةُ
فِيهِ لِمَنِ اسْتَوَى خُشُوعُهُ وَتَدَبُّرُهُ فِي حَالَتَيِ الْقِرَاءَةِ فِيهِ
وَمِنَ الْحِفْظِ وَيُخْتَارُ الْقِرَاءَةُ مِنَ الْحِفْظِ لِمَنْ يَكْمُلُ
بِذَلِكَ خُشُوعُهُ وَيَزِيدُ عَلَى خُشُوعِهِ وَتَدَبُّرِهِ لَوْ قَرَأَ مِنَ
الْمُصْحَفِ لَكَانَ هَذَا قَوْلًا حَسَنًا.
“Bagi orang yang menyatakan bahwa keutamaan
cara membaca itu berbeda tergantung tiap orang, maka hendaknya orang yang
mengetahui bahwa ia akan lebih khusyuk dan mudah bertadabbur dengan membaca
mushaf secara langsung. Bagi yang membaca Al-Qur’an secara hafalan, dan lebih
sempurna khusyuk dan tadabbur-nya, maka hendaknya membaca secara hafalan. Tapi
jika orang yang menghafal ini membaca mushaf secara langsung, maka itu juga
termasuk sesuatu yang baik.
Dari keterangan di atas, tentu hal yang
penting adalah merutinkan membaca Al-Qur’an. Hafalan atau bin nazhar,
tergantung dari kemampuan dan kesempatan masing-masing. Setelah bisa membaca,
tentu seseorang berusaha semampunya dan sesempatnya, untuk mempelajari
maknanya. Semoga Al-Qur’an menjadi penolong kita kelak. Wallahu a’lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar