Senin, 25 Juni 2018

(Ngaji of the Day) Menghafal atau Membaca Mushaf Al-Qur’an yang Lebih Utama?


Menghafal atau Membaca Mushaf Al-Qur’an yang Lebih Utama?

Membaca Al-Qur’an bernilai ibadah. Nabi menyebutkan bahwa pembacanya mendapat sepuluh kebaikan untuk setiap hurufnya. Al-Qur’an pun menjadi kitab suci yang dihafal, terlebih untuk ibadah shalat karena setidaknya seorang Muslim perlu menghafal surat al-Fatihah dan beberapa surat pendek untuk menambah keutamaan shalat.

Menghafal Al-Qur’an hingga 30 juz tentu sebuah kemuliaan. Dengan menghafal Al-Qur’an, seorang Muslim diharapkan lebih memahami pesan keagamaan di dalamnya. Selain itu, banyak sekali hadis Nabi maupun petuah ulama yang menyebutkan bahwa menghafalkan Al-Qur’an mendapat suatu kelebihan dibanding yang tidak menghafalkan.


Terlepas dari semua itu, manakah yang lebih mulia, membacanya dengan cara hafalan atau bil ghaib, atau dengan cara melihat mushaf yang populer disebut bin nazhar?

Imam Jalaludin As Suyuthi mencatat tentang hal ini dalam kitabnya al-Itqân fi ‘Ulûmil Qur’ân. Sebagai satu kitab populer dalam kajian ilmu Al-Qur’an, Imam As-Suyuthi menyebutkan bahwa tujuan membaca Al-Qur’an yang paling utama itu adalah memahami dan men-tadabburi (merenungi) maknanya. Moco Al-Qur’an angen-angen sak maknane, sebagaimana dalam syair populer Tombo Ati.

Tentu saja bagi penghafal ataupun pembaca Al-Qur’an dengan mushaf, hal ini patut diperhatikan. Imam As Suyuthi lebih mengutamakan membaca secara bin nazhar daripada bil ghaib. Dengan membaca mushaf, menurut Imam As-Suyuthi, seseorang bisa memerhatikan betul huruf-huruf yang ada, sehingga tujuan tadabbur dan memahami makna Al-Qur’an ini bisa tercapai.

الْقِرَاءَةُ فِي الْمُصْحَفِ أَفْضَلُ مِنَ الْقِرَاءَةِ مِنْ حِفْظِهِ لِأَنَّ النَّظَرَ فِيهِ عِبَادَةٌ مَطْلُوبَةٌ.

“Membaca Al-Qur’an di mushaf itu lebih utama dari membacanya secara hafalan karena ketika melihatnya terdapat nilai ibadah tersendiri yang dicari.”

Kendati begitu, Imam an-Nawawi dalam kitabnya al-Adzkâr memberikan jalan tengah bahwa keutamaan membaca mushaf secara langsung atau secara hafalan tergantung masing-masing personal.

وَلَوْ قِيلَ إِنَّهُ يَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ الْأَشْخَاصِ فَيُخْتَارُ الْقِرَاءَةُ فِيهِ لِمَنِ اسْتَوَى خُشُوعُهُ وَتَدَبُّرُهُ فِي حَالَتَيِ الْقِرَاءَةِ فِيهِ وَمِنَ الْحِفْظِ وَيُخْتَارُ الْقِرَاءَةُ مِنَ الْحِفْظِ لِمَنْ يَكْمُلُ بِذَلِكَ خُشُوعُهُ وَيَزِيدُ عَلَى خُشُوعِهِ وَتَدَبُّرِهِ لَوْ قَرَأَ مِنَ الْمُصْحَفِ لَكَانَ هَذَا قَوْلًا حَسَنًا.

“Bagi orang yang menyatakan bahwa keutamaan cara membaca itu berbeda tergantung tiap orang, maka hendaknya orang yang mengetahui bahwa ia akan lebih khusyuk dan mudah bertadabbur dengan membaca mushaf secara langsung. Bagi yang membaca Al-Qur’an secara hafalan, dan lebih sempurna khusyuk dan tadabbur-nya, maka hendaknya membaca secara hafalan. Tapi jika orang yang menghafal ini membaca mushaf secara langsung, maka itu juga termasuk sesuatu yang baik.

Dari keterangan di atas, tentu hal yang penting adalah merutinkan membaca Al-Qur’an. Hafalan atau bin nazhar, tergantung dari kemampuan dan kesempatan masing-masing. Setelah bisa membaca, tentu seseorang berusaha semampunya dan sesempatnya, untuk mempelajari maknanya. Semoga Al-Qur’an menjadi penolong kita kelak. Wallahu a’lam. []

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar