Kisah Nabi Muhammad
Pertama Kali Mendapatkan Malam Lailatul Qadar
Malam lailatul qadar
adalah malam datangnya keberkahan dan kemuliaan (QS Al-Qadr: 1). Malam yang
lebih baik dari 1000 bulan (QS Al-Qadr: 3) ini memberikan jaminan kebaikan
secara berkesinambungan di mana malaikat turun ke bumi melimpahkan segala
kemuliaan dari Allah SWT bagi hamba yang dikehendaki-Nya.
Kemuliaan
berkesinambungan tersebut dinyatakan dalam salah satu ayat Al-Qur’an berbunyi,
Tanazzalul malaikat war ruh (QS Al-Qadr: 4). Kata Tanazzalul adalah bentuk yang
mengandung arti kesinambungan, atau terjadinya sesuatu pada masa kini dan masa
datang. (M. Quraish Shihab, 1999).
Malam yang hadir pada
sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan dan menurut beberapa riwayat jatuh pada
tanggal-tanggal ganjil ini menuntut kesiapan dari manusianya itu sendiri untuk
mendapatkan malam lailatul qadar.
Artinya, apabila jiwa
telah siap, kesadaran telah tumbuh dan bersemi, dan lailatul qadar datang
menemui seseorang, ketika itu malam kehadirannya menjadi saat qadar, dalam arti
saat menentukan bagi perjalanan sejarah hidupnya di masa-masa mendatang.
Saat itu bagi seorang
hamba adalah saat titik tolak guna meraih kemuliaan dan kejayaan hidup di dunia
dan di akhirat kelak. Sejak saat itu pula malaikat akan turun guna menyertai
dan membimbingnya menuju kebaikan sampai terbit fajar kehidupannya yang baru
kelak di hari kemudian.
Saat-saat menentukan
dan mengubah seluruh kehidupan Nabi Muhammad dan umatnya ialah ketika beliau
menyendiri di Gua Hira. Saat itu merupakan momen pertama kali Nabi SAW
menemukan malam lailatul qadar. Ketika jiwa beliau telah mencapai kesuciannya,
turunlah Al-Ruh (Jibril) membawa ajaran dan membimbing Nabi sehingga terjadilah
perubahan total dalam perjalanan hidup beliau bahkan perjalanan hidup umat
manusia.
Sekilas dari kisah
Nabi di atas, lailatul qadar tidak mungkin akan diraih kecuali oleh orang-orang
tertentu saja. Malam lailatul qadar diraih oleh manusia ketika dia telah siap
dengan segala kebaikan dan kemuliaan hatinya. Jadi, hadirnya malam yang akan
mengubah perjalanan hidup seorang tersebut menuntut peran aktif manusia dalam
beramal, beribadah, melakukan kebaikan untuk semua manusia, dan menyucikan
jiwanya.
Tamsil dari datangnya
malam yang mulia tersebut dapat dijelaskan yaitu ketika ada tamu agung yang
berkunjung ke satu tempat tidak akan menemui setiap orang di lokasi itu,
walaupun setiap orang di tempat itu mendambakannya. Bukankah ada orang yang
sangat rindu atas kedatangan kekasih, namun ternyata sang kekasih tak sudi
mampir menemuinya?
Demikian juga dengan
lailatul qadar. Itu sebabnya bulan Ramadhan menjadi bulan kehadirannya, karena
bulan ini adalah bulan penyucian jiwa. Sebab itu, diduga oleh Rasulullah
lailatul qadar datang pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan.
Karena ketika itu,
diharapkan jiwa manusia yang berpuasa selama dua puluh hari sebelumnya telah
mencapai satu tingkat kesadaran dan kesucian yang memungkinakan malam mulia itu
berkenan mampir menemuinya. Itu pula sebabnya Nabi SAW menganjurkan sekaligus
mempraktikkan i’tikaf (berdiam diri dan merenung di masjid) pada sepuluh hari
terakhir pada bulan Ramadhan. Wallahu a’lam bisshowab. ***
Disarikan dari M.
Quraish Shihab dalam buku karyanya ”Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran
Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat.” (Mizan, 1999).
[]
(Fathoni Ahmad)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar