Meraih Kebahagiaan
Oleh: Yudi Latif
Pada titik ini, saat pengujung bulan puasa bersinggungan dengan
bulan Pancasila, pertanyaan reflektif patut kita ajukan: apa sesungguhnya yang
kita kejar dengan beragama dan bernegara? Adalah psikolog William James yang
menyatakan bahwa ”motif terdasar dari seluruh tindakan manusia adalah mengejar kebahagiaan”.
Sejumlah pemikir menahbiskan kebahagiaan sebagai kebajikan
terluhur. Dari masa Yunani purba, kita dapati Epicurus yang menyatakan bahwa
kebahagiaan adalah satu-satunya tujuan hidup. Pada akhir abad ke-18, filsuf
Inggris, Jeremy Bentham, mendefinisikan kebajikan terluhur sebagai kebahagiaan
terbesar dari jumlah terbesar (the greatest happiness of the greatest number).
Ia pun menyimpulkan bahwa satu-satunya tujuan berharga dari negara, pasar, dan
komunitas keilmuan adalah untuk meningkatkan kebahagiaan global.
Tentu ada pihak-pihak yang berseberangan dengan pandangan
tersebut. Sebagian menuduhnya sebagai paham hedonis yang serba duniawi. Namun,
dalam perkembangan terkini, paham tersebut menjadi anutan yang meluas.
Relevansinya kian menguat manakala dunia terpanggang api kesumat dan kebencian.
Jutaan manusia mengalami kekeringan jiwa dan kekosongan makna hidup. Jumlah
orang yang mati karena bunuh diri lebih banyak daripada korban perang. Jumlah
orang mati karena ”kekenyangan” lebih banyak daripada orang mati karena
kelaparan. Dalam dunia yang kering kerontang seperti itu, ”kebahagiaan” menjadi
agenda terbesar kehidupan beragama dan bernegara hari esok.
Perspektif tentang kebahagiaan tidaklah beku. Para pemikir
terdahulu memandang kebahagiaan sebagai masalah perburuan pribadi. Para pemikir
terkini cenderung melihatnya sebagai proyek perburuan kolektif. Pandangan
terdahulu masih terlihat jejaknya pada Deklarasi Kemerdekaan Bangsa Amerika
Serikat. Manakala bangsa ini merdeka pada 1776, para pendiri bangsanya
menempatkan hak untuk mengejar kebahagiaan sebagai salah satu dari tiga hak
asasi yang tak dapat direnggut, bersama hak untuk hidup dan hak untuk bebas.
Namun, yang dijamin dalam deklarasi kemerdekaan tersebut hanyalah
sebatas hak untuk meraih kebahagiaan, bukanlah hak berbahagia itu sendiri.
Dalam pengertian, bahwa deklarasi tersebut tidak memandatkan kepada negara
untuk bertanggung jawab atas kebahagiaan warganya. Hak untuk meraih kebahagiaan
malah dimaksudkan sebagai usaha membatasi kekuasaan negara; dengan memberikan
semacam cagar penyediaan ruang privat bagi pilihan-pilihan pribadi yang dirasa
membahagiakan dirinya (Harari, 2016).
Pandangan terkini diwakili oleh Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Visi dan misi negara Indonesia sebagaimana
tertuang dalam alinea kedua dan keempat begitu jelas menempakan kebahagiaan
sebagai proyek kolektif. Visinya adalah mewujudkan perikehidupan kebangsaan
yang ”merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur”. Adapun misinya adalah
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia;
memajukan kesejahteraan umum; mencerdaskan kehidupan bangsa; ikut melaksanakan
ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan
sosial.
Visi dan misi negara sebagai proyek mewujudkan kebahagiaan
kolektif itu bisa menjadi ukuran untuk menakar keberhasilan pembangunan. Pada
abad ke-20, tingkat produk domestik bruto (PDB) menjadi alat evaluasi
keberhasilan. Pada perkembangan mutakhir, banyak pihak menyerukan perlunya
mengganti PDB dengan GDH (gross domestic happiness) sebagai ukuran
keberhasilan. Lebih jauh, kalau kita cermati apa yang disebut sebagai Happiness
Index yang dianut di dunia saat ini, variabel-variabelnya sejalan dengan misi
mewujudkan kebahagiaan kolektif sebagaimana tertuang pada alinea keempat
Pembukaan UUD 1945.
Kunci utama untuk meraih kebahagiaan bukanlah pada pemenuhan
syahwat bersenang dan berkuasa, melainkan pada kesanggupan untuk memberi dan
meraih makna hidup. Kebahagiaan tertinggi bisa teraih manakala kita bisa
menjadi lebih besar dari diri sendiri; terhubung dengan realitas keragaman,
berbagi sejahtera bagi sesama, bergotong royong menumbuhkan nilai-nilai
kemuliaan dan keadaban publik yang memberikan makna bagi kehidupan bersama.
Hidup yang lebih besar dari diri sendiri itu adalah hidup yang
terkoneksi dalam relasi ”tiga arah” (triadik). Dalam kosmologi Batak Toba dan
”I La Galigo” Bugis-Makassar, tiga relasi triadik diarahkan untuk membangun
relasi serasi dengan Dunia Atas (pencipta), Dunia Tengah (manusia), dan Dunia
Bawah (alam). Dalam pandangan dunia ”Tritangtu” (tiga kepastian) Sunda, relasi
triadik ini dikembangkan dalam kerangka Aji Luhung (asah keluhuran ketuhanan),
Aji Komara (asah aura antarmanusia), dan Aji Wiwaha (asah perawatan alam
semesta).
Dalam kosmologi Hindu-Bali, relasi triadik ini bernama Tri Hita
Karana (tiga penyebab kebahagiaan), yakni keharmonisan hubungan manusia dengan
Tuhannya (Sanghyang Jagatkarana), manusia dengan alam sekitar (buana), dan
manusia dengan sesamanya (manusia). Dalam kosmologi Islam, relasi triadik ini
diarahkan untuk menguatkan ikatan kasih manusia dengan
Allah (hablum minallah), dengan sesama manusia (habluminannas), dan dengan alam semesta (hablum minal alam).
Allah (hablum minallah), dengan sesama manusia (habluminannas), dan dengan alam semesta (hablum minal alam).
Kemacetan dalam relasi triadik itu merupakan pangkal dari sesak
napas (kehampaan dan kekalutan) dalam kehidupan. Untuk memulihkannya,
diperlukan pengisian udara segar dan cahaya sukma ke dalam rongga jiwa bangsa.
Pelatihan ini disebut spiritualitas; berasal dari bahasa Latin spiritus,
yang berarti ’bernapas’ atau ’bercahaya’. Alhasil, kebahagiaan hidup bersama
akan terengkuh manakala kita bisa menyegarkan dan menyalakan pelita jiwa dengan
membangun konektivitas penuh cinta dengan Sang Pencipta, dengan sesama manusia,
dengan alam semesta. []
KOMPAS, 7 Juni 2018
Yudi Latif | Dosen Universitas Negeri Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar