Jumat, 08 Juni 2018

Yudi Latif: Meraih Kebahagiaan


Meraih Kebahagiaan
Oleh: Yudi Latif

Pada titik ini, saat pengujung bulan puasa bersinggungan dengan bulan Pancasila, pertanyaan reflektif patut kita ajukan: apa sesungguhnya yang kita kejar dengan beragama dan bernegara? Adalah psikolog William James yang menyatakan bahwa ”motif terdasar dari seluruh tindakan manusia adalah mengejar kebahagiaan”.

Sejumlah pemikir menahbiskan kebahagiaan sebagai kebajikan terluhur. Dari masa Yunani purba, kita dapati Epicurus yang menyatakan bahwa kebahagiaan adalah satu-satunya tujuan hidup. Pada akhir abad ke-18, filsuf Inggris, Jeremy Bentham, mendefinisikan kebajikan terluhur sebagai kebahagiaan terbesar dari jumlah terbesar (the greatest happiness of the greatest number). Ia pun menyimpulkan bahwa satu-satunya tujuan berharga dari negara, pasar, dan komunitas keilmuan adalah untuk meningkatkan kebahagiaan global.

Tentu ada pihak-pihak yang berseberangan dengan pandangan tersebut. Sebagian menuduhnya sebagai paham hedonis yang serba duniawi. Namun, dalam perkembangan terkini, paham tersebut menjadi anutan yang meluas. Relevansinya kian menguat manakala dunia terpanggang api kesumat dan kebencian. Jutaan manusia mengalami kekeringan jiwa dan kekosongan makna hidup. Jumlah orang yang mati karena bunuh diri lebih banyak daripada korban perang. Jumlah orang mati karena ”kekenyangan” lebih banyak daripada orang mati karena kelaparan. Dalam dunia yang kering kerontang seperti itu, ”kebahagiaan” menjadi agenda terbesar kehidupan beragama dan bernegara hari esok.

Perspektif tentang kebahagiaan tidaklah beku. Para pemikir terdahulu memandang kebahagiaan sebagai masalah perburuan pribadi. Para pemikir terkini cenderung melihatnya sebagai proyek perburuan kolektif. Pandangan terdahulu masih terlihat jejaknya pada Deklarasi Kemerdekaan Bangsa Amerika Serikat. Manakala bangsa ini merdeka pada 1776, para pendiri bangsanya menempatkan hak untuk mengejar kebahagiaan sebagai salah satu dari tiga hak asasi yang tak dapat direnggut, bersama hak untuk hidup dan hak untuk bebas.

Namun, yang dijamin dalam deklarasi kemerdekaan tersebut hanyalah sebatas hak untuk meraih kebahagiaan, bukanlah hak berbahagia itu sendiri. Dalam pengertian, bahwa deklarasi tersebut tidak memandatkan kepada negara untuk bertanggung jawab atas kebahagiaan warganya. Hak untuk meraih kebahagiaan malah dimaksudkan sebagai usaha membatasi kekuasaan negara; dengan memberikan semacam cagar penyediaan ruang privat bagi pilihan-pilihan pribadi yang dirasa membahagiakan dirinya (Harari, 2016).

Pandangan terkini diwakili oleh Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Visi dan misi negara Indonesia sebagaimana tertuang dalam alinea kedua dan keempat begitu jelas menempakan kebahagiaan sebagai proyek kolektif. Visinya adalah mewujudkan perikehidupan kebangsaan yang ”merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur”. Adapun misinya adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; memajukan kesejahteraan umum; mencerdaskan kehidupan bangsa; ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Visi dan misi negara sebagai proyek mewujudkan kebahagiaan kolektif itu bisa menjadi ukuran untuk menakar keberhasilan pembangunan. Pada abad ke-20, tingkat produk domestik bruto (PDB) menjadi alat evaluasi keberhasilan. Pada perkembangan mutakhir, banyak pihak menyerukan perlunya mengganti PDB dengan GDH (gross domestic happiness) sebagai ukuran keberhasilan. Lebih jauh, kalau kita cermati apa yang disebut sebagai Happiness Index yang dianut di dunia saat ini, variabel-variabelnya sejalan dengan misi mewujudkan kebahagiaan kolektif sebagaimana tertuang pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945.

Kunci utama untuk meraih kebahagiaan bukanlah pada pemenuhan syahwat bersenang dan berkuasa, melainkan pada kesanggupan untuk memberi dan meraih makna hidup. Kebahagiaan tertinggi bisa teraih manakala kita bisa menjadi lebih besar dari diri sendiri; terhubung dengan realitas keragaman, berbagi sejahtera bagi sesama, bergotong royong menumbuhkan nilai-nilai kemuliaan dan keadaban publik yang memberikan makna bagi kehidupan bersama.

Hidup yang lebih besar dari diri sendiri itu adalah hidup yang terkoneksi dalam relasi ”tiga arah” (triadik). Dalam kosmologi Batak Toba dan ”I La Galigo” Bugis-Makassar, tiga relasi triadik diarahkan untuk membangun relasi serasi dengan Dunia Atas (pencipta), Dunia Tengah (manusia), dan Dunia Bawah (alam). Dalam pandangan dunia ”Tritangtu” (tiga kepastian) Sunda, relasi triadik ini dikembangkan dalam kerangka Aji Luhung (asah keluhuran ketuhanan), Aji Komara (asah aura antarmanusia), dan Aji Wiwaha (asah perawatan alam semesta).

Dalam kosmologi Hindu-Bali, relasi triadik ini bernama Tri Hita Karana (tiga penyebab kebahagiaan), yakni keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhannya (Sanghyang Jagatkarana), manusia dengan alam sekitar (buana), dan manusia dengan sesamanya (manusia). Dalam kosmologi Islam, relasi triadik ini diarahkan untuk menguatkan ikatan kasih manusia dengan
Allah (hablum minallah), dengan sesama manusia (habluminannas), dan dengan alam semesta (hablum minal alam).

Kemacetan dalam relasi triadik itu merupakan pangkal dari sesak napas (kehampaan dan kekalutan) dalam kehidupan. Untuk memulihkannya, diperlukan pengisian udara segar dan cahaya sukma ke dalam rongga jiwa bangsa. Pelatihan ini disebut spiritualitas; berasal dari bahasa Latin spiritus, yang berarti ’bernapas’ atau ’bercahaya’. Alhasil, kebahagiaan hidup bersama akan terengkuh manakala kita bisa menyegarkan dan menyalakan pelita jiwa dengan membangun konektivitas penuh cinta dengan Sang Pencipta, dengan sesama manusia, dengan alam semesta. []

KOMPAS, 7 Juni 2018
Yudi Latif | Dosen Universitas Negeri Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar