Jumat, 29 Juni 2018

Satrawi: Kembali ke Fitrah Indonesia


Kembali ke Fitrah Indonesia
Oleh: Hasibullah Satrawi

Indonesia, sebuah kemajemukan asli, menjadi tempat perjumpaan ajaran langit dan bumi. Bukan Indonesia bila di dalamnya tidak ada Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, dan kepercayaan-kepercayaan lain yang dipedomani oleh pemeluknya. Ditambah lagi dengan kemajemukan dari segi budaya, adat istiadat, suku, bahasa, dan hal-hal primordial lain.

Karena itu, sejak menjelang dilahirkan sekalipun, kemajemukan Indonesia tak jadi pembahasan, terlebih dipersoalkan. Yang dibahas secara konstruktif adalah bagaimana mempersatukan dan menyulam ”kemajemukan kaffah” (baca; total) ini dalam sebuah Bhinneka Tunggal Ika.

Belakangan, kemajemukan ini terasa menjadi persoalan sangat serius. Tak hanya karena adanya kelompok-kelompok tertentu yang anti terhadap kemajemukan Indonesia, juga karena adanya tekanan dari pemegang kekuasaan untuk menerima dan merawat kemajemukan yang ada.

Sungguh terasa aneh tatkala kemajemukan Indonesia dinihilkan, tetapi kemajemukan yang disajikan (untuk tidak mengatakan dipaksakan) pemerintah juga tak enak. Sementara pada waktu bersamaan, nyaris tak ada pikiran maupun kebijakan yang mampu menganyam perbedaan-perbedaan yang ada dalam bingkai persatuan. Juga nyaris tak ada lagi tokoh sekaliber Gus Dur bahkan Taufik Kiemas yang keluar-masuk menjadi perekat dan penyambung lidah bagi kelompok-kelompok yang berbeda bahkan mungkin berseberangan secara politik. Sebaliknya, segenap elite belakangan seakan larut dalam perseteruan terbuka dan terjebak dalam kubu-kubuan.

Pascakemapanan

Di era pascakemapanan seperti sekarang, tantangan kehidupan berbangsa dan bernegara terasa bertambah berat. Mengingat dari arah elite yang keras menghunjam adalah justru perseteruan dan kubu-kubuan daripada keteladanan dan kekompakan. Sementara dari arah masyarakat umum, semburan narsisme acap tak bisa dikendalikan lagi. Hingga akhirnya ruang publik dipenuhi sumpah seranah dan caci maki yang seakan tanpa rasa malu sedikit pun.

Di era pascakemapanan seperti sekarang, seorang tokoh bisa disanjung-dipuja oleh sebagian masyarakat yang notabene satu kelompok politik maupun kepentingan. Pada waktu bersamaan, tokoh tersebut bisa dicaci maki secara terbuka oleh masyarakat lain yang berseberangan secara politik dan kepentingan. Inilah era pascakemapanan ataupun pascakelas di mana segala sesuatu tidak membutuhkan proses ataupun kelas berkelamaan untuk menjadi sang bintang.

Demikianlah, era pascakemapanan telah membuat segala sesuatu jadi mudah sekaligus murah. Disebut mudah karena di era ini orang bisa mendapatkan apa yang diinginkan dengan proses yang tidak terlalu lama, termasuk dalam mencapai ketenaran dan ”keberhasilan”. Disebut murah karena semuanya bisa didapat dengan Rp 5.000-Rp 10.000 sebagai modal awal membeli kuota internet untuk memuat status-status maupun video yang akan mengantarkannya pada ketenaran dan ”keberhasilan”.

Era pascakemapanan ini tak hanya melanda lini tertentu dalam kehidupan masyarakat, melainkan nyaris melanda semua lini, termasuk dunia tulis-menulis. Menjadi ”penulis” di zaman sekarang tak perlu lama-lama menunggu jebolnya dinding redaksi dan berkompetisi dengan puluhan atau bahkan ratusan karya tulis lainnya. Sebab, seseorang bisa langsung memuat sendiri karya tulisnya dalam bentuk status di sosial media.

Demikian juga terkait ketokohan di layar kaca. Saat ini tidak diperlukan adanya proses panjang pengkajian maupun keahlian mendalam sebelum seseorang tampil di layar kaca. Bermodalkan Rp 5.000-Rp 10.000, seseorang juga bisa menyiarkan dirinya sendiri secara langsung, walaupun sedang bersenda gurau sekalipun.

Dunia keagamaan pun dilanda fenomena kurang lebih sama. Untuk menjadi ”tokoh agama”, saat ini tidak membutuhkan waktu dan proses panjang seperti zaman old: mulai dari proses belajar, menghafal teks-teks suci, maupun menguasai pelbagai macam ilmu keagamaan yang ada. Bahkan juga tak perlu menghafal dan menguasai ayat-ayat ataupun hadis-hadis Nabi dalam jumlah sebanyak mungkin seperti ditekankan dahulu. Sebab, cukup satu ayat bahkan setengah ayat seseorang sudah bisa menjadi ”tokoh agama” yang legendaris.

Hal terpenting adalah berani keras, berani menghujat, dan tentu saja viral. Tatkala sudah mencapai puncak viralnya, seseorang pun pelan-pelan diyakini mencapai puncak ketokohan dan kealimannya.

Celakanya, pelbagai macam perkembangan seperti di atas tak jarang direspons secara tidak strategis oleh aparat terkait maupun pejabat pemerintah. Bahkan belakangan pemerintah menyebut fenomena di atas dengan istilah-istilah yang tidak akurat, seperti radikalisme, intoleransi, terorisme, dan yang lainnya. Lebih jauh lagi, pemerintah belakangan terkesan menggunakan kekuasaannya secara berlebihan, termasuk dalam mendefinisikan ”mana yang boleh” dan ”mana yang tidak boleh”, ”mana yang baik” dan ”mana yang tidak”. Alih-alih selesai, pelbagai macam persoalan dan kegaduhan yang ada justru semakin menjadi-jadi dan meluas ke mana-mana.

Fitrah Indonesia

Dalam kondisi seperti ini, kita semua butuh kembali ke fitrah Indonesia. Bagi masyarakat luas, kembali ke fitrah Indonesia adalah kembali pada kedalaman dan keluhuran moral. Pelbagai macam perkembangan yang ada sejatinya mempermudah masyarakat untuk semakin memperdalam keahlian yang dimiliki. Juga, sejatinya mampu memperkuat nilai-nilai luhur yang ada, seperti kesopanan, menghormati yang lain, malu bersikap kasar, dan yang lainnya. Bukan justru sebaliknya, perkembangan yang ada melahirkan kepribadian ganda yang paradoks di antara dunia nyata dan di media sosial.

Adapun bagi kaum elite, fitrah Indonesia adalah fitrah dialog secara sejati dan perjumpaan secara langsung, termasuk dengan mereka yang berbeda pandangan, berbeda keyakinan atau bahkan berseberangan secara politik. Sebagaimana ditegaskan di awal tulisan ini, segala keanekaragaman pandangan dan sikap terkait Indonesia tidak hanya terjadi sekarang, melainkan sudah terjadi sejak Indonesia baru mau dilahirkan. Namun, pada zaman itu, para tokoh pendiri bangsa berhasil melakukan dialog dan perjumpaan secara sejati, hingga tercapai sebuah konsensus sesuai dengan masa dan titik terjauhnya saat itu. Penting  diingat kembali bagaimana Bung Karno sebagai Ketua Tim 9, contohnya, melaporkan Piagam Jakarta sebagai konsensus terjauh pada 22 Juni 1945. Padahal, sebagai seorang nasionalis yang mengidolakan pengalaman Kemalisme di Turki saat itu, Bung Karno hampir dipastikan tidak setuju dengan rumusan Piagam Jakarta. Namun, karena hal ini terkait keyakinan dan ideologi (tidak bisa dengan mudah dipaksakan), Bung Karno tetap menerima dan melaporkannya ke anggota BPUPKI.

Demikian juga sebaliknya, ketika titik komprominya bisa bergerak lebih jauh, para pendiri bangsa melakukan konsensus ulang dengan membuang tujuh kata yang kemudian difinalkan hingga sekarang. Sebagian dari para pendukung Piagam Jakarta mungkin ada yang kurang puas dengan perkembangan yang ada. Namun, karena sudah jadi kesepakatan dan demi kemaslahatan bersama, para pendiri bangsa yang awalnya mendukung Piagam Jakarta juga tetap menerima rumusan Pancasila yang kemudian difinalkan hingga sekarang.

Inilah fitrah Indonesia yang harus senantiasa dirujuk dan dilestarikan ke depan, khususnya dalam menghadapi perbedaan- perbedaan yang bersifat asas kenegaraan. Kebesaran jiwa dan keagungan sikap para pendiri bangsa harus jadi inspirasi bagi para elite hari ini dalam membangun bangsa ke depan, termasuk dalam menghadapi ”musuh-musuhnya” secara politik. Jangankan hanya musuh politik, bahkan musuh di medan perang sekalipun tetap memiliki hak yang harus dihormati dan dijaga.
Pada akhirnya, demokrasi adalah seni menyikapi lawan dengan penghormatan menuju kedewasaan, sebagaimana demokrasi juga seni mengelola persekutuan menuju kesejatian. Dalam demokrasi lawan harus dihormati, kawan harus disegani.

Dalam perkembangan Indonesia sebagai negara demokrasi yang mayoritas penduduknya beragama Islam, kembali ke fitrah sama dengan kembali pada kedalaman, pada keluhuran moral, dan kembali pada dialog yang sejati. Inilah salah satu substansi utama Idul Fitri yang bermakna kembali ke fitrah. []

KOMPAS, 18 Juni 2018
Hasibullah Satrawi | Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia Islam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar