Kembali ke Fitrah Indonesia
Oleh: Hasibullah Satrawi
Indonesia, sebuah kemajemukan asli, menjadi tempat perjumpaan ajaran
langit dan bumi. Bukan Indonesia bila di dalamnya tidak ada Islam, Katolik,
Kristen, Hindu, Buddha, dan kepercayaan-kepercayaan lain yang dipedomani oleh
pemeluknya. Ditambah lagi dengan kemajemukan dari segi budaya, adat istiadat,
suku, bahasa, dan hal-hal primordial lain.
Karena itu, sejak menjelang dilahirkan sekalipun, kemajemukan
Indonesia tak jadi pembahasan, terlebih dipersoalkan. Yang dibahas secara
konstruktif adalah bagaimana mempersatukan dan menyulam ”kemajemukan kaffah”
(baca; total) ini dalam sebuah Bhinneka Tunggal Ika.
Belakangan, kemajemukan ini terasa menjadi persoalan sangat
serius. Tak hanya karena adanya kelompok-kelompok tertentu yang anti terhadap
kemajemukan Indonesia, juga karena adanya tekanan dari pemegang kekuasaan untuk
menerima dan merawat kemajemukan yang ada.
Sungguh terasa aneh tatkala kemajemukan Indonesia dinihilkan,
tetapi kemajemukan yang disajikan (untuk tidak mengatakan dipaksakan)
pemerintah juga tak enak. Sementara pada waktu bersamaan, nyaris tak ada
pikiran maupun kebijakan yang mampu menganyam perbedaan-perbedaan yang ada
dalam bingkai persatuan. Juga nyaris tak ada lagi tokoh sekaliber Gus Dur
bahkan Taufik Kiemas yang keluar-masuk menjadi perekat dan penyambung lidah
bagi kelompok-kelompok yang berbeda bahkan mungkin berseberangan secara
politik. Sebaliknya, segenap elite belakangan seakan larut dalam perseteruan
terbuka dan terjebak dalam kubu-kubuan.
Pascakemapanan
Di era pascakemapanan seperti sekarang, tantangan kehidupan
berbangsa dan bernegara terasa bertambah berat. Mengingat dari arah elite yang
keras menghunjam adalah justru perseteruan dan kubu-kubuan daripada keteladanan
dan kekompakan. Sementara dari arah masyarakat umum, semburan narsisme acap tak
bisa dikendalikan lagi. Hingga akhirnya ruang publik dipenuhi sumpah seranah
dan caci maki yang seakan tanpa rasa malu sedikit pun.
Di era pascakemapanan seperti sekarang, seorang tokoh bisa
disanjung-dipuja oleh sebagian masyarakat yang notabene satu kelompok politik
maupun kepentingan. Pada waktu bersamaan, tokoh tersebut bisa dicaci maki
secara terbuka oleh masyarakat lain yang berseberangan secara politik dan
kepentingan. Inilah era pascakemapanan ataupun pascakelas di mana segala
sesuatu tidak membutuhkan proses ataupun kelas berkelamaan untuk menjadi sang
bintang.
Demikianlah, era pascakemapanan telah membuat segala sesuatu jadi
mudah sekaligus murah. Disebut mudah karena di era ini orang bisa mendapatkan
apa yang diinginkan dengan proses yang tidak terlalu lama, termasuk dalam
mencapai ketenaran dan ”keberhasilan”. Disebut murah karena semuanya bisa
didapat dengan Rp 5.000-Rp 10.000 sebagai modal awal membeli kuota internet
untuk memuat status-status maupun video yang akan mengantarkannya pada ketenaran
dan ”keberhasilan”.
Era pascakemapanan ini tak hanya melanda lini tertentu dalam
kehidupan masyarakat, melainkan nyaris melanda semua lini, termasuk dunia
tulis-menulis. Menjadi ”penulis” di zaman sekarang tak perlu lama-lama menunggu
jebolnya dinding redaksi dan berkompetisi dengan puluhan atau bahkan ratusan
karya tulis lainnya. Sebab, seseorang bisa langsung memuat sendiri karya
tulisnya dalam bentuk status di sosial media.
Demikian juga terkait ketokohan di layar kaca. Saat ini tidak
diperlukan adanya proses panjang pengkajian maupun keahlian mendalam sebelum
seseorang tampil di layar kaca. Bermodalkan Rp 5.000-Rp 10.000, seseorang juga
bisa menyiarkan dirinya sendiri secara langsung, walaupun sedang bersenda gurau
sekalipun.
Dunia keagamaan pun dilanda fenomena kurang lebih sama. Untuk
menjadi ”tokoh agama”, saat ini tidak membutuhkan waktu dan proses panjang
seperti zaman old: mulai dari proses belajar, menghafal teks-teks
suci, maupun menguasai pelbagai macam ilmu keagamaan yang ada. Bahkan juga tak
perlu menghafal dan menguasai ayat-ayat ataupun hadis-hadis Nabi dalam jumlah
sebanyak mungkin seperti ditekankan dahulu. Sebab, cukup satu ayat bahkan
setengah ayat seseorang sudah bisa menjadi ”tokoh agama” yang legendaris.
Hal terpenting adalah berani keras, berani menghujat, dan tentu
saja viral. Tatkala sudah mencapai puncak viralnya, seseorang pun pelan-pelan
diyakini mencapai puncak ketokohan dan kealimannya.
Celakanya, pelbagai macam perkembangan seperti di atas tak jarang
direspons secara tidak strategis oleh aparat terkait maupun pejabat pemerintah.
Bahkan belakangan pemerintah menyebut fenomena di atas dengan istilah-istilah
yang tidak akurat, seperti radikalisme, intoleransi, terorisme, dan yang
lainnya. Lebih jauh lagi, pemerintah belakangan terkesan menggunakan
kekuasaannya secara berlebihan, termasuk dalam mendefinisikan ”mana yang boleh”
dan ”mana yang tidak boleh”, ”mana yang baik” dan ”mana yang tidak”. Alih-alih
selesai, pelbagai macam persoalan dan kegaduhan yang ada justru semakin
menjadi-jadi dan meluas ke mana-mana.
Fitrah Indonesia
Dalam kondisi seperti ini, kita semua butuh kembali ke fitrah
Indonesia. Bagi masyarakat luas, kembali ke fitrah Indonesia adalah kembali
pada kedalaman dan keluhuran moral. Pelbagai macam perkembangan yang ada
sejatinya mempermudah masyarakat untuk semakin memperdalam keahlian yang
dimiliki. Juga, sejatinya mampu memperkuat nilai-nilai luhur yang ada, seperti
kesopanan, menghormati yang lain, malu bersikap kasar, dan yang lainnya. Bukan
justru sebaliknya, perkembangan yang ada melahirkan kepribadian ganda yang
paradoks di antara dunia nyata dan di media sosial.
Adapun bagi kaum elite, fitrah Indonesia adalah fitrah dialog
secara sejati dan perjumpaan secara langsung, termasuk dengan mereka yang
berbeda pandangan, berbeda keyakinan atau bahkan berseberangan secara politik.
Sebagaimana ditegaskan di awal tulisan ini, segala keanekaragaman pandangan dan
sikap terkait Indonesia tidak hanya terjadi sekarang, melainkan sudah terjadi
sejak Indonesia baru mau dilahirkan. Namun, pada zaman itu, para tokoh pendiri
bangsa berhasil melakukan dialog dan perjumpaan secara sejati, hingga tercapai
sebuah konsensus sesuai dengan masa dan titik terjauhnya saat itu. Penting
diingat kembali bagaimana Bung Karno sebagai Ketua Tim 9, contohnya,
melaporkan Piagam Jakarta sebagai konsensus terjauh pada 22 Juni 1945. Padahal,
sebagai seorang nasionalis yang mengidolakan pengalaman Kemalisme di Turki saat
itu, Bung Karno hampir dipastikan tidak setuju dengan rumusan Piagam Jakarta.
Namun, karena hal ini terkait keyakinan dan ideologi (tidak bisa dengan mudah
dipaksakan), Bung Karno tetap menerima dan melaporkannya ke anggota BPUPKI.
Demikian juga sebaliknya, ketika titik komprominya bisa bergerak
lebih jauh, para pendiri bangsa melakukan konsensus ulang dengan membuang tujuh
kata yang kemudian difinalkan hingga sekarang. Sebagian dari para pendukung
Piagam Jakarta mungkin ada yang kurang puas dengan perkembangan yang ada.
Namun, karena sudah jadi kesepakatan dan demi kemaslahatan bersama, para
pendiri bangsa yang awalnya mendukung Piagam Jakarta juga tetap menerima
rumusan Pancasila yang kemudian difinalkan hingga sekarang.
Inilah fitrah Indonesia yang harus senantiasa dirujuk dan
dilestarikan ke depan, khususnya dalam menghadapi perbedaan- perbedaan yang
bersifat asas kenegaraan. Kebesaran jiwa dan keagungan sikap para pendiri
bangsa harus jadi inspirasi bagi para elite hari ini dalam membangun bangsa ke
depan, termasuk dalam menghadapi ”musuh-musuhnya” secara politik. Jangankan
hanya musuh politik, bahkan musuh di medan perang sekalipun tetap memiliki hak
yang harus dihormati dan dijaga.
Pada akhirnya, demokrasi adalah seni menyikapi lawan dengan
penghormatan menuju kedewasaan, sebagaimana demokrasi juga seni mengelola
persekutuan menuju kesejatian. Dalam demokrasi lawan harus dihormati, kawan
harus disegani.
Dalam perkembangan Indonesia sebagai negara demokrasi yang
mayoritas penduduknya beragama Islam, kembali ke fitrah sama dengan kembali
pada kedalaman, pada keluhuran moral, dan kembali pada dialog yang sejati.
Inilah salah satu substansi utama Idul Fitri yang bermakna kembali ke fitrah.
[]
KOMPAS, 18 Juni 2018
Hasibullah Satrawi | Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar