Radikalisme di Perguruan Tinggi (1)
Oleh: Azyumardi Azra
Pascapengeboman bunuh diri di Surabaya (13-14 Mei), meluas
pembicaraan di kalangan publik tentang meningkatnya atau bertahannya paham
radikal di kampus Perguruan Tinggi Negeri (PTN) khususnya. Pembicaraan dan
perdebatan ini terkait adanya pernyataan yang beredar luas dalam media sosial
dari beberapa dosen—termasuk di antaranya profesor—yang seolah-oleh merestui
aksi bom bunuh diri.
Dalam pernyataan di media sosial itu, mereka menganggap pengeboman
bunuh diri sebagai rekayasa Polri dan pemerintah. Menurut mereka, bom bunuh
diri Surabaya bertujuan; pertama, untuk menyudutkan ‘umat Islam’; kedua, guna
mendapatkan peningkatan anggaran pemberantasan terorisme; dan ketiga, sebagai
pengalihan isu upaya penggantian kepemimpinan nasional dalam Pilpres 2019.
Rektor PTN terkenal di mana ada tiga dosennya yang pernyataan
mereka beredar luas dalam media sosial segera mengeluarkan klarifikasi. Dia
mengungkapkan pernyataan ketiga dosennya itu tidak merepresentasikan PT-nya.
Dia juga menyatakan memproses ketiga dosen tersebut atas pernyataan mereka.
Selain itu, juga ada kalangan dosen dan profesor PTN yang
mendukung atau memberikan justifikasi pada pemahaman dan praksis yang ingin
membentuk dawlah Islamiyah atau khilafah. Pemikiran dan praksis ini pada saat
yang sama, baik secara langsung maupun by
implication menolak NKRI dan Pancasila.
Kasus-kasus itu tentu saja tidak perlu mendorong siapa pun untuk ngebyah uyah atau
menggeneralisasi sebagai fenomena yang sangat umum di seluruh PTN
Indonesia—PTUN dan yang berkarakter Islam (PTKIN), juga PTS (PTUS dan PTKIS).
Namun, gejala semacam itu, tetap perlu dicermati dan diwaspadai karena adanya
bukti-bukti kuat infiltrasi dan penyebaran paham radikal di banyak PT.
Belum lama ini (28/4/2018), Budi Gunawan, kepala BIN menyatakan,
adanya tiga PTN sebagai tempat penyebaran paham radikal. Dia tidak menyebut
eksplisit nama ketiga PTN tersebut di antara 20 PT di 15 provinsi yang menjadi
sasaran survei BIN.
Budi Gunawan mengungkapkan lebih jauh, 39 persen mahasiswa dari
berbagai PT di Indonesia telah terpapar paham radikal. Dari pernyataan Budi
Gunawan, kata ‘terpapar’ tampaknya berarti sekaligus mengikuti paham radikal.
Selanjutnya, menurut dia, 24 persen mahasiswa dan 23,3 persen siswa SMA setuju
dengan ‘jihad’ untuk menegakkan dawlah Islamiyah atau khilafah.
Keterangan lebih lanjut diberikan Hamli, direktur Pencegahan BNPT
dalam seminar tentang radikalisme yang diselenggarakan Center for the Study of
Religion and Culture (CSRC) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (25/5/18). Menurut
Hamli, hampir seluruh PTN dan PTS telah terpapar pada paham dan praksis
radikalisme.
Malah dia menyebut nama tujuh PTN yang nyata-nyata disusupi paham
radikal. Hamli mengungkapkan, bagian PTN dan PTS yang paling rentan tersusupi
paham radikal adalah prodi eksakta dan kedokteran. Dalam konteks terakhir ini,
adanya fakultas dan prodi eksakta di lingkungan UIN, IAIN, dan STAIN juga
memberi potensi cukup besar bagi infiltrasi dan penyebaran paham radikal.
Mengapa prodi-prodi semacam itu lebih rentan? Hal ini terkait
dengan watak ilmu eksakta yang pada dasarnya memberikan perspektif
‘hitam-putih’. Perspektif ini juga memengaruhi cara pandang dalam melihat
agama—yang kemudian juga dilihat secara hitam-putih. Padahal, agama juga
merupakan realitas dan gejala historis sosiologis; memunculkan fenomena
‘abu-abu’ dalam ekspresi keagamaan.
Berbagai penelitian lebih akademik dan ilmiah yang dilakukan
lembaga penelitian kampus semacam PPIM dan CSRC UIN Jakarta atau independen,
seperti Maarif Institut atau Wahid Foundation, dalam beberapa tahun sebelumnya
telah mengungkapkan gejala penyebaran radikalisme di lingkungan PTN atau PTS.
Dalam penelitian akhir 2017 lalu, PPIM menyebut gejala ini sebagai ‘api dalam
sekam’.
Juga terungkap dalam berbagai penelitian itu, peningkatan gejala
radikalisme terjadi tidak hanya di kalangan mahasiswa, tetapi juga dosen. Tidak
terlalu aneh, jika mahasiswa yang pengalaman intelektualnya lebih terbatas
dapat lebih mudah terpengaruh dan terekrut ke dalam pemikiran radikal.
Tetapi, agak mengherankan jika kalangan dosen yang telah memiliki
pengalaman intelektual lebih panjang juga terekrut ke dalam pemikiran radikal.
Mereka lebih jauh memadukan pemikiran radikal dengan teori rekayasa dan
konspirasi. Mereka kemudian menjadi agen penyebaran paham radikal, teori
rekayasa dan konspirasi di kalangan civitas
academica. []
REPUBLIKA, 31 Mei 2018
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Mantan
Anggota Dewan Penasihat Undef (New York) dan International IDEA (Stockholm)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar