Kisah Masjid dan Shalat Jumat Pertama
Rasulullah
Dalam perjalanan hijrah yang menegangkan dan
mengharukan, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan sahabatnya Abu
Bakar al-Shiddiq singgah di Quba, kota kecil berjarak kira-kira tujuh kilometer
dari kota Madinah. Di kota kecil yang banyak ditumbuhi pohon kurma yang
menghijau itu, Nabi tinggal selama empat hari, menurut riwayat lain disebutkan
empat belas hari. Di sana, Nabi berjumpa dengan para sahabatnya yang sangat setia
seperti Umar ibn Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib dan para sahabat
yang lain.
Selama tinggal di Quba, beliau dengan para
sahabatnya yang terdiri dari para muhajir (orang-orang yang berhijrah dari
Makkah ke Madinah) dan penduduk Quba membangun suatu masjid yang disebut dengan
Masjid Quba. Itulah masjid yang pertama kali dibangun Nabi dan para sahabatnya,
yang ditegakkan atas dasar takwa kepada Allah.
لَا
تَقُمْ فِيهِ أَبَدًا لَّمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَىٰ مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ
أَحَقُّ أَن تَقُومَ فِيهِ فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَن يَتَطَهَّرُوا وَاللَّهُ
يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ
Artinya: “Janganlah kamu bersembahyang dalam
masjid itu (dhirar) selama-lamanya. Sesungguhnya masjid yang didirikan atas
dasar taqwa (masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu shalat di
dalamnya. di dalam masjid itu terdapat orang-orang yang ingin membersihkan
diri, dan sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih. (QS. Al-Taubah,
9:108).
Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam sampai di Quba pada hari Senin, setelah tinggal selama
empat atau empat belas hari, dan telah selesai membangun masjid yang pertama
kali didirikan itu, beliau dan para sahabatnya bersiap-siap untuk melanjutkan
perjalanan ke kota Madinah yang selama ini menjadi tumpuan harapan. Pada hari
Jumat pagi sekali, Nabi dan para sahabatnya berangkat menuju Yatsrib atau
Madinah. Menjelang memasuki kota Madinah pada kilometer empat, beliau sampai di
suatu lembah bernama Wadi Ranuna milik keluarga Bani Salim ibn Auf, di tempat
itu Nabi dan rombongan melakukan shalat Jumat (M. Muhyiddin, Sayyiduna Muhammad
Nabi al-Rahmah, hal. 61). Itulah shalat Jumat pertama yang dilakukan Nabi dan
para sahabatnya. Sampai sekarang jamaah haji selalu menyempatkan diri
berkunjung ke masjid tersebut, dinamai Masjid Jumat karena ia dipakai shalat
Jumat untuk yang pertama kalinya.
Dalam khutbahnya yang pertama itu Nabi
mewasiatkan beberapa pelajaran yang penting, di antaranya sebagai berikut:
“Wahai manusia, hendaklah kamu berbuat kebajikan bagi dirimu sendiri, kamu akan
mengetahui, demi Allah, sesungguhnya seseorang dari kamu dikejutkan dengan
suara gemuruh, sehingga meninggalkan domba gembalaannya, maka domba itu tidak
ada penggembalanya lagi. Allah berfirman padanya, padahal tidak ada penerjemah
dan tidak ada penghalang yang menghalangi di sisi-Nya: “Tidakkah rasul-Ku telah
datang kepadamu menyampaikan kebenaran?, Aku karuniakan kepadamu harta dan
kenikmatan yang banyak maka apa yang dapat kamu kerjakan untuk dirimu?” Orang
itu kemudian menoleh ke kiri dan ke kanan, semuanya lengang tidak melihat
sesuatu. Kemudian melihat ke depannya, ia pun tidak melihat sesuatu kecuali
Jahannam. Siapa yang ingin terlepas dari siksa Jahannam, meskipun hanya sekedar
berbuat baik kepada orang lain dengan memberikan secuil buah kurma, hendaklah
ia lakukan. Jika secuil buah kurma pun tidak dimilikinya maka hendaklah ia
bertutur kata yang baik. Karena tutur kata yang baik adalah amal perbuatan yang
terpuji....”. (M. Khudry Bek, Nur al-Yaqien, hal. 82).
Khutbah tersebut mengarahkan umat manusia
agar selalu berbuat kebajikan terhadap sesamanya dan tidak mencampakkan dirinya
dalam kehancuran dan kenistaan. Sebagai umat Islam, kita wajib memberikan
bantuan terhadap mereka yang membutuhkannya. Bantuan itu bisa berupa harta,
wisdom (kebijaksanaan), jasa, nasehat, fikiran, do’a, dan bertutur kata yang
baik. Umat Islam diarahkan al-Qur’an agar senantiasa menjaga keseimbangan
antara kehidupan dunia dan akhirat, tidak diperkenankan mengabaikan salah
satunya.
وَابْتَغِ
فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا
وَأَحْسِن كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ
إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
“Dan carilah pada apa yang telah
dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu
melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang
lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berbuat kerusakan. (QS. Al-Qashash, 28: 77).
Mengenai perseimbangan kehidupan, yang juga
berkaitan dengan ayat tersebut di atas, Ibn al-Asakir meriwayatkan:
لَيْسَ
بِخَيْرِكُمْ مَنْ تَرَكَ دُنْيَاهُ لِآخِرَتِهِ، وَلا آخِرَتَهُ لِدُنْيَاهُ
حَتَّى يُصِيبَ مِنْهُمَا جَمِيعًا، فَإِنَّ الدُّنْيَا بَلاغٌ إِلَى الْآخِرَةِ
”Bukanlah orang yang terbaik di antaramu,
orang yang meninggalkan kehidupan dunia karena semata-mata mengejar kehidupan
akhirat, atau meninggalkan akhirat karena semata-mata mencari kehidupan dunia,
hingga ia memperoleh keduanya sekaligus. Karena kehidupan dunia adalah sarana
untuk mencapai akhirat....”. []
KH Zakky Mubarak, Rais Syuriyah PBNU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar