Politik Pascakebenaran
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Kabarnya istilah 'politik pascakebenaran' (post truth politics)
diciptakan David Roberts pada tahun 2010. Bungkusnya memang mentereng 'politik
pascakebenaran', sedangkan maksudnya tidak lain politik kebohongan, politik
dusta. Sudah menjadi menjadi rahasia umum di dunia bahwa kebanyakan politisi
itu memang gemar menjual dusta untuk meraih tujuan-tujuan jangka pendek, demi
kekuasaan dan kepuasan duniawi. Saya sudah sejak lama mengatakan ‘politik cari
makan,’ karena cara itu dipandang lebih gampang, sekalipun tunamartabat.
Donald J Trump sampai hari ini tidak putus-putusnya jadi
bulan-bulanan di media Amerika, karena dipandang sering menjual dusta. Pada
April 2018, jurnalis kawakan Rick Cusick telah menulis buku The Art of The Lie:
From Satan to Trump (Trine Press, 2018), pada 21 Juni tahun ini
akan terbit dalam format sampul tipis.
Pada bagian depan wajah Trump terbelah: separuh wajah setan
separuh lagi wajah manusia. Demikian bebasnya pers di negeri itu, tidak peduli
membidik seorang presiden.
Ajaibnya Trump masih bertahan sampai sekarang bersama sejumlah
pendukungnya. Maka sistem demokrasi yang sarat dengan dusta bisa saja
memunculkan seorang presiden dengan wajah terbelah itu.
Jauh sebelum itu, seorang Adolf Hitler yang ingin menaklukkan
Eropa dan pernah pula lama berkuasa di Jerman, sebuah bangsa yang sejibun
melahirkan filsuf, masih segar dalam ingatan kolektif kita. Dalam karya Mein Kampf
yang terkenal itu Hitler berpesan bahwa dusta yang dikatakan terus-menerus akan
dianggap benar oleh publik.
Saat itu resep politik Hitler ini belum disebut sebagai ‘politik
pascakebenaran’ karena istilah itu baru saja muncul, sedangkan praktiknya
mungkin sudah ada sepanjang sejarah umat manusia. Dalam literatur agama-agama,
sikap dusta dihukum sebagai kejahatan moral.
Dalam Alquran surah al-Rahmân (55) di samping jenis manusia yang
suka berdusta, jenis jin pun punya sifat serupa: “Maka kekuasaan Tuhan kamu
[jin dan manusia] manakah yang hendak kamu dustakan?” Pertanyaan ini dalam
surah itu diulang sampai 31 kali dengan redaksi yang sama: fabiayyi
âlâirabbikumâ tukadzdzibân.
Maka sifat dusta atau membuat kabar dusta telah melekat dengan
jenis kedua makhluk ini sejak zaman entah berantah. Ternyata dusta itu kabarnya
paling banyak itu dilakukan oleh politisi, tidak jarang dibungkus dengan
ayat-ayat Kitab Suci, sehingga orang yang pendek akal mudah tertipu, terutama
dalam media sosial yang sudah sangat menjamur sekarang ini.
Dalam Alquran, jumlah perkataan dusta dengan bermacam jenisnya
mendekati angka 300, termasuk dalam surat Makkiyyah ini: “Tahukah engkau orang
yang mendustakan agama?” (QS al-Ma'un ayat 1). Dalam surah al-Munâfqûn
(Madaniyyah) ayat 1 terbaca potongan ungkapan ini: “... Allah menyaksikan
bahwasanya orang-orang munafik itu pembohong.”
Saya takut jangan-jangan termasuk manusia jenis ini, demi membela
seorang tokoh, misalnya. Maka perlindungan Allah benar-benar diperlukan agar
terhindar dari sifat yang terkutuk ini.
Dalam kearifan budaya Minang, sifat munafik itu dilukiskan
sebagai: “Telunjuk lurus, kelingking berkait.” Pada umumnya, si pendusta itu
mukanya tebal, tidak punya malu, karena hati nuraninya telah tertutup oleh daki
moral ini yang dilakukannnya berulang-ulang.
Pada era Orba (Orde Baru) pernah pula dikemas dusta sejarah yang
mengatakan bahwa Pancasila bukan hasil galian Bung Karno, tetapi berasal dari
Muhammad Yamin untuk mendukung gerakan de-Soekarnoisasi ketika itu. Bung Hatta
cepat menyangkal dusta semacam itu: Pancasila berasal dari Bung Karno,
sekalipun pandangan politik kedua proklamator itu tidak selalu seiring.
Tetapi Hatta dengan integritas moralnya yang prima tidak mau
terjebak oleh kicauan ‘politik pascakebenaran’ serupa itu. Yang lebih berbahaya
adalah ‘politik pascakebenaran’ yang dikemas dalam bungkus teologis,
seolah-olah Tuhan bisa disandera oleh bungkus dusta itu. Mahasuci Allah dari
segala jenis rekayasa kotor itu, sekalipun dikerjakan berulang-ulang.
Pada tahun politik ini, sikap kritis dari rakyat banyak dalam
mengolah sumber berita sungguh sangat diperlukan agar bangsa ini tidak terbelah
oleh kebenaran semu yang sering diteriakkan, demi meraih keuntungan politik
jangka pendek. Indonesia terlalu mulia untuk dijadikan korban jenis politik
tunamoral sebagai bagian dari ‘politik pascakebenaran’ untuk lebih memancing
emosi publik yang labil itu. []
REPUBLIKA, 05 June 2018
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar