Sepotong Pelajaran
dari Kisah Sampul Rapor
Salah satu kenangan
pahitku terkait dengan sekolah adalah ketika kertas sampul Buku Raporku
dilepas, dirobek, diremas-remas, lalu dibantingkan ke lantai di depan kelas.
Kepala sekolahku marah besar saat dilihatnya sampul Buku Raporku lain dari pada
yang lain.
Aku adalah seorang
bocah siswa SD swasta Islam di Solo yang hanya bermodal semangat belajar
tinggi. Aku memang tidak seperti teman-teman sekolahku yang memiliki sarana
belajar cukup dan pantas. Tas sekolahku jelek. Baju-bajuku lusuh. Buku-buku
pelajaran aku tak punya. Sepatu aku juga tak punya. Tanggal 10 setiap bulan
adalah hari yang penuh hantu bagiku karena tanggal itu merupakan hari terakhir
pembayaran SPP. Tidak hanya sekali orang tuaku belum bisa membayar SPP-ku meski
sudah tanggal 10.
Waktu itu aku masih
duduk di bangku kelas 2 sebelum kepindahanku ke Madiun lalu kembali lagi ke
Solo dan pindah ke SD negeri. Aku menerima Buku Rapor untuk Catur Wulan II.
Rata-rata nilaiku cukup bagus meski tidak di peringkat I. Aku merasa cukup
bangga dengan prestasi seperti itu mengingat keadaanku yang tidak memiliki
sarana belajar cukup. Peristiwa luar biasa terjadi ketika aku mengumpulkan
kembali Buku Rapor di sekolah yang sudah ditandatangani bapakku di rumah.
“Ini rapor siapa?!”
Tanya Kepala Sekolah kepada seluruh siswa di kelasku sambil mengangkat keatas
dan menunjukkan buku rapor yang diambilnya dari tumpukan paling atas. Suaranya
lantang. Matanya berkaca-kaca. Beliau marah besar melihat kertas sampul Buku
Raporku. Dilepasnya kertas sampul itu dengan kasar. Direbok. Diremas-remas.
Lalu dibantingkan ke lantai.
Saat itu, aku tak
sanggup melihat kertas sampul Buku Raporku telah menjadi sampah di depan kelas.
Aku ingin menangis. Aku ingin menjerit memanggil ibuku.
“Ini rapormu kan!?”
Kata Kepala Sekolah menunjuk ke aku. “Ayo maju kamu!”
Aku pun maju ke depan
mengahadap beliau.
“Ganti sampulnya! Itu
tak pantas. Tahu?!”
Tanganku gemetaran
menerima kembali Buku Raporku yang sudah telanjang. Wajahku terasa panas.
Tenggorakanku terasa kering. Lidahku kaku. Aku tak mampu berkata apa-apa.
Dadaku sesak menahan tangis. Aku takut dan sedih sekali. Aku tidak menduga sama
sekali niatku membantu meringankan beban ibuku dengan memanfaatkan kertas
minyak warna hijau yang telah lama dipakai untuk menutup kaca almari, ternyata
bermasalah dalam pandangan orang dewasa.
“Bu... daripada Buku
Raporku tanpa sampul sama sekali, dan itu sudah pasti akan dimarahi Kepala
Sekolah, bagaimana kalau kertas di kaca almari itu saya lepas saja dan kemudian
dipakai untuk menyampuli rapor?” Tanyaku pada ibuku meminta izin pada hari
sebelumnya.
“Ibu belum punya uang
kan untuk membeli selembar kertas minyak buat menyampuli Buku Rapor?” Lanjutku.
Ibuku tidak
memberikan jawaban apa-apa selain membiarkan aku melepas kertas dari kaca
almari. Tetapi aku sempat melihat wajah ibuku agak memerah. Dibiarkannya aku
menambal kertas yang aku lepas dari almari itu karena robek. Bukan lem seperti
yang biasa di jual di toko yang aku gunakan untuk menggabungkan kembali
sisi-sisi dan sudut-sudut kertas yang putus. Aku menggunakan butiran-butiran
nasi sisa makan siang hari itu.
“Gimana Bu...?”
Tanyaku pada ibuku sambil memperlihatkan Buku Rapor yang telah selesai aku
sampuli. Ibuku tidak berkata apa-apa selain menganggukkan kepala sambil mencoba
membenahi sudut-sudut yang masih kurang rapi.
“Semoga tidak terjadi
apa-apa dan kelak kau jadi anak pintar dan bijak,” kata ibuku singkat pada
akhirnya menjawab pertanyaanku.
Pagi itu di hari
berikutnya aku bergegas ke sekolah dengan penuh semangat. Aku sangat bangga
mengembalikan buku raporku ke sekolah karena disampaing telah aku sampuli
sesuai warna yang diminta, tepat waktu, juga karena nilai-nilaiku tidak ada
yang merah alias bagus-bagus. Namun, yang terjadi kemudian adalah sesuatu yang
sangat mengejutkan dan menyayat hati.
Peristiwa itu terjadi
46 tahun lalu, atau tepatnya pada tahun 1971. Kini aku adalah seorang dosen
yang mengajar di sebuah perguruan tinggi. Kadang ketika aku berdiri di depan
kelas di depan para mahasiswa, kenangan pahit itu muncul begitu saja di benakku
yang membuatku merenung dan bertanya pada diri sendiri, apakah aku anak kreatif
atau memang kurang ajar.
Dari peristiwa itu
aku belajar untuk tidak terburu-buru menghakimi para mahasiswaku sebelum
memahami persoalan mereka dengan baik. Jika perlu aku meminta klarifikasi
terlebih dahulu sebelum mengambil keputusan. []
Muhammad Ishom,
dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar