Senin, 04 Juni 2018

(Hikmah of the Day) Sepotong Pelajaran dari Kisah Sampul Rapor


Sepotong Pelajaran dari Kisah Sampul Rapor

Salah satu kenangan pahitku terkait dengan sekolah adalah ketika kertas sampul Buku Raporku dilepas, dirobek, diremas-remas, lalu dibantingkan ke lantai di depan kelas. Kepala sekolahku marah besar saat dilihatnya sampul Buku Raporku lain dari pada yang lain.  

Aku adalah seorang bocah siswa SD swasta Islam di Solo yang hanya bermodal semangat belajar tinggi. Aku memang tidak seperti teman-teman sekolahku yang memiliki sarana belajar cukup dan pantas. Tas sekolahku jelek. Baju-bajuku lusuh. Buku-buku pelajaran aku tak punya. Sepatu aku juga tak punya. Tanggal 10 setiap bulan adalah hari yang penuh hantu bagiku karena tanggal itu merupakan hari terakhir pembayaran SPP. Tidak hanya sekali orang tuaku belum bisa membayar SPP-ku meski sudah tanggal 10.

Waktu itu aku masih duduk di bangku kelas 2 sebelum kepindahanku ke Madiun lalu kembali lagi ke Solo dan pindah ke SD negeri. Aku menerima Buku Rapor untuk Catur Wulan II. Rata-rata nilaiku cukup bagus meski tidak di peringkat I. Aku merasa cukup bangga dengan prestasi seperti itu mengingat keadaanku yang tidak memiliki sarana belajar cukup. Peristiwa luar biasa terjadi ketika aku mengumpulkan kembali Buku Rapor di sekolah yang sudah ditandatangani bapakku di rumah.

“Ini rapor siapa?!” Tanya Kepala Sekolah kepada seluruh siswa di kelasku sambil mengangkat keatas dan menunjukkan buku rapor yang diambilnya dari tumpukan paling atas. Suaranya lantang. Matanya berkaca-kaca. Beliau marah besar melihat kertas sampul Buku Raporku. Dilepasnya kertas sampul itu dengan kasar. Direbok. Diremas-remas. Lalu dibantingkan ke lantai.

Saat itu, aku tak sanggup melihat kertas sampul Buku Raporku telah menjadi sampah di depan kelas. Aku ingin menangis. Aku ingin menjerit memanggil ibuku.

“Ini rapormu kan!?” Kata Kepala Sekolah menunjuk ke aku.  “Ayo maju kamu!”

Aku pun maju ke depan mengahadap beliau.

“Ganti sampulnya! Itu tak pantas. Tahu?!”

Tanganku gemetaran menerima kembali Buku Raporku yang sudah telanjang. Wajahku terasa panas. Tenggorakanku terasa kering. Lidahku kaku. Aku tak mampu berkata apa-apa. Dadaku sesak menahan tangis. Aku takut dan sedih sekali. Aku tidak menduga sama sekali niatku membantu meringankan beban ibuku dengan memanfaatkan kertas minyak warna hijau yang telah lama dipakai untuk menutup kaca almari, ternyata bermasalah dalam pandangan orang dewasa.

“Bu... daripada Buku Raporku tanpa sampul sama sekali, dan itu sudah pasti akan dimarahi Kepala Sekolah, bagaimana kalau kertas di kaca almari itu saya lepas saja dan kemudian dipakai untuk menyampuli rapor?” Tanyaku pada ibuku meminta izin pada hari sebelumnya.

“Ibu belum punya uang kan untuk membeli selembar kertas minyak buat menyampuli Buku Rapor?” Lanjutku.

Ibuku tidak memberikan jawaban apa-apa selain membiarkan aku melepas kertas dari kaca almari. Tetapi aku sempat melihat wajah ibuku agak memerah. Dibiarkannya aku menambal kertas yang aku lepas dari almari itu karena robek. Bukan lem seperti yang biasa di jual di toko yang aku gunakan untuk menggabungkan kembali sisi-sisi dan sudut-sudut kertas yang putus. Aku menggunakan butiran-butiran nasi sisa makan siang hari itu.

“Gimana Bu...?” Tanyaku pada ibuku sambil memperlihatkan Buku Rapor yang telah selesai aku sampuli. Ibuku tidak berkata apa-apa selain menganggukkan kepala sambil mencoba membenahi sudut-sudut yang masih kurang rapi.

“Semoga tidak terjadi apa-apa dan kelak kau jadi anak pintar dan bijak,” kata ibuku singkat pada akhirnya menjawab pertanyaanku.

Pagi itu di hari berikutnya aku bergegas ke sekolah dengan penuh semangat. Aku sangat bangga mengembalikan buku raporku ke sekolah karena disampaing telah aku sampuli sesuai warna yang diminta, tepat waktu, juga karena nilai-nilaiku tidak ada yang merah alias bagus-bagus. Namun, yang terjadi kemudian adalah sesuatu yang sangat mengejutkan dan menyayat hati.

Peristiwa itu terjadi 46 tahun lalu, atau tepatnya pada tahun 1971. Kini aku adalah seorang dosen yang mengajar di sebuah perguruan tinggi. Kadang ketika aku berdiri di depan kelas di depan para mahasiswa, kenangan pahit itu muncul begitu saja di benakku yang membuatku merenung dan bertanya pada diri sendiri, apakah aku anak kreatif atau memang kurang ajar.

Dari peristiwa itu aku belajar untuk tidak terburu-buru menghakimi para mahasiswaku sebelum memahami persoalan mereka dengan baik. Jika perlu aku meminta klarifikasi terlebih dahulu  sebelum mengambil keputusan. []

Muhammad Ishom,  dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar