Kisah Mbah Jablawi
dan Harkat Kiai yang Terancam
Tiba-tiba saja ada
seseorang tergopoh sowan kepada Mbah Kiai Jablawi. Ternyata, saudara orang
tersebut sedang mengalami masa kritis di ruang ICU sebuah rumah sakit. Ia
mengutarakan bahwa seluruh dokter—baik umum maupun spesialis—telah menyatakan
pasrah akan kondisi saudaranya tersebut.
Akhirnya, Mbah
Jablawi pun mengiyakan permohonan orang itu dan bersedia berangkat bersamanya
untuk melihat kondisi terkini sang pasien yang sedang koma tersebut.
Sesampainya di rumah sakit, telah berjejer para dokter yang menangani pasien
koma itu. Sambil mengulum senyum, mereka mempersilakan Mbah Jablawi untuk masuk
ke ruangan dingin serba putih, ruang ICU.
Batin Mbah Jablawi,
mereka—kerabat pasien dan para dokter—sepertinya berharap besar padanya.
Bagaimana tidak, jika semua usaha telah dilakukan dari mulai opname hingga
operasi yang menegangkan tak membuahkan hasil, maka jalan harapan terakhir
satu-satunya adalah berdoa memohon kepada Allah ta’ala. Dan tentu, dalam
memohon tersebut, agar dapat terkabul, maka dibutuhkan sosok yang benar-benar
dekat dengan Allah. Dan nahasnya, dirinyalah yang mereka anggap sesosok itu.
Padahal, alih-alih ia merasa dekat dengan Allah, justru ia merasakan dirinya
sebagai makhluk terhina.
Mengetahui hal
tersebut, Mbah Jablawi pun mencoba sedikit “memaksa” Gusti-nya dengan berdoa,
“Ya Allah, mbuh niki
pripun carane. Pokokke kulo nyuwun kabul. Nak mboten, harkat soho martabatipun
poro kiai turun wonten ngarsaipun dokter (Ya Allah, entah
bagaimanapun caranya. Pokokknya saya minta (doa kesembuhan) ini terkabul. Kalau
tidak, maka harkat dan martabat para kiai turun di hadapan dokter)."
Sekilas, doa itu
lebih bernada memaksa daripada memohon. Namun, begitulah jika seorang hamba
telah memiliki kedekatan khusus di sisi Allah subhanahu wata’ala. Bagaimanapun,
hal tersebut memiliki makna tersendiri.
Dan memang terbukti,
pasien koma tersebut dapat siuman dari “tidur panjangnya”. Melihat hal
tersebut, Mbah Jablawi tersenyum sambil membatin, “Alhamdulillah, harkat
martabat kiai aman terkendali”. Ya, karena bagaimana pun saat dokter spesialis saja
sudah angkat tangan, lagi-lagi hanyalah doa kiai yang menjadi harapan. []
Dikisahkan oleh
Pengasuh Pesantren Sirojuth Tholibin Brabo, KH. Muhammad Shofi Al Mubarok saat
pengajian Kitab Tafsir Jami’ul Bayan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar