Senin, 11 Juni 2018

(Hikmah of the Day) Kisah Mbah Jablawi dan Harkat Kiai yang Terancam


Kisah Mbah Jablawi dan Harkat Kiai yang Terancam

Tiba-tiba saja ada seseorang tergopoh sowan kepada Mbah Kiai Jablawi. Ternyata, saudara orang tersebut sedang mengalami masa kritis di ruang ICU sebuah rumah sakit. Ia mengutarakan bahwa seluruh dokter—baik umum maupun spesialis—telah menyatakan pasrah akan kondisi saudaranya tersebut.

Akhirnya, Mbah Jablawi pun mengiyakan permohonan orang itu dan bersedia berangkat bersamanya untuk melihat kondisi terkini sang pasien yang sedang koma tersebut. Sesampainya di rumah sakit, telah berjejer para dokter yang menangani pasien koma itu. Sambil mengulum senyum, mereka mempersilakan Mbah Jablawi untuk masuk ke ruangan dingin serba putih, ruang ICU.

Batin Mbah Jablawi, mereka—kerabat pasien dan para dokter—sepertinya berharap besar padanya. Bagaimana tidak, jika semua usaha telah dilakukan dari mulai opname hingga operasi yang menegangkan tak membuahkan hasil, maka jalan harapan terakhir satu-satunya adalah berdoa memohon kepada Allah ta’ala. Dan tentu, dalam memohon tersebut, agar dapat terkabul, maka dibutuhkan sosok yang benar-benar dekat dengan Allah. Dan nahasnya, dirinyalah yang mereka anggap sesosok itu. Padahal, alih-alih ia merasa dekat dengan Allah, justru ia merasakan dirinya sebagai makhluk terhina.

Mengetahui hal tersebut, Mbah Jablawi pun mencoba sedikit “memaksa” Gusti-nya dengan berdoa,

“Ya Allah, mbuh niki pripun carane. Pokokke kulo nyuwun kabul. Nak mboten, harkat soho martabatipun poro kiai turun wonten ngarsaipun  dokter (Ya Allah, entah bagaimanapun caranya. Pokokknya saya minta (doa kesembuhan) ini terkabul. Kalau tidak, maka harkat dan martabat para kiai turun di hadapan dokter)."

Sekilas, doa itu lebih bernada memaksa daripada memohon. Namun, begitulah jika seorang hamba telah memiliki kedekatan khusus di sisi Allah subhanahu wata’ala. Bagaimanapun, hal tersebut memiliki makna tersendiri. 

Dan memang terbukti, pasien koma tersebut dapat siuman dari “tidur panjangnya”. Melihat hal tersebut, Mbah Jablawi tersenyum sambil membatin, “Alhamdulillah, harkat martabat kiai aman terkendali”. Ya, karena bagaimana pun saat dokter spesialis saja sudah angkat tangan, lagi-lagi hanyalah doa kiai yang menjadi harapan. []

Dikisahkan oleh Pengasuh Pesantren Sirojuth Tholibin Brabo, KH. Muhammad Shofi Al Mubarok saat pengajian Kitab Tafsir Jami’ul Bayan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar