Kamis, 07 Juni 2018

(Ngaji of the Day) Metode Istishab dan Aplikasinya dalam Hukum Islam


Metode Istishab dan Aplikasinya dalam Hukum Islam

Seorang ulama terkemuka bernama Ibnu Rusyd menegaskan bahwa jumlah ayat Al-Qur’an dan Hadits terbatas, sedangkan problematika kehidupan manusia tidak terbatas. (Lihat Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Kairo, Dar al-Kutub al-Arabiyyah, t.t., halaman 2). Karenanya, para ulama dituntut untuk berijtihad guna mengawal hukum Islam agar senantiasa dinamis dan responsif terhadap perkembangan zaman. Salah satu instrumen dalam berijtihad adalah istishab

Istishab secara etimologi berasal dari kata is-tash-ha-ba yang bermakna: menemani atau menyertai. Sedangkan istishab secara terminologi, Imam Ibnu al-Subki mendefinisikannya sebagai:

ثُبُوْتُ أَمْرٍ فِي الثَّانِي لِثُبُوْتِهِ فِي الأَوَّلِ لِفُقْدَانِ مَا يَصْلُحُ لِلتَّغْيِيْرِ

“Menetapkan hukum atas masalah hukum yang kedua berdasarkan hukum yang pertama karena tidak ditemukan dalil yang mengubahnya.” (Lihat Ali Abdul Kafi al-Subki, Al-Ibhaj, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1404 H, juz 3, halaman 173)

Contohnya, bila tadi pagi seseorang telah wudhu untuk shalat subuh, maka keadaan telah wudhu tersebut masih diperhitungkan keberadaannya pada waktu ia akan melaksanakan shalat Dhuha. Maka ia tidak perlu berwudhu kembali, selama tidak ada bukti dan tanda-tanda bahwa wudhunya telah batal. 

Imam Abu Zahrah dalam kitab Ushul al-Fiqh membagi istishab ke dalam empat hal, yaitu: Pertama, istishab al-bara’ah al-ashliyyah. Dari sini, para ulama merumuskan kaidah fiqih:

الأَصْلُ بَرَاءَةُ الذِّمَّةِ

“Pada dasarnya setiap orang itu terbebas dari tanggungan.”

Penerapan Istishab ini misalnya, Ahmad mengklaim bahwa Bisri memiliki utang sebesar Rp100.000, tetapi Bisri tidak mengakuinya. Dalam hal ini, yang dimenangkan adalah pihak Bisri. Sebab, pada dasarnya, Bisri terbebas dari tanggungan kepada Ahmad, kecuali jika Ahmad mampu mengajukan bukti yang memperkuat pengakuannya.

Kedua, istishab al-ibahah al-ashliyyah, yakni istishab yang didasarkan atas hukum asal, yaitu mubah. Dari istishab ini, para ulama menetapkan kaidah:

الأَصْلُ فِي الأَشْيَاءِ الإِبَاحَةُ حَتَّى يَدُلَّ الدَّلِيْلُ عَلَى التَّحْرِيْمِ 

“Hukum asal dari segala sesuatu adalah mubah sampai ada dalil yang mengharamkannya.”

Contohnya, jerapah tidak dijelaskan status halal-haramnya dalam Alquran maupun hadits. Di sisi lain, hewan ini tidak memiliki sifat-sifat yang dimiliki oleh hewan-hewan yang telah dijelaskan hukum keharamannya. Berdasarkan hal ini, ulama menghalalkan jerapah.

Ketiga, istishab al-hukm yaitu menetapkan hukum yang sudah ada dan berlaku pada masa lalu sampai sekarang, hingga ada dalil lain yang mengubahnya. Istishab al-hukm ini melahirkan kaidah fiqih:

الأَصْلُ بَقَاءُ مَا كَانَ عَلَى مَا كَانَ 

“Pada dasarnya, sesuatu yang telah memiliki kepastian hukum tertentu ditetapkan sebagaimana keadaan hukum semula.”

Penerapan Istishab al-hukm dalam hukum Islam misalnya seseorang hendak berpuasa, kemudian ia makan sahur. Namun ia ragu, apakah sewaktu makan sahur masih tersisa waktu sahur ataukah sudah masuk waktu puasa. Dalam kasus ini, puasa orang tersebut tetap dianggap sah. Sebab, ia meyakini bahwa waktu itu merupakan waktu sahur. 

Keempat, istishab al-wasf, yaitu Istishab yang didasarkan pada anggapan masih tetapnya sifat yang diketahui ada sebelumnya sampai ada bukti yang mengubahnya. Misalnya, sifat hidup yang dimiliki seseorang yang hilang tetap dianggap masih ada sampai ada bukti bahwa ia telah wafat. (Lihat Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, t.t, halaman 297-299). Istishab keempat ini memunculkan kaedah fiqih berbunyi:

اليَقِيْنُ لَا يُزَالُ بِالشَّكِ

“Keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan keraguan.”

Para ulama berbeda pendapat tentang nilai kehujjahan istishab. Mayoritas ulama dari mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali menyatakan bahwa istishab merupakan hujjah secara penuh, baik dalam mempertahankan sesuatu yang sudah ada (daf’i), maupun menetapkan sesuatu yang belum ada (itsbat). 

Sedangkan ulama muta’akhirin dari mazhab Hanafi, di antaranya imam Abu Zaid dan Shadrul Islam Abul Yusr, berpendapat, istishab merupakan hujjah dalam mempertahankan sesuatu yang sudah ada (daf’i), bukan menetapkan sesuatu yang belum ada (itsbat). Sementara, mayoritas ulama mazhab Hanafi, sebagian ulama mazhab Syafi’i, Abul Husein al-Bashri, dan sekelompok ulama ilmu kalam berpendapat, istishab bukan merupakan hujjah sama sekali. 

Perbedaan pandangan ulama tentang penggunaan istishab dalam ijtihad ternyata menyebabkan perbedaan pandangan mereka dalam hukum Islam, seperti dalam masalah hukum waris orang hilang

Ulama berbeda pendapat tentang orang hilang yang tidak jelas status hidup atau matinya; apakah dia dihukumi mati sehingga hartanya dibagi ke ahli warisnya, dan dia tidak berhak atas warisan dari keluarganya yang meninggal, ataukah dia dihukumi hidup sehingga hartanya tidak dibagi dan dia berhak atas bagian warisan dari keluarganya yang meninggal?

Imam Malik dan imam Syafi’i berpendapat, orang tersebut dihukumi hidup sehingga hartanya tidak boleh diwarisi, dan dia berhak mendapatkan warisan dari keluarganya yang meninggal. Mereka beralasan bahwa pada dasarnya (hukum asalnya) orang tersebut hidup, karenanya sifat hidup ini masih berlaku sampai ada dalil yang menegaskan kematiannya.

Sedangkan, Abu Hanifah dan para pengikutnya berpendapat bahwa hartanya tidak boleh diwarisi, dan dia tidak berhak mendapatkan warisan dari keluarganya yang meninggal. Mereka beralasan bahwa istishab hanya berlaku untuk mempertahankan hak yang sudah ada, bukan menetapkan hak yang baru.

Di sisi lain, imam Ahmad bin Hanbal berpendapat, orang tersebut dianggap hidup selama empat tahun dari waktu hilangnya. Jika melebihi empat tahun maka dianggap mati, karenanya hartanya diwarisi dan dia tidak berhak mendapatkan warisan dari keluarganya yang meninggal. (Lihat Musthafa Dib al-Bugha, Atsarul Adillah al-Mukhtalafu Fiha fi al-Fiqh al-Islami, Damaskus: Dar al-Imam al-Bukhari, t.t, halaman 221-222)

Dalam konteks kehidupan modern ini, penggunaan istishab sebagai sarana merumuskan hukum Islam kontemporer sangatlah diperlukan. Bidang Hukum Pidana misalnya, ada istilah ‘asas praduga tak bersalah’, yaitu bahwa seorang terdakwa dianggap tidak bersalah sehingga ada bukti hukum secara material bahwa orang tersebut dinyatakan bersalah oleh pengadilan.

Asas praduga tak bersalah ini relevan dengan konsep “Istishab al-Bara’ah al-Ashliyyah”, yaitu Istishab yang didasarkan atas prinsip bahwa pada dasarnya manusia bebas dari beban, sampai adanya dalil yang merubah status tersebut. Wallahu A’lam. []

Husnul Haq, Dosen IAIN Tulungagung dan Pengurus LDNU Jombang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar