Metode Istishab dan
Aplikasinya dalam Hukum Islam
Seorang ulama terkemuka bernama Ibnu Rusyd
menegaskan bahwa jumlah ayat Al-Qur’an dan Hadits terbatas, sedangkan
problematika kehidupan manusia tidak terbatas. (Lihat Ibnu Rusyd, Bidayatul
Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Kairo, Dar al-Kutub al-Arabiyyah, t.t.,
halaman 2). Karenanya, para ulama dituntut untuk berijtihad guna mengawal hukum
Islam agar senantiasa dinamis dan responsif terhadap perkembangan zaman. Salah
satu instrumen dalam berijtihad adalah istishab.
Istishab secara etimologi berasal dari kata is-tash-ha-ba
yang bermakna: menemani atau menyertai. Sedangkan istishab secara terminologi,
Imam Ibnu al-Subki mendefinisikannya sebagai:
ثُبُوْتُ
أَمْرٍ فِي الثَّانِي لِثُبُوْتِهِ فِي الأَوَّلِ لِفُقْدَانِ مَا يَصْلُحُ
لِلتَّغْيِيْرِ
“Menetapkan hukum atas masalah hukum yang
kedua berdasarkan hukum yang pertama karena tidak ditemukan dalil yang
mengubahnya.” (Lihat Ali Abdul Kafi al-Subki, Al-Ibhaj, Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyyah, 1404 H, juz 3, halaman 173)
Contohnya, bila tadi pagi seseorang telah
wudhu untuk shalat subuh, maka keadaan telah wudhu tersebut masih
diperhitungkan keberadaannya pada waktu ia akan melaksanakan shalat Dhuha. Maka
ia tidak perlu berwudhu kembali, selama tidak ada bukti dan tanda-tanda bahwa
wudhunya telah batal.
Imam Abu Zahrah dalam kitab Ushul al-Fiqh membagi
istishab ke dalam empat hal, yaitu: Pertama, istishab al-bara’ah
al-ashliyyah. Dari sini, para ulama merumuskan kaidah fiqih:
الأَصْلُ
بَرَاءَةُ الذِّمَّةِ
“Pada dasarnya setiap orang itu terbebas dari
tanggungan.”
Penerapan Istishab ini misalnya, Ahmad
mengklaim bahwa Bisri memiliki utang sebesar Rp100.000, tetapi Bisri tidak
mengakuinya. Dalam hal ini, yang dimenangkan adalah pihak Bisri. Sebab, pada
dasarnya, Bisri terbebas dari tanggungan kepada Ahmad, kecuali jika Ahmad mampu
mengajukan bukti yang memperkuat pengakuannya.
Kedua, istishab al-ibahah al-ashliyyah,
yakni istishab yang didasarkan atas hukum asal, yaitu mubah. Dari istishab ini,
para ulama menetapkan kaidah:
الأَصْلُ
فِي الأَشْيَاءِ الإِبَاحَةُ حَتَّى يَدُلَّ الدَّلِيْلُ عَلَى التَّحْرِيْمِ
“Hukum asal dari segala sesuatu adalah mubah
sampai ada dalil yang mengharamkannya.”
Contohnya, jerapah tidak dijelaskan status
halal-haramnya dalam Alquran maupun hadits. Di sisi lain, hewan ini tidak
memiliki sifat-sifat yang dimiliki oleh hewan-hewan yang telah dijelaskan hukum
keharamannya. Berdasarkan hal ini, ulama menghalalkan jerapah.
Ketiga, istishab al-hukm
yaitu menetapkan hukum yang sudah ada dan berlaku pada masa lalu sampai
sekarang, hingga ada dalil lain yang mengubahnya. Istishab al-hukm ini
melahirkan kaidah fiqih:
الأَصْلُ
بَقَاءُ مَا كَانَ عَلَى مَا كَانَ
“Pada dasarnya, sesuatu yang telah memiliki
kepastian hukum tertentu ditetapkan sebagaimana keadaan hukum semula.”
Penerapan Istishab al-hukm dalam hukum Islam
misalnya seseorang hendak berpuasa, kemudian ia makan sahur. Namun ia ragu,
apakah sewaktu makan sahur masih tersisa waktu sahur ataukah sudah masuk waktu
puasa. Dalam kasus ini, puasa orang tersebut tetap dianggap sah. Sebab, ia meyakini
bahwa waktu itu merupakan waktu sahur.
Keempat, istishab al-wasf,
yaitu Istishab yang didasarkan pada anggapan masih tetapnya sifat yang
diketahui ada sebelumnya sampai ada bukti yang mengubahnya. Misalnya, sifat
hidup yang dimiliki seseorang yang hilang tetap dianggap masih ada sampai ada
bukti bahwa ia telah wafat. (Lihat Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh,
Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, t.t, halaman 297-299). Istishab keempat ini
memunculkan kaedah fiqih berbunyi:
اليَقِيْنُ
لَا يُزَالُ بِالشَّكِ
“Keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan
keraguan.”
Para ulama berbeda pendapat tentang nilai
kehujjahan istishab. Mayoritas ulama dari mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali
menyatakan bahwa istishab merupakan hujjah secara penuh, baik dalam
mempertahankan sesuatu yang sudah ada (daf’i), maupun menetapkan sesuatu
yang belum ada (itsbat).
Sedangkan ulama muta’akhirin dari mazhab
Hanafi, di antaranya imam Abu Zaid dan Shadrul Islam Abul Yusr, berpendapat,
istishab merupakan hujjah dalam mempertahankan sesuatu yang sudah ada (daf’i),
bukan menetapkan sesuatu yang belum ada (itsbat). Sementara, mayoritas ulama
mazhab Hanafi, sebagian ulama mazhab Syafi’i, Abul Husein al-Bashri, dan
sekelompok ulama ilmu kalam berpendapat, istishab bukan merupakan hujjah sama sekali.
Perbedaan pandangan ulama tentang penggunaan
istishab dalam ijtihad ternyata menyebabkan perbedaan pandangan mereka dalam
hukum Islam, seperti dalam masalah hukum waris orang hilang
Ulama berbeda pendapat tentang orang hilang
yang tidak jelas status hidup atau matinya; apakah dia dihukumi mati sehingga
hartanya dibagi ke ahli warisnya, dan dia tidak berhak atas warisan dari
keluarganya yang meninggal, ataukah dia dihukumi hidup sehingga hartanya tidak
dibagi dan dia berhak atas bagian warisan dari keluarganya yang meninggal?
Imam Malik dan imam Syafi’i berpendapat,
orang tersebut dihukumi hidup sehingga hartanya tidak boleh diwarisi, dan dia
berhak mendapatkan warisan dari keluarganya yang meninggal. Mereka beralasan
bahwa pada dasarnya (hukum asalnya) orang tersebut hidup, karenanya sifat hidup
ini masih berlaku sampai ada dalil yang menegaskan kematiannya.
Sedangkan, Abu Hanifah dan para pengikutnya
berpendapat bahwa hartanya tidak boleh diwarisi, dan dia tidak berhak
mendapatkan warisan dari keluarganya yang meninggal. Mereka beralasan bahwa
istishab hanya berlaku untuk mempertahankan hak yang sudah ada, bukan
menetapkan hak yang baru.
Di sisi lain, imam Ahmad bin Hanbal
berpendapat, orang tersebut dianggap hidup selama empat tahun dari waktu
hilangnya. Jika melebihi empat tahun maka dianggap mati, karenanya hartanya
diwarisi dan dia tidak berhak mendapatkan warisan dari keluarganya yang
meninggal. (Lihat Musthafa Dib al-Bugha, Atsarul Adillah al-Mukhtalafu Fiha
fi al-Fiqh al-Islami, Damaskus: Dar al-Imam al-Bukhari, t.t, halaman
221-222)
Dalam konteks kehidupan modern ini,
penggunaan istishab sebagai sarana merumuskan hukum Islam kontemporer sangatlah
diperlukan. Bidang Hukum Pidana misalnya, ada istilah ‘asas praduga tak
bersalah’, yaitu bahwa seorang terdakwa dianggap tidak bersalah sehingga ada
bukti hukum secara material bahwa orang tersebut dinyatakan bersalah oleh
pengadilan.
Asas praduga tak bersalah ini relevan dengan
konsep “Istishab al-Bara’ah al-Ashliyyah”, yaitu Istishab yang
didasarkan atas prinsip bahwa pada dasarnya manusia bebas dari beban, sampai
adanya dalil yang merubah status tersebut. Wallahu A’lam. []
Husnul Haq, Dosen IAIN Tulungagung dan
Pengurus LDNU Jombang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar